Kesehatan

PERGOLAKAN INTEGRASI JAMKESDA KE DALAM JKN(1)

Research Subjects for University Students

Dr. dr. Mahlil Ruby/Tenaga Ahli GIZ

Latar Belakang

Pengintegrasian Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) ke dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK) tidak terjadi secara otomatis, walaupun Peta Jalan JKN memberi batas waktu pengintegrasian Jamkesda ke dalam JKN pada akhir 2016.  Sampai Juni 2016, BPJSK baru mampu mengintegrasikan 15 Jamkesda provinsi (provinsi yang memberikan kontribusi kepada BPJSK) dan 342 Kabupaten/kota dengan 13,85 juta peserta[1]. Sementara hasil ekstrapolasi survei Jamkesda Pusat Kajian Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan FKM UI  memperkirakan 460 daerah menyelenggarakan Jamkesda[2]. Pusdatin Kemkes (2011[3]) mengestimasi jumlah peserta jamkesda sebesar 32,1 juta jiwa. Berdasarkan data tersebut, sekitar 120 daerah yang belum berintegrasi dengan potensi 18,25 juta jiwa peserta. Jamkesda yang belum berintegrasi memiliki kontribusi terhadap pencapaian kepesertaan kesehatan semesta (UHC) pada 2019 sebesar 7,1%.

Banyak dimensi yang melatarbelakangi lahirnya Jamkesda sehingga masih banyak daerah yang belum mengintegrasikan Jamkesda ke dalam JKN. Pertanyaan utama adalah apakah seluruh daerah akan mengintegrasikan Jamkesda sampai akhir tahun 2016?

Dimensi Jamkesda

  1. Politik Lokal

Lahirnya Jamkesda adalah respon daerah untuk  meningkatkan akses penduduk miskin di luar kuota jaminan kesehatan pusat. Krisis moneter yang melanda Indonesia tahun 1997 telah  meruntuhkan rezim Orde Baru dan meningkatnya penduduk miskin. Pemerintah Pusat meluncurkan program Jaminan Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) untuk meningkatkan akses penduduk miskin kepada pelayanan kesehatan. Program JPSBK berlangsung sampai tahun 2004. Kemudian Pemerintah Pusat melanjutkan pelayanan kesehatan ini dengan nama program Askeskin sejak tahun 2005 sampai 2006. Pada tahun 2007 sampai  2013, Pemerintah Pusat menggantikan nama menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Masyarakat miskin di luar kuota pusat dimanfaatkan oleh para kandidat kepala daerah untuk mendulang suara pemilih. Calon-calon pimpinan daerah mengusung program “Pelayanan Kesehatan Gratis”. Ketika mereka terpilih, maka pimpinan tersebut harus memenuhi janji politiknya.

Lahirnya JKN pada 1 Januari 2014 dapat menjadi ancaman terhadap  program pelayanan kesehatan gratis daerah. Penduduk di luar kuotapun diminta oleh pusat untuk diintegrasikan ke JKN. Seolah-olah Pemerintah Daerah “haram” menyelenggarakan jaminan kesehatan.

  1. Antara Otonomi dan NKRI

Lahirnya Jamkesda lebih awal dari pada lahirnya Undang-Undang No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Otonomi daerah menjadi sandaran hukum utama daerah dalam mengembangkan Jamkesda. Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pada Pasal 167 Ayat 2 menyatakan bahwa pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan sistem jaminan sosial demi meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. UU Otonomi ini mendorong daerah juga menyelenggarakan Jamkesda sehingga Jamkesda meningkat sampai 70% dalam kurun 2007-2010. Banyak daerah menerbitkan peraturan daerah sebagai payung hukum opersionalisasi Jamkesda.

Lahirnya UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah tetap memberi ruang daerah dalam jaminan sosial. Sementara, Peraturan Presiden No 111 tahun 2013 pasal 6A mengatur bentuk jaminan sosial bidang kesehatan: Penduduk yang belum termasuk sebagai Peserta Jaminan Kesehatan dapat diikutsertakan dalam program Jaminan Kesehatan pada BPJS Kesehatan oleh Pemerintah Daerah Provinsi atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Benefit Jamkesda sangat bervariasi antar provinsi dan antar kabupaten/kota. Variasi ini sangat tidak adil antara daerah. Daerah fiskal tinggi memilliki benefit Jamkesda yang cukup komprehensif dibandingkan daerah yang fiskalnya sedang dan rendah. Dengan implementasi JKN, negara memberikan benefit yang sama seluruh rakyat dari Sabang sampai Marauke. Sesungguhnya, JKN sebagai perekat daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Atas dasar inilah, Jamkesda harus berintegrasi ke dalam JKN.

  1. Iuran Jamkesda Berbasis Ketersediaan Anggaran

Banyak daerah membiayai Jamkesda tidak berdasarkan perhitungan iuran per peserta tetapi berdasarkan ketersediaan anggaran daerah. Oleh karena itu, kisaran  iuran  Jamkesda antara Rp. 6.500,00 – 23.000,00 per orang per bulan[4].

Selain Jamkesda tingkat kabupaten/kota, beberapa daerah menjamin Jamkesda pada tingkat provinsi dengan beberapa variasi. Sulawesi Selatan berbagi kontribusi/iuran antara Pemerintah Provinsi dan kabupaten kota masing-masing  40% dan 60%. Pesertanya adalah penduduk miskin dan tidak mampu di luar kuota pusat.  Sedangkan Provinsi Aceh menjamin seluruh penduduk dalam wilayah provinsi Aceh yang tidak terjamin dalam berbagai jaminan kesehatan yang sudah ada. Sementara Provinsi Papua memberi jaminan kesehatan kepada seluruh penduduk warga asli Papua saja.

Sekitar 90 persen daerah memiliki iuran di bawah iuran PBI JKN, sehingga daerah seperti ini sulit untuk mengintegrasikan seluruh pesertanya. Daerah akan memangkas jumlah peserta Jamkesdanya atau daerah mendaftarkan peserta yang memiliki risiko tinggi saja kepada BPJSK. Data  Grup Pemasaran BPJSK (2016) mengindikasikan daerah mendaftarkan peserta risiko tinggi saja. Indikasinya adalah daerah mendaftarkan peserta Jamkesdanya ke BPJS Kesehatan dalam jumlah beberapa ribu penduduk seperti Jambi, Bengkulu, Lampung, Banten, Kalbar, Jabar, Jateng, Jatim, Kaltim, Kalut, Kalsel, Sulsel, Sulteng, Malut, NTB, dan NTT. Padahal jumlah peserta Jamkesda jauh dari jumlah tersebut. Kemungkinan lain, daerah mendaftar secara bertahap seperti Salatiga[5]  atau penduduk yang elijibel tersisa sebesar itu karena sebagian besar sudah terjamin dalam PBI pusat.

Daerah yang anggaran jamkesdanya sama atau lebih tinggi dari iuran PBI JKN, maka daerah ini dengan mudah berintegrasi ke dalam JKN seperti Aceh dan DKI Jakarta.

Kelebihan lain Jamkesda adalah anggaran Jamkesda yang tersisa dapat dikembalikan ke kas daerah. Jika Jamkesda  diintegrasikan ke JKN, maka BPJSK tidak dapat mengembalikan dana yang berlebih kepada daerah.

[1] Lestari AB, Integrasi Jamkesda Program JKN-KIS, Presentasi Direktur Kepesertaan Kepada DJSN pada 28 Juni 2016.

[2]  Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan; Mendukung DJSN dalam Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Asuransi Kesehatan Sosial Nasional di Indonesia Hingga 2019, Depok: PKEKK/FKM/UI, 24 Desember 2014

[3] Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan: Analisis Data Laporan Jamkesmas 2010, Buletin, Jendela data dan Informasi Kesehatan, Volume 4, Triwulan IV 2011, halaman 5

[4] Mundiharno, Policy Paper: Strategi Pengintegrasian/Sinkronisasi  Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) ke Dalam Jaminan Kesehatan Nasional, DJSN-GIZ, 2013.

[5] http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2014/05/08/201380/Jamkesda-Dilebur-ke-BPJS-Bertahap

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top