General Issue

Obat, Racun dan Dosis

situmorang1

Oleh: Chazali H Situmorang *)

Saya tertarik membaca judul Majalah Tempo Minggu ini ( 31 Okt.2022), “OBAT PENCABUT NYAWA”. Sebab selama 42 tahun sebagai seorang Pharmacist ( Apoteker), baru kali ini saya mendengar istilah itu. Obat itu dibuat tujuannya untuk menyembuhkan penyakit atau sekurang-kurangnya meredakan rasa sakit. Jika sudah sebagai “pencabut nyawa” dalam dunia farmasi, obat itu sudah berubah fungsi menjadi racun. Tidak lagi sebagai obat.

Saya mengenal dunia farmasi sejak 50 tahun yang lalu, diawali bersekolah di SAA (SMF) Negeri Jln Airlangga Medan. Melanjutkan di FMIPA Jurusan Farmasi USU (1975-1981). Pelajaran pertama yang diberikan oleh guru SAA saya dalam pelajaran Ilmu Resep (Formulasi obat), bahwa ” Obat dan racun itu sangat tipis batasnya. Bedanya hanya pada dosisnya. Jika dosisnya tepat untuk efek terapi, maka akan menjadi obat. Jika melampaui dosis akan menjadi racun ( efek letalis)”.

Rumus diatas sampai sekarang masih belum terbantahkan. Kasus gagal ginjal akut pada anak, adalah akibat dari berubah fungsinya. eksipien. Eksipien merupakan bahan tidak aktif yang ditambahkan dalam formulasi suatu sediaan untuk berbagai tujuan dan fungsi. Eksipien merupakan zat tambahan yang tidak mempunyai efek farmakologi.

Eksipien disebut juga dengan pelarut (diluent) atau “pengisi” (filler). dapat meningkatkan kualitas fisik obat dengan mempengaruhi transport obat dalam tubuh, mencegah kerusakan sebelum sampai ke sasaran, meningkatkan kelarutan dan bioavailabilitas, meningkatkan stabilitas obat, menjaga pH dan osmolaritas, menstabilkan emulsi, mencegah disosiasi zat aktif dan memperbaiki penampilan sediaan.

Kriteria eksipien yang baik  harus netral secara fisiologis, stabil, tidak mempengaruhi bioavaibilitas obat, sesuai peraturan undang-undang. Propilen glikol merupakan salah satu eksipien yang sering digunakan dalam sediaan likuid/sirup. Namun belum ada perusahaan dalam negeri yang memproduksi propilen glikol.

Sebagian besar industri farmasi Indonesia membeli bahan baku dari India dan China, terutama antibiotik, antipiretik, dan bahan baku eksipien berbagai jenis.

Dalam bidang farmasi kita mengenal eksipien bukan saja propilen  glikol,  tetapi ada 3 jenis lainnya yakni polietylen glikol, sorbitol dan glycerin.  Sorbitol dan glycerin sudah cukup lama dikenal,  tetapi dalam perkembangan industri farmasi lebih banyak menggunakan propilen glikol, dan polyetilen  glikol karena berbagai keunggulannya dalam meningkatkan stabilitas obat dalam sirup.

Dalam pembuatan obat,  memang dosis terapi atau farmakologis yang perlu dikontrol ketat adalah pada zat aktif suatu campuran obat. Jika over dosis dapat menimbulkan efek keracunan, bahkan kematian akibat rusaknya organ tubuh tertentu. Tetapi jika low dosis, maka obat tidak dapat memberikan kesembuhan yang diharapkan, dan akan berlarut-larut dengan penyakitnya.

Bukan saja zat aktif obat saja yang perlu dikontrol. Tetapi zat-zat eksipien juga sama. Jika digunakan melebihi seharusnya, bisa menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan.

Etilen glikol ( EG) dan dietilen glikol (DE) merupakan zat kimia yang bersifat toksis, yang sulit terhindarkan terdapat dalam bahan baku propilen glikol. Oleh karena itu BPOM menetapkan EG dan DE yang boleh dikonsumsi dalam  sediaan sirup yang  menggunakan propilen glikol sebagai eksipien  batasan maksimal cemaran EG dan DEG untuk propilen glikol adalah 0,1%.

Kalau kita cermati persoalan bahan baku PG dan PEG  yang merupakan produk impor menurut Ka.BPOM tidak termasuk dalam Pharmaceutical grade. Jadi tidak dalam kendali BPOM, sehingga BPOM tidak menerbitkan SKI nya.

Disamping itu, bahan PG termasuk komoditas non larangan dan pembatasan (nonlartas) sehingga tata niaganya dapat dilakukan importir umum tanpa surat keterangan impor (SKI) yang dikeluarkan BPOM.

“Masuknya ke Kementerian Perdagangan, sama-sama dengan bahan kimia yang non-pharmaceutical grade lainnya sehingga BPOM tidak bisa melakukan verifikasi terkait hal tersebut. Dan bisa saja terjadi tumpang tindih di pedagang kimianya, supplier kimianya, jadi campur aduk di sana,” kata Penny.

Dia menekankan bahwa bahan kimia yang diimpor untuk pembuatan obat seharusnya masuk dalam kategori pharmaceutical grade yang mengharuskan pemurnian tinggi sehingga cemaran bisa hilang dari pelarut PG dan PEG.

“Tapi kalau dia tidak pharmaceutical grade, kita tidak pernah tahu berapa konsentrasi dari pencemar-pencemar yang ada. Perbedaan harga yang sangat tinggi inilah yang bisa membuat penggunaan yang ilegal bisa terjadi. Ini yang akan terus kami telusuri,” katanya.

Menarik apa yang dikatakan  Penny, bahan PG dan PEG impor yang masuk ke industri farmasi dalam negeri seharusnya dipisahkan dengan bahan PG dan PEG yang digunakan oleh industri non-farmasi. Namun begitu, dia menegaskan bahan kimia impor lainnya yang masuk dalam kategori pharmaceutical grade selama ini sudah melewati proses perizinan melalui SKI BPOM.

Memang terasa ironi, dalam suatu produksi obat di industri farmasi, bahan-bahan untuk terjadinya obat itu perlakuannya tidak seragam. Untuk bahan baku obat melalui pharmaceutical grade, sedangkan eksipien non – pharmaceutical grade.  Di sini persoalan koordinasi dan kolaborasi BPOM dan Kementerian Perdagangan yang perlu dituntaskan.

Kalaulah ada inisiatif kebijakan yang lebih luwes dari BPOM, walaupun bahan eksipien itu non – pharmaceutical grade, perlu melakukan sampling random terhadap bahan baku  impor yang akan  digunakan untuk bahan campuran obat dan makanan  apakah  sesuai dengan certificate of analysis yang diterbitkan fabrikan.

Bagaimana langkah kebijakan yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kemenkes dan BPOM, telah begitu rinci diulas oleh Majalah Tempo. Persoalan irisan tugas yang rumit, ada kesan tidak mau disalahkan, merupakan gambaran yang ditulis Tempo. Kesan kurang tanggap, kurang sensitif, dan kebijakan yang berubah-ubah telah memakan korban anak-anak.

Sampai  27 Oktober 2022, dari 269 kasus gagal ginjal akut pada anak, 154 orang diantaranya meninggal dunia.  Mudah-mudahan angka ini tidak terus bertambah.

Persoalan “Obat Pencabut Nyawa”  mengutip cover Majalah Tempo, bukanlah persoalan di hilir. Tetapi persoalan di hulu yang berdampak luas di hilir. Di hilir dimaksud adalah pasien  pengguna obat sirup, outlite pharmacy (Apotik), distributor (PBF), RS, Klinik. Di samping pasien (anak dan balita) yang banyak jadi korban. Apotik mendapatkan pukulan “terberat”. Omzet menurun. Obat-obat sirup tidak bisa dijual, dan was-was didatangi Polisi. Apalagi toko obat, langsung bangkrut tidak ada pembeli.

Ada dua industri farmasi yang menjadi korban dicabut CPOBnya (Cara Produksi Obat yang Baik).  Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito melakukan  pencabutan itu . Dua industri tersebut adalah PT Yarindo Farmatama yang beralamat di Jalan Modern Industri, Cikande, Serang, Banten; dan PT Universal Pharmaceutical Industry yang beralamat di Tanjung Mulia, Medan, Sumatera Utara.

Kita tahu kedua industri farmasi itu adalah industri kecil, dan akan semakin menyusut jumlah industri farmasi yang hidup di Indonesia. Kini banyak industri farmasi yang hidup segan mati pun tak mau.

“Dua industri farmasi itu diduga menggunakan pelarut propilen glikol yang mengandung EG dan DEG di atas ambang batas,” ujar Penny dalam konferensi pers virtual pada Senin, 31 Oktober 2022.

Apakah ini memberikan efek jera bagi industri farmasi lainnya, agar lebih secure lagi dalam memperoleh bahan baku eksipien, tentu tidak terlepas dari upaya pre market BPOM yang lebih teliti lagi dan melakukan pemeriksaan laboratorium, mencocokkan dengan  certificate of analysis yang diterbitkan industri  bahan baku eksipien.

Pertanyaan mendasar yang sering dilontar oleh teman-teman kepada saya bertubinya  persoalan kesehatan di Indonesia “apakah tidak ditangani secara profesional”? Jawaban saya, tidak cukup dengan profesionalitas saja, tetapi yang dibutuhkan dari seorang pemimpin birokrasi kesehatan  adalah komitmennya yang tinggi untuk berpihak pada kepentingan masyarakat dan keselamatan pasien.

6 pilar transformasi pelayanan kesehatan yang sudah disampaikan Menkes, jika bisa segera dilaksanakan sampai akhir tahun 2024,  merupakan sebagian solusi untuk mengatasi berbagai persoalan  kesehatan di Indonesia.

Banyaknya persoalan yang bersifat implementasi kebijakan di lapangan, perlu ditangani secara optimal, seperti kasus gagal ginjal akut pada anak, stunting, transisi pandemi Covid 19 ke fase pandemi, akreditasi faskes primer (Puskesmas, Klinik, Labkes, dan UTD), yang belum juga kunjung terbit pedoman pelaksanaannya dan LPA yang ditetapkan untuk melaksanakan akreditasi.

Tunda dulu RUU Kesehatan (Omnibus Law), yang akan menghabiskan energi dan menimbulkan keresahan di kalangan stakeholder kesehatan. Menggilas 15 UU lainnya di sector kesehatan maupun luar sector kesehatan.

Semoga kasus ” Obat Pencabut Nyawa” membuka mata kita lebar-lebar, persoalan  industri farmasi di Indonesia, pedistribusiannya, , pemakaiannya,  monitoring efek sampingnya dan pengawasannya belum baik-baik saja.

Cover “Obat Pencabut Nyawa” majalah Tempo itu juga sangat mengusik profesi kami sebagai apoteker/pharmacist. Terutama bagi teman-teman sejawat yang bekerja di industri farmasi, farmasi klinis, maupun di apotik.

Cibubur 1 Nopember 2022

*) Apoteker pengelola Apotik/Pengamat Kebijakan Publik

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top