Kebijakan Publik

Menkes Take Over BPJS Kesehatan, Apa Risikonya?

FOTO CHS TERBARU5

 

oleh; Dr. drs. apt. Chazali H. Situmorang,M.Sc/

Ketua  DJSN 2011-2015

Pengantar;

“Mohon ijin, tulisan ini panjang. Tetapi perlu disampaikan, supaya kita mengerti apa saja norma-normal pada pasal UU SJSN dan UU BPJS yang di omnibuskan dalam RUU Omnibus Tentang Kesehatan. Ada persoalan fundamental yang berubah dan menyebabkan arsitektur UU SJSN dan UU BPJS kehilangan bentuk  yang normal”

============================================

Pertanyaan di atas muncul dalam pikiran penulis, setelah mempelajari secara mendalam RUU Omnibus Tentang Kesehatan RUU Kesehatan  yang beredar dimasyarakat dan setiap lembar ada  tulisan bayangan Confidential, tetapi tidak ada pihak yang mengaku sebagai pembuat RUU itu.  Namun demikian tidak ada bantahan dari pihak terkait beredarnya RUU Kesehatan.

Karena RUU itu sudah bergulir, dan pihak Baleg DPR menginformasikan akan membahasnya setelah mendapat persetujuan fraksi-fraksi DPR, penulis lebih menyoroti pasal-pasal tertentu terkait dengan UU SJSN dan UU BPJS.

Jumlah pasal sebanyak 470 pasal, yang terdiri dari XX Bab. Namun dalam tulisan ini, kita memfokuskan pada pasal 415 sampai dengan 417, yang bongkar pasang dengan pendekatan Omnibus UU SJSN dan UU BPJS  yang  seharusnya bersifat Lex Specialist, dimasukkan dalam UU Tentang Kesehatan yang bersifat Generalis.

Pasal 415 itu menyebutkan bahwa RUU Kesehatan  mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa yang diatur dalam UU SJSN Nomor 40 Tahun 2004, dan UU BPJS Nomor 24/2011.

Pada Pasal 416, bongkar pasang terkait UU SJSN pada pasal 13, 17, 19,  22, 23, 24,  27. Dan pada Pasal 417 RUU Omnibus Tentang Kesehatan , bongkar pasang terhadap pasal 7,  13, 15, 21, 22,  24, 25, 28, 34, 37.

Penulis akan mensinkronkan apa sebenarnya makna yang tercantum setiap pasal, dan kemudian dengan begitu saja di Omnibuskan dalam  RUU Kesehatan.

Pada pasal 13 UU SJSN itu dimaksudkan adalah dalam konteks peserta 5 program SJSN, bukan diperuntukkan untuk program JKN saja. Maka dalam pasal 13 perubahan RUU muncul istilah Pemberi kerja dan program jaminan sosial yang diikuti. Sehingga tidak relevan dalam konteks RUU Tentang Kesehatan.

Hal yang sama terlihat pada perubahan pasal 17. Pasal ini mengatur tentang iuran untuk 5 program SJSN (JK, JKK, JKm,JHT dan JP). Sehingga juga menjadi tidak nyambung  jika RUU Kesehatan   bicara soal Pekerja dan Pemberi kerja yang hal itu  dalam lingkup Jaminan Sosial ketenagakerjaan.

Memasuki pasal 19, UU SJSN  memang bicara soal Jaminan Kesehatan. Pasal tersebut hanya mencantumkan 2 ayat saja. Bunyinya ayat (1) Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Ayat (2)  Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

Pasal ini tidak untuk merumuskan segala sesuatu terkait nomenklatur kesehatan, hanya menegaskan tentang skalanya bersifat nasional, prinsipnya, dan penegasan peserta dijamin memperoleh manfaatnya untuk pemeliharaan kesehatannya.

Soal bagaimana elaborasi manfaat dimaksud, medis dan non medis  menjadi domain sektor kesehatan. Oleh karena itu apa yang dimaksud dengan kebutuhan dasar kesehatan silahkan ditafsir dan dirumuskan oleh Kemenkes, dan dituangkan dalam Peraturan Presiden Tentang JKN.  Karena itu Pasal 19 RUU  Kesehatan  yang dikembangkan menjadi 9 ayat menjadi tidak penting. Cukup dimuat dalam Perpres JKN.

Sebenarnya Kemenkes sudah menerapkannya dalam Perpres 82/2018 Tentang JKN, yakni mengatur regulasi teknis yang tidak ada diperintahkan dalam norma UU SJSN/BPJS,  tetapi dibutuhkan untuk kelancaran pelaksanaan JKN. Termasuk Pasal 19A ayat (1) cukup diatur dalam Perpres JKN.

Sama halnya Pasal 22, UU SJSN bicara soal manfaat dan urun biaya jika ada penyalahgunaan pelayanan oleh peserta.   Dalam RUU Kesehatan    tidak singgung soal manfaat, tetapi  moral hazard_ dari sisi peserta dan cara melaksanakan urun biaya.  Pasal 22 UU SJSN dan Pasal 22 RUU Kesehatan,  juga  diatur lebih lanjut dalam Perpres. Artinya tidak ada perubahan makna, hanya sekedar  menunjukkan ada perubahan.

Bagaimana dengan  Pasal 23. Ini ada perubahan yang fundamental. UU SJSN menegaskan bahwa BPJS Kesehatan bekerjasama dengan faskes dengan pendekatan sukarela. Artinya kesepakatan kedua belah pihak dengan menyepakati hak dan kewajiban masing-masing.

Tetapi dalam RUU Kesehatan pada Pasal 23  BPJS Kesehatan wajib menerima kerja sama  yang diajukan faskes. Hal ini bertolak belakang dengan  kemandirian BPJS Kesehatan. Fungsinya sudah menjadi instrumen birokrasi pemerintahan. Karena bersifat wajib tidak perlu ada lagi Perjanjian Kerja Sama. Hal tersebut berisiko terhadap kendali biaya dan kendali mutu yang harus dilakukan BPJS Kesehatan.

Pasal 24, Kemenkes berkeinginan untuk bersama-sama dengan BPJS Kesehatan dalam mengembangkan sistem kendali mutu dan kendali biaya pelayanan.  Sedangkan UU SJSN kewajiban itu hanya diberikan kepada BPJS Kesehatan, karena terkait jaminan kesehatan yang bermutu dengan biaya yang efisien. Jika terlibat Kementerian Kesehatan akan terjadi conflict of Interest yang merugikan BPJS Kesehatan.

Pasal 27 RUU Kesehatan juga tidak substantif. Hanya ingin menunjukkan adanya perubahan. Sebab dalam Pasal 27 UU SJSN itu hakekatnya  menyampaikan rambu-rambu terkait dengan iuran bagi berbagai segmen peserta dan elaborasinya diatur dalam Perpres.

Pasal 27 RUU Kesehatan   memunculkan  istilah pendapatan rumah tangga seseorang. Ukuran pendapatan rumah tangga belum kita punya. BPS dapat menentukan pendapatan rumah tangga secara tidak langsung, tetap melalui besaran pengeluaran rumah tangga per bulannya. Delta nya lebar. Ada orang hidupnya tutup lobang gali lobang, rajin berhutang, bagaimana mengukur pendapatan rumah tangganya?

Penulis melanjutkan mencermati Pasal 417 RUU Kesehatan.  Pasal ini lebih membingungkan lagi. Yang dibedah adalah UU BPJS. Sedangkan BPJS itu ada dua badan. Pertama disebut BPJS Kesehatan melaksanakan program JKN. Kedua BPJS Ketenagakerjaan yang melaksanakan 4 program JKK,JKm,JHT dan JP.

Kita cermati Pasal 405 itu mengutip Pasal 7 (UU BPJS), yang  mengatur BPJS sebagai badan hukum publik. Artinya mengatur dua lembaga BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Pada ayat (2) RUU Kesehatan,  mengatakan, BPJS bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan Menaker untuk BPJS  Ketenagakerjaan. Sedangkan UU BPJS pada Pasal yang sama menyebutkan  BPJS bertanggung jawab  pada Presiden, tanpa embel-embel melalui menteri.

Ada dua persoalan di sini. Pertama; apakah boleh RUU Kesehatan  mengatur kedudukan Menteri Tenaga kerja?  Kedua; apakah sejauh itu RUU Kesehatan  boleh men-downgrade  wewenang Presiden? Apakah sejauh itu RUU Kesehatan  men-downgrade kewajiban BPJS bertanggung jawab pada Presiden?

Ini persoalan Tata Kelola Kelembagaan, yang perlu disoroti oleh Men-PAN, terhadap RUU yang mengacaukan Tata Kelola Lembaga Negara.

Persoalan Tata Kelola Kelembagaan ini juga berlanjut pada Pasal 13. Sama-sama badan hukum publik, kedua BPJS itu  harus melaksanakan penugasan dari kementerian ( Kesehatan dan ketenagakerjaan). Perlu dicatat dalam Ketentuan Umum (Pasal 1) baik UU SJSN dan UU BPJS tidak ada nomenklatur Kementerian.

Hanya tiga lembaga yang disebut yakni BPJS, DJSN dan Pemerintah ( dalam hal ini dimaksudkan Presiden).  Bagaimana jalan ceritanya tiba-tiba dua kementerian me remote BPJS. Apa urusannya RUU  Kesehatan   mengatur kedudukan Menaker mengontrol BPJS Ketenagakerjaan?

Pasal 15 perubahan ( RUU Kesehatan ) melakukan perubahan yang  mendasar. Menghilangkan “pentahapan” kewajiban pemberi kerja  mendaftarkan dirinya dan  pekerjanya. Kalimat “pentahapan” itu tidak perlu dihilangkan. Karena itu historikal proses  pendaftaran yang tidak sekaligus. Baca alinea terakhir Penjelasan UU BPJS ” Dengan terbentuknya kedua BPJS tersebut  jangkauan kepesertaan program jaminan sosial akan diperluas secara bertahap”. 

Mungkin penyusun RUU Kesehatan tidak sempat membaca Penjelasan UU BPJS. Pentahapan dimaksud sudah diatur dalam Perpres, sudah berjalan baik. Apa urgensinya dihapus?

Perubahan Pasal 21 (RUU Kesehatan), lebih jelas keinginan Kementerian untuk mengontrol penuh BPJS melalui Dewan Pengawas. Aturan pada Pasal 21 UU BPJS, unsur Pemerintah itu 2 orang. Pemberi kerja 2 orang, Pekerja 2 orang, dan tokoh dan atau ahli jaminan sosial 1 orang (total 7 orang). Salah satu dari unsur Pemerintah menjadi Ketua Dewas. Format ini sebenarnya sudah memberi peran Pemerintah sebagai “pengendali” Dewas karena ketuanya dari unsur Pemerintah. Mekanisme kerja mereka adalah kolektif kolegial.

Pada perubahan Pasal 21 (RUU Kesehatan) itu, unsur pemerintah dua kali lipat, menjadi 4 orang, dan unsur pemberi kerja dan pekerja “dipreteli” masing-masing  1 orang. Dengan demikian, terjadi perubahan komposisi 4, 1,1, 1.

Unsur pemerintah disamping sebagai Ketua mendominasi jumlah anggota Dewas.  Perlu diingat, lahirnya UU BPJS tidak terlepas dari perjuangan buruh. Sedangkan pemerintah setengah hati waktu itu. Karena itu pembahasan RUU BPJS cukup lama, alot, dan sangat transparan.

Kita juga perlu hati-hati mencermati perubahan Pasal 22 (RUU Kesehatan). Dewas dalam melaksanakan fungsinya, ada  penambahan kalimat ” Laporan BPJS kepada Presiden melalui menteri…“. Kalimat itu pada Pasal 22 UU BPJS tidak ada. Artinya untuk melapor ke Presiden atas pelaksanaan kewajiban Dewas tidak harus melalui menteri (Menkes).

Proses melalui menteri mencederai kemandirian dan independensi sebagai badan hukum publik. Kedua lembaga itu (Kementerian dan BPJS) sama-sama badan hukum publik, jadi tidak boleh ada ” koptasi” kementerian terhadap BPJS.  Bahkan kontrol Kementerian itu mencengkram Dewas dipertegas dalam upaya Dewas membuat regulasi internal Tata Kelola Dewas harus berkoordinasi dengan menteri.

Upaya men-_downgrade Organ_ BPJS semakin sempurna pada perubahan Pasal 24 (RUU Kesehatan) yakni  ayat (3) huruf d : “Mengusulkan kepada Presiden penghasilan bagi Dewas  dan Direksi”. Dihapus. Bayangkan untuk mengusulkan saja oleh Organ BPJS tidak boleh. Siapa yang mengusulkan? Peran itu dipindahkan kepada Dewas. seakan ingin membuat konflik antara Dewas dan Direksi. Dimana-mana pun proses manajemen itu dilaksanakan oleh Direksi.

Pasal 25 UU BPJS tentang Persyaratan umum Dewas dan Direksi  ayat (1) f dihapus. Ayat itu mengatur tentang batasan umur  yang dapat menjadi Dewas dan Direksi  paling rendah 40 tahun dan paling tinggi 60 tahun. Tak jelas dasar penghapusan batas umur. Mungkin jika diatas 60 tahun dapat menjadi penampungan pensiunan, dan di bawah 40 tahun, untuk mendudukkan anak-anak pejabat penyelenggara negara.

Sewaktu UU BPJS disusun, soal batas umur ini sesuai dengan beberapa lembaga negara lainnya seperti OJK  dan DJSN.  Pertimbangannya jelas terkait usia produktif, dan kematangan usia minimal. sebab Organ BPJS mengelola dana peserta yang sangat besar. Saat ini total Dana jaminan Sosial (di luar dana Badan) di kedua BPJS lebih dari Rp. 600 Triliun. Ingat itu dana peserta yang dititipkan kepada BPJS.

Apakah karena besarnya dana amanat itu, menyebabkan kementerian ingin mengendalikan BPJS? Indikasi dari RUU Kesehatan   sepertinya arah ke sana.

Fakta lain dari dugaan di atas, lihat saja perubahan pada Pasal 28 (RUU Kesehatan). Pasal baru itu mengatur bahwa Pansel Dewas dan Direksi diketuai oleh menteri.

Pada aturan Pasal 28 UU BPJS, Pansel diusulkan calonnya oleh DJSN. Ditetapkan oleh Presiden dengan Keppres. Dan Ketua Pansel itu ditetapkan oleh Presiden dari unsur Pemerintah. Sudah jelas, dan mekanismenya sudah berjalan selama ini dengan lancar.

Begitu banyak beban tugas menteri, masihkah harus dibebani lagi tugas sebagai Ketua Pansel.  Semakin jelas menteri cenderung ingin  full power. Caranya? Dengan mengurangi wewenang Presiden.

Perubahan Pasal 34 (RUU Kesehatan), proses pemberhentian Dewas dan Direksi, menghilangkan peran DJSN. Suatu lembaga yang eksis tercantum dalam Ketentuan Umum UU BPJS. RUU ini benar-benar “menginjak kaki” lembaga BPJS dan DJSN.

Puncaknya perubahan pada Pasal 37 (RUU Kesehatan), bahwa laporan pertanggung jawaban BPJS baik program dan keuangan dilaporkan kepada Presiden melalui menteri (Menkes). Ada apa? Dimana otorisasi Organ BPJS  untuk menyampaikan laporan program dan keuangan kepada owners (peserta) yang dalam hal ini diwakili secara hukum oleh Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.

Jika laporan itu sudah ditangan Presiden, dan Presiden memerintahkan kepada menteri tertentu untuk mengevaluasinya, itu sudah menjadi wewenang Presiden. Karena secara kelembagaan (Organ) BPJS sesuai dengan UU BPJS , pada Pasal 4 berpedoman pada 9 prinsip. bPJS dan DJSN tidak boleh keluar dari 9 prinsip itu. Kecuali  Organ BPJS dan DJSN dibubarkan. Dan membubarkan Organ  BPJS harus juga dengan UU.

Pembahasan

Dari kajian pasal per pasal RUU Kesehatan, khususnya terkait dengan BPJS tidak dapat dibantah adanya indikasi kuat untuk:

  • Mereduksi fungsi, tugas dan wewenang Organ BPJS (Kesehatan dan Ketenagakerjaan), dan mem-blended nya ke wilayah wewenang, tugas dan fungsi menteri terkait.
  • Memperkuat peran menteri terkait   dalam meng kontrol aktivitas BPJS (Kesehatan dan ketenagakerjaan)
  • Menjadikan BPJS, sebagai subordinasi kementerian terkait, dalam lingkup  program dan pembiayaan
  • Inkonsistensi RUU Kesehatan.  Substansi masuk ke wilayah sektor Ketenagakerjaan, dan BPJS Ketenagakerjaan.
  • Men-downgrade wewenang Presiden, dengan menempatkan BPJS bertanggung jawab pada Presiden melalui menteri terkait.
  • Pasal 416 dan 417 RUU Kesehatan, tidak ada satu poin pun memfokuskan pada upaya peningkatan perlindungan dan mendapatkan manfaat pelayanan kesehatan secara detail untuk peserta BPJS.  Disamping itu, substansi pasal 416 dan 417 mengatur materi di luar wilayah sektor kesehatan.
  • Memberikan kekuasan yang full power pada menteri terkait, sehingga tidak ada  Check and balances  dalam penyelenggaraan pelayanan JKN.
  • Tidak sejalan dengan Pasal 34 ayat (2) dan (4) UU Dasar 1945. Sehingga berpotensi terjadinya pelanggaran konstitusi. Memastikan adanya  pelanggaran melalui Judicial Review  di Mahkamah Konstitusi.

Pertanyaan mendasar dari pembahasan di atas, adalah:

  • Apakah Menkes siap mengambil risiko dengan di take over nya BPJS kesehatan?
  • Apakah Menkes siap  turut memikul tanggungjawab secara renteng jika terjadi fraud dan atau moral hazard  dalam penyelenggaraan JKN?
  • Apakah Menkes  siap pasang badan, jika terjadi defisit Dana jaminan Sosial  JKN, yang berimplikasi memburuknya pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan
  • Apakah Menkes siap “bermohon” kepada Presiden jika defisit Dana Jaminan Sosial JKN, sebagaimana dilakukan Dirut BPJS Kesehatan, sewaktu defisitnya Dana JKN 4-5 tahun yang lalu?
  • Apakah ada jaminan dengan perubahan pasal-pasal UU SJSN dan UU BPJS dalam Pasal 416 dan 417  RUU Kesehatan, pelayanan kesehatan bagi peserta sesuai dengan haknya akan lebih baik?

Penutup

Penulis sangat concern  soal masuknya pasal-pasal UU SJSN dan UU BPJS yang sifatnya “melumpuhkan” eksistensi Organ BPJS, karena pengalaman panjang kami di DJSN  sebagai anggota sejak 2008 dan Ketua DJSN 2011-2015, masa-masa sulit dan penuh tantangan dan cobaan dalam menyusun UU BPJS. Pengawalan dan tekanan buruh luar biasa. DPR bulat semua fraksi ingin menggolkan RUU BPJS. Tetapi dikalangan Panja pemerintah saat itu ada yang bersikap abu-abu sehingga menyulitkan perumusan RUU BPJS.

Besarnya asset BPJS baik dana Badan dan Dana Jaminan Sosial , mungkin saat ini dari kedua BPJS itu  sebesar lebih Rp. 700 Triliun, diduga kuat sebagai penyebab  “tidak relanya” Kementerian untuk lebih membesarkan  BPJS. Jika perlu tetap “kerdil” dan menjadi stunting.  

Dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis pada Menteri Kesehatan dan Baleg DPR, sebaiknya sesuai dengan argumentasi dan rasionalitas berpikir  penulis, tidak usah diteruskan pembahasan Pasal 415, 416 dan 417  RUU Kesehatan. Tidak mudah membangun jaringan kerja BPJS yang baru seumur jagung dan sudah memberikan manfaat bagi para peserta, walaupun masih ada kekurangan di sana sini. Kia perkuat implementasi, bukan dengan merombak UU.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top