Ciri Wanci

Oleh: Wahyu Triono C.S.
Pada suatu pertemuan dialog kebudayaan, saya mendengar langsung pernyataan Nurcholish Madjid (Cak Nur) suatu istilah yang disebut dengan “Ciri Wanci”
Apa sebenarnya ciri Wanci itu? Untuk menjelaskan pertanyaan ini ada satu pribahasa Jawa yang berbunyi, “ciri wanci lelai Gunawan mati”. Maksudnya menegaskan bahwa tabiat, perangai, kebiasaan seseorang itu faktanya ya memang susah diubah. Bahkan tak jarang berlaku sepanjang hidup hingga ajal menjemput.
Riset Prilaku
Salah satu riset paling populer untuk meneliti tentang ciri wanci ini dilakukan dengan model pendekatan penelitian grounded teori (grounded theory approach) adalah metode penelitian kualitatif yang menggunakan sejumlah prosedur sistematis guna mengembangkan teori dari kancah.
Pendekatan ini pertama kali disusun oleh dua orang sosiolog, Barney Glaser dan Anselm Strauss.
Untuk maksud ini keduanya telah menulis 4 (empat) buah buku, yaitu; “The Discovery of Grounded Theory” (1967), Theoritical Sensitivity (1978), Qualitative Analysis for Social Scientists (1987), dan Basics of Qualitative Research: Grounded Theory.
Penelitian dengan model pendekatan penelitian grounded teori (grounded theory approach) ini selain membutuhkan keterlibatan yang totalitas dari seorang peneliti juga memerlukan waktu yang sangat lama dan panjang.
Seorang sahabat bernama Ahmad Yanuar, lulusan PhD dari University of Cambridge melakukan riset bertahun-tahun dengan biaya milyaran dari donor internasional, meneliti orang pandauk (orang pendek), sejenis orang hutan atau primata dan bukan orang cebol, di daerah pegunungan Kerinci dan Taman Nasional Kerinci Sebelat.
Penelitian yang dilakukan tidak kunjung menemukan adanya orang pandauk yang akan diteliti perilakunya. Bila penelitian ini berhasil tentu saja akan memberikan bukti secara nyata tentang teori Charles Darwin yang menyatakan bahwa manusia berasal dari kera.
Kembali pada soal ciri wanci tadi, bahwa setiap orang memiliki tabiat, perangai, kebiasaan yang unik dan khas berbeda dengan orang lain.
Tetapi pada suatu lingkungan dan komunitas tertentu dalam teori prilaku organisasi (organizational behavior theory) Stephen P. Robbins menjelaskan bagaimana tabiat, perangai, kebiasaan setiap anggota organisasi mempengaruhi prilaku organisasi dan ia akan menjadi budaya organisasi yang khas dan menjadi ciri wanci bagi organisasi dan anggota organisasi tersebut berbeda dengan organisasi dan anggota organisasi lainnya.
Bagaimana bila semua fakta-fakta ilmiah akademik tentang riset prilaku yang begitu mendalam digugurkan dan dijungkirbalikan oleh hal-hal yang tidak ilmiah dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bersifat eksternal?
Teori kemasan (packaging theory) yang telah berkembang sedemikian rupa, merambah kesemua sendi kehidupan manusia, lebih-lebih lagi di kehidupan politik menyebabkan kejelian, kecerdasan dan keahlian khusus untuk dapat mengidentifikasi berbagai prilaku dan ciri wanci seseorang, organisasi atau komunitas.
Citra Pesona
Kotler dan Amstrong (2012) mendefinisikan “packaging involves designing and producing the container or wrapper for a product” yang artinya adalah proses kemasan melibatkan kegiatan mendesain dan memproduksi, fungsi utama dari kemasan sendiri yaitu untuk melindungi produk agar produk tetap terjaga kualitasnya.
Tetapi lebih jauh dari sekedar kemasan (packaging) sebagaimana definisi tersebut, kemasan (packaging) yang makin meluas dalam politik pencitraan memunculkan berbagai tafsir tentang ciri wanci.
Bukan lagi sekedar menjawab soal telur mata sapi, ayam punya telur sapi punya nama atau Bika Ambon, Medan punya bika Ambon punya nama.
Ciri wanci dari politik citra dan pesona, pencitraan dan kemasan politik itu telah membuat kabur hal-hal yang esensial dan substansial digantikan oleh hal-hal yang artifisial dan palsu.
Tetapi meskipun demikian, sehebat apa pun sebuah citra dan kemasan tetap saja tidak bisa menghapus dan menghilangkan suatu ciri wanci yang dimiliki oleh seseorang.
Kita dan siapa pun bisa mengemas sesuatu dengan begitu baik, menarik dan sempurna bahwa produk dalam kemasan kita, tetapi cita rasa, esensi, substansi dan ciri wanci tidak mungkin bisa dikemas dengan cara apa pun juga.
Karenanya dalam teori kemasan (packaging teori) bukan untuk mengemas dan membungkus bangkai busuk bisa menjadi wangi dan harum akan tetapi sekedar membuat tampilan yang menarik saja. Andaikan pun bangkai, meskipun berbau ia paling tidak adalah bunga bangkai.
Dalam konteks politik identitas juga sedemikian rupa adanya. Setiap aktor dan makhluk politik membranding sedemikian rupa dengan citra dan kemasan yang luar biasa.
Tetapi sekali lagi ciri wanci itu tidak mungkin sama sekali bisa dikemas dan dibungkus.
Saya yang merasa sangat dekat sekali dengan Almarhum Gus Dur dan para kiyai langitan dan prilaku ibadah saya adalah Nahdlatul Ulama (NU) tentu bukan serta Merta saya orang NU, atau karena hubungan komunikasi saya yang baik dengan Almarhum Ahmad Syafii Maarif lalu tiba-tiba saya adalah anggota Muhammadiyah.
Toh sejatinya saya penganut suluk tarekat naqsabandiyah dan NU ideologis yang secara biologis saya sering mengidentifikasi sebagai NU (Nongkrongi Unas).
Pada konteks yang lain misalnya, soal kemahiran saya berbahasa Minang, lahir di Padang, menjalani masa remaja di Pasaman dan menguasai budaya, logat dan gaya Medan tetapi secara ciri wanci saya tetap orang Jawa. Meskipun saya mengaku orang Minang, Medan atau Batak bisa jadi orang akan percaya tetapi secara ciri wanci tentu saja orang tahu kalau saya berdusta.
Politik identitas soal pribumi, non pribumi, Cina, Arab, Jawa, Islam bukan Islam adalah ciri wanci heterogenitas yang alamiah.
Bila dikemas bagaimana pun sepanjang tidak merubah esensi dan substansi tidaklah masalah.
Tetapi bila tiba pada (pengakuan) sehingga mesti membangun kebohongan sudah pasti akan berakhir dengan Mala petaka.
Penutup
Mengapa di era Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang begitu maju dan modern orang gemar dan berkecenderungan pada bungkus, kemasan, citra pesona bukan isi, bukan esensi dan substansi.
Karena menurut Nurcholish Madjid, bungkus, kemasan dan citra pesona itu ibarat gincu dan isi, esensi dan substansi itu ibarat garam.
Garam yang larut dalam air memberikan rasa asin namun tidak nampak nyata. Kesalehan esensial larut sempurna dalam jiwa raga seseorang, mungkin juga sukmanya, dan langsung membentuk kepribadian yang diliputi fitrah kemanusiaan.
Sebaliknya, “gincu” memberi warna menarik pada air, namun tidak ada hakikat cita rasanya, kesalehan formal mewarnai perilaku lahiriah dan ucapan seseorang.
Kendati demikian, hal itu tidak menembus kalbu dalam rongga dadanya dan tidak secara sejati membentuk budi pekertinya.
Anda boleh memilih menjadi garam kehidupan atau gincu hiasan kehidupan dalam menangkap pesan esensial.
Saya akan memilih menjadi garam kehidupan sekaligus gincu hiasan kehidupan tanpa citra pesona, bungkus dan kemasan kebohongan.
Karena sejatinya, baik melalui riset mendalam atau dengan pengamatan yang biasa saja ciri wanci tak bisa dipoles, dikemas dan dibungkus dengan apa pun dan bagaimana pun juga.
Wahyu Trion C.S adalah Dosen AP FISIP Universitas Nasional, Tutor FHISIP Universitas Terbuka dan Campaign Assistance pada McLeader Campaign Consultant dan Direktur Operasional Blora Center SBY Running Presiden RI 2004. Konsultan Gubernur, Bupati dan Walikota di Berbagai Daerah.
