Kesehatan

PERGOLAKAN INTEGRASI JAMKESDA KE DALAM JKN (2)

Research Subjects for University Students

Dr.dr. Mahlil Ruby

Tenaga Ahli GIZ

 

  1. Variasi Benefit

Sebagaimana telah disebutkan di atas, benefit sangat beragam antar daerah. Benefit Jamkesda terdiri dari beberapa jenis yaitu 1) benefit yang sesuai dengan benefit jamkesmas pada fasilitas kesehatan pemerintah saja; 2) benefit sesuai dengan jamkesmas dan benefit  tambahan lainnya seperti tranportasi, alat kesehatan dan dapat menggunakan fasilitas swasta seperti Provinsi  Aceh dan DKI Jakarta; 3) benefit terbatas dimana kasus-kasus katastropik seperti jantung, kanker, cuci darah dan sebagainya tidak dijamin oleh Jamkesda.

Walaupun demikian, benefit Jamkesda non medis lebih atraktif dari pada JKN. Apabila peserta ditolak oleh RSUD, maka pengelola Jamkesda memberi respon dengan cepat sehingga peserta dapat dilayani. Sementara BPJSK kurang tanggap terhadap penolakan  fasilitas kesehatan.

  1. Fleksibilitas kepesertaan

Kepesertaan Jamkesda lebih fleksibel dari JKN. Jika penduduk tidak mampu tetapi  belum terdaftar sebagai peserta Jamkesda, dinas sosial atau kecamatan cukup menerbitkan Surat Keterangan Tidak Mampu dan saat itu juga penderita itu dijamin oleh Jamkesda. Sementara BPJSK tidak dapat memberi jaminan segera karena mekanisme pendaftaran PBI daerah juga butuh waktu yang relatif lama. Sehingga penduduk tersebut sering tidak terjamin oleh JKN.

Syarat menjadi peserta juga cukup mudah. Daerah mengetahui kapasitas administrasi kependudukan dan kondisi penduduknya seperti Provinsi Papua, elijibilitas Jamkesda Papua cukup memperhatikan kulit hitam dan rambut keriting. Oleh karena itu, Papua sulit mengintegrasikan Jamkesdanya ke dalam JKN karena sebagian besar penduduk Papua asli tidak punya kartu tanda penduduk, apalagi NIK. Sedangkan BPJSK sangat “kaku” dengan syarat NIK sehingga BPJSK daerah tidak berani inovasi kepesertaan sesuai kondisi lokal.

  1. Organisasi penyelenggara

Jamkesda memiliki 2 jenis penyelenggaraan yaitu  penyelenggaraan sendiri (dinas kesehatan atau badan khusus) dan penyelenggaraan diserahkan kepada pihak ke tiga (PT. Askes (Persero) atau asuransi komersial). Penyelenggaraan yang diserahkan kepada pihak ketiga lebih portabilitas, bahkan sampai tingkat nasional seperti Jamkesda Aceh. Sementara  Sulawesi Selatan, Bali, Sumatera Selatan dan Papua memiliki portabilitas tingkat provinsi. Sedangkan penyelenggaraan sendiri oleh kabupaten/kota memiliki portabilitas paling rendah.

Sebagian pemerintah daerah yang menyelenggarakan Jamkesda telah membentuk unit pengelola khusus. Unit ini dapat menjadi bagian dari struktur satuan kerja pemerintah daerah ataupun unit yang berdiri sendiri. Banyak petugas daerah mempertahankan unit ini sebagai bagian dari jabatannya di daerah. Oleh karena itu, integrasi Jamkesda ke dalam JKN butuh waktu dan konflik kepentingan pejabat di daerah.

  1. Rumah sakit menyukai pembayaran per pelayanan Jamkesda

Umunya Jamkesda membayar RSUD secara per pelayanan sesuai tarif RS bersangkutan. Pembayaran per pelayanan ini membuat RS tidak dalam risiko kerugian terutama seorang pasien dengan berbagai penyakit. Sementara pembayaran INA CBGs membuat tenaga medis RS dibatasi ruang gerak intervensi karena takut biaya yang dihabiskan melampaui tarif INA CBGs. Oleh karena itu, RS di Papua lebih cepat  melayani peserta Jamkesda Papua dari pada peserta BPJSK (Monev DJSN, 2015).

Sikapi kebijakan secara bijaksana

Otonomi daerah sudah pilihan bangsa Indonesia sehingga peran daerah dalam JKN perlu diperhatikan. Integrasi Jamkesda yang berbalut ketat dengan isu politik dan otonomi daerah, maka keterlibatan daerah menjadi titik kritis kesuksesan JKN. Banyak pengembangan kebijakan pusat tentang JKN kurang melibatkan daerah. Kebijakan JKN terkesan hanya kepentingan pusat sehingga daerah tidak perlu terlibat dalam keputusan JKN. Penolakan sebagian daerah untuk mengintegrasikan Jamkesdanya sampai akhir 2016 sebagai bentuk protes atas kebijakan yang kurang partisipatif. Tidak dapat disalahkan bila Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali meminta Pemerintah Provinsi Bali untuk menunda integrasi Jamkesda Bali ke JKN sampai akhir 2018[1]. Banyak pemangkukepentingan daerah kurang memahami konsep dari JKN sebagai asuransi kesehatan sosial. Ironisnya adalah Jamkesda yang sudah berintegrasi ke JKN (contoh Provinsi Aceh) ingin keluar dari BPJSK karena turunnya mutu pelayanan kesehatan setelah berintegrasi ke dalam JKN[2].

Apabila kebijakan integrasi Jamkesda ke dalam JKN semata-mata mengandalkan regulasi dari Pemerintah Pusat, misal melarang daerah menggunakan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk membiayai Jamkesda, maka kebijakan ini mengesankan pemaksaan daerah dengan ancaman DAU. Pada suatu saat, daerah dapat menggalang kekuatan untuk melawan JKN. Pemerintah Pusat sebaiknya melakukan musyawarah dari dua perspektif dalam semangat NKRI.

Salah satu strategi adalah sarasehan/musyawarah nasional untuk menyusun agenda-agenda peran daerah dalam JKN termasuk Jamkesda, harmonisasi UU Pemerintah Daerah dengan UU SJSN dan UU BPJS, dan memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi pada  perkara No.07/PUU-III/2005 mengenai pengujian Undang-Undang (UU) No.40/ Tahun 2004 tentang SJSN terhadap UUD 1945. Salah satu maknanya adalah daerah tidak dibolehkan menyelenggarakan Jamkesda untuk benefit yang sama dengan JKN. Namun daerah dapat menyelenggarakan Jaminan kesehatan sendiri untuk benefit tambahan seperti alat kesehatan yang tidak dijamin, tranportasi, dan lainnya.

Daerah dapat juga memberi subsidi kepada peserta pekerja bukan penerima upah yang tidak tergolong miskin tetapi mereka rawan tidak berkesinambungan iuran karena gagal panen, dagangan lagi surut, dan lainnya. Dari sisi politik, subsidi iuran ini sama besarnya nilai politiknya. Intinya adalah JKN program Negara yang harus dijalankan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah atas dasar saling memahami. Jika daerah masih membandel setelah musyawarah ini, Pemerintah Pusat sudah cukup bijaksana juga memberi sanksi kepada daerah tersebut.

Melalui JKN, negara mewujudkan  keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penyelenggara tunggal dapat menjaga manfaat yang sama seluruh Indonesia sebagai cerminan Bhinneka Tunggal Ika, yaitu walau berbeda-beda daerah, suku, ekonomi, dan sebagainya tetap mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama atau ekuitas bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun variasi daerah perlu disikapi oleh BPJSK dengan bijaksana. MIsal, NIK menjadi syarat mutlak pendaftaran peserta belum dapat diterapkan membabi buta seluruh daerah. Apalagi kebijakan NIK tidak di bawah kewenangan BPJSK. Dengan kata lain, BPJSK perlu mengerem sedikit niat mencapai data kepesertaan yang ideal agar tidak mengorbankan hak rakyat menjadi peserta JKN.

Sikap gotong royong nasional adalah nilai bangsa Indonesia dengan saling berbagi (subsidi silang). Pada waktu biaya klaim suatu daerah  rendah dari iuran yang dibayarkan, artinya iuran suatu daerah berbagi ke daerah lain yang membutuhkannya dan sebaliknya. Jadi pengembalian sisa iuran  ke kas daerah bukanlah lagi menjadi suatu kebanggaan daerah tetapi menjadi kebanggan nasional jika dana BPJSK dapat berlebih. Untuk itu, BPJSK harus sosialisasi yang intensif terhadap makna kegotongroyongan nasional ini.

Pemerintah Daerah dapat mengalihkan unit pengelola Jamkesda menjadi unit pengawas, monitoring, dan evaluasi mutu pelayanan kesehatan serta lembaga koordinasi antara BPJSK daerah, fasilitas kesehatan, dan pemerintah daerah sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Presiden No 19 tahun 2016. Sehingga kendala mutu dan ketersediaan pelayanan kesehatan dapat diselesaikan di daerah.

Penerapan INA CBGs butuh waktu RS untuk adaptasi. BPJSK dan Kementerian Kesehatan harus dapat meningkatkan kapasitas RS dalam upaya melakukan efisiensi dengan upaya semaksimal mungkin RS tidak rugi.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, Integrasi seluruh Jamkesda ke dalam JKN belum dapat tercapai pada akhir tahun 2016. Hal ini terindikasi dari aksi dan kebijakan Pemerintah yang belum mengembangkan kesepahaman JKN dengan Pemerintah Daerah. Apabila definisi integrasi Jamkesda adalah jumlah Jamkesda berintegrasi ke dalam JKN,  definisi ini akan menghasilkan integrasi semu. Banyak daerah yang mendaftarkan beberapa ribu peserta yang berisiko tinggi saja, maka daerah disebut sudah berintegrasi. Sementara daerah masih menyelenggaran Jamkesda untuk  peserta lainnya.

Musyawarah adalah bentuk komunikasi untuk saling memahami dan menghargai dalam mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika.

[1] Harian Tribun Bali, 15 Maret 2016.

[2] http://www.ajnn.net/news/irwandi-yusuf-bpjsrugikan-masyarakat-aceh/index.html

 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top