Kesehatan

Dokter Maysarwati Wali: Perbaiki Sistem Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta BPJS

Dr. Maysarwati Wali, Dokter di Klinik Tugu Sawangan Baru, Depok, Jawa Barat.

Depok-JSS. (16/4/2016). Setelah pemerintah menaikkan iuran bagi peserta BPJS Kesehatan Kelas I dan Kelas II dan membatalkan kenaikan bagi peserta Kelas III, tuntutan masyarakat terhadap kualitas atau mutu pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan semakin meningkat.

Dokter sebagai tenaga medis yang berada di garda terdepan berhadapan langsung dengan pasien tentu saja mesti mempersiapkan fisik dan mental akibat dari implikasi pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta Kelas III. Jurnal Social Security kali ini mengangkat perbincangan dengan Dr. Maysarwati Wali, Dokter di Klinik Tugu Sawangan Baru, Depok, Jawa Barat.

Berikut adalah hal-hal yang menjadi perbincangan Jurnal Social Cecurity dengan Dr. Maysarwati Wali berkaitan dengan BPJS. Menurutnya, “harus kita ketahui bersama bahwa BPJS itu ada dua, yaitu BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Jadi yang akan kita bicarakan di sini adalah BPJS Kesehatan. Dan menurut saya ini adalah asuransi kesehatan dengan paket super hemat. Sebagai dokter, saya dan teman-teman merasa kemampuan klinis kami diatur oleh sebuah sistem yang mengutamakan kendali biaya sehingga rawan terhadap pelayan yang sub standar. Walaupun tidak dapat kita pungkiri bahwa sejauh ini masyarakat banyak terbantu dalam mendapatkan akses pelayanan kesehatan.”

Lebih lanjut Dr. Maysarwati Wali, yang mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (FK UISU) ini menyatakan bahwa, “Kalau sistemnya tidak diperbaiki, maka bisa jadi BPJS Kesehatan tidak akan bertahan lama. Dikarenakan permasalahan yang ada saat ini antara lain: Pertama, sistem pembayaran INA-CBG’s yang berdasarkan paket hemat. INA-CBG’s (Indonesia Case Base Groups) merupakan pembayaran dengan sistem paket, berdasar penyakit yang diderita pasien. Contohnya paket rawat inap untuk penyakit tifus di RS tipe B adalah: Kelas I Rp 4.272.700,- Kelas II Rp 2.709.400,- dan Kelas III Rp 2.257.800,-. Dalam paket ini sudah termasuk semua biaya ruangan, obat, pemeriksaan laboraturium, konsultasi dokter, dan lain-lainnya. Kalau dalam satu hari biaya ini sdh habis, maka pasien terpaksa dipulangkan dulu. Paket hemat ini membuat dokter dan RS tidak bisa berbuat maksimal bahkan yang standard pun kadang-kadang tidak tercapai. Itu baru satu contoh. Di negeri asalnya saja sistem ini sudah tidak dipakai lagi. Kecilnya klaim yang dibayarkan membuat banyak RS dan klinik swasta belum mau menerima pasien BPJS. Ini menyebabkan pasien menjadi menumpuk. Antrian panjang pasien di semua bagian menyebabkan munculnya masalah baru. Seperti penambahan biaya utk transportasi, akomodasi dan panjangnya waktu mulai dari pengambilan nomor antrian sampai pengambilan obat. Seorang pekerja tentu harus libur. Kedua, di lapangan para Verifikator BPJS Kesehatan sering seenaknya membatalkan klaim atau menentukan jam pelayanan sesuka mereka, hal itu menyebabkan tindakan yang sudah dilakukan tidak terbayar dan banyak pasien dari jauh yang ditolak pelayanannya oleh karena loket Poliklinik sudah tutup (mereka membatasi hanya sampai jam 12 siang). Ketiga, aturan sering berubah-ubah dan terlambat bahkan tanpa sosialisasi terlebih dahulu. Keempat, banyak Puskesmas dipaksakan untuk melakukan pelayanan kuratif, sehingga tujuan utama pelayanan Puskesmas untuk promotif dan preventif makin lama makin menghilang. Kelima, sistem denda dan penghentian pelayanan secara sepihak apabila peserta terlambat dalam melakukan pembayaran, ini sering terjadi.”

Berkaitan dengan naiknya Iuran BPJS Kesehatan untuk Peserta Kelas I dan Kelas II dan pemerintah membatalkan kenaikan Iuran untuk Kelas III, Dr. Maysarwati Wali yang saat ini menjabat sebagai Ketua Asosiasi Dokter Klinik Swasta Indonesia (Adoksi) 2014 – 2017 ini menjelaskan bahwa, “katanya akan ada beberapa peningkatan dan penambahan jenis layanan, contohnya akupuntur. Tetapi kita lihat saja nanti. Karena kami di Faskes belum mendapatkan pemberitahuan resmi dari pihak BPJS Kesehatan. Seperti yang sudah-sudah, S dan K berlaku. Informasi tidak selalu sampai ke pasien secara utuh. Dan bagi kami dengan naiknya premi iuran tidak akan menaikkan nilai kapitasinya dan peningkatan paket INA-CBG’s, jadi bagi kami itu sama saja, sepertinya itu hanya untuk menutupi devisit anggaran BPJS Kesehatan.”

Dr. Maysarwati Wali juga menjelaskan soal Peserta BPJS Kesehatan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI), bahwa, BPJS Kesehatan sebagai asuransi publik, semangat asuransi ini adalah gotong royong. Yang sehat membantu yang sakit, yang mampu membantu yang kurang mampu. Ini yang harus disadari oleh peserta. Jadi tidak ada sistem investasi dan hitung-hitungan. Selama ini peserta PBI mendapatkan pelayanan Kelas III. Untuk pelayanan di tingkat Faskes Pertama, tidak ada perbedaan sama sekali. Karena nilai kapitasinya sama saja.”

Dokter yang saat ini menjabat sebagai Wakil Sekretaris IDI Cabang Jaksel 2016-2019 ini merasa bahwa jasa medis yang mereka terima relatif kecil. “Sebagai tenaga medis kami menerima jasa medis yang relatif kecil, sehinga mau tidak mau kami harus melayani banyak pasien supaya pendapatannya lumayan. Sehari kalau di Poliklinik rata-rata kami melayani 50-100 pasien. Kami tidak hanya melakukan pengobatan, tetapi juga merangkap sebagai petugas informasi, karena tidak transparan dan lengkapnya informasi yang diterima oleh peserta. Mereka tidak tahu apa hak dan kewajibannya. Apa-apa saja layanan yang ditanggung oleh BPJS. Mereka tahunya bahwa semua ditanggung, semua dicover. Kamilah yg berjibaku menjawab pertanyaan pasien. Ibarat perang, Kamilah yang ada di garis depan. Kami sering menjadi tumpahan kekesalan peserta dan keluarga peserta BPJS Kesehatan. Disitu letak kelelahannya, lelah fisik dan mental.” Keluh Dr. Maysarwati Wali.

Untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi Peserta BPJS baik di Rumah Sakit, Klinik atau Puskkesmas, Dr. Maysarwati Wali menyarankan agar, “dibuat sistem pelayanan kesehatan yang berkeadilan. Adil bagi tenaga kesehatan, adil bagi pasien, dan adil bagi fasilitas kesehatannya. Kemudian harus ada regulasi yang jelas. Berikan subsidi biaya, karena selain untuk Premi PBI, pemerintah belum memberikan anggaran khusus untuk menyukseskan JKN. Selama ini BPJS kesehatan masih defisit. Jagan hanya menaikkan premi saja dan sebaiknya sistem asuransi kesehatan yang baik adalah bersifat sukarela dan tanpa ancam mengancam buat yang tidak ingin ikut.

Dr. Maysarwati Wali yang juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris BHP2A IDI Wilayah DKI Jakarta 2015-2018 ini berharap bahwa, “JKN dalam menyediakan layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi rakyat Indonesia adalah sebuah amanah UUD, jadi pemerintah harus serius dalam melaksanakannya. Carut marut dalam dunia kesehatan di Indonesia harus diperbaiki bersama-sama. Mulai dari promotif, preventif, dan kuratif. Semoga rakyat Indonesia senantiasa sehat dan sejahtera. Amiin.” Tutup Dr. Maysarwati Wali.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top