Kesehatan

“BLEEDING” DANA BPJS KESEHATAN, SIAPA PEDULI? (2)

IMG_4759

D.  Besaran Iuran PBI dan Sumber Pendanaan

  1. Hasil perhitungan iuran yang dilakukan menunjukkan kebutuhan iuran JKN rata-rata pada tahun 2016 adalah Rp 51. 903,- POPB. Dengan rata-rata iuran sebesar itu maka hasil perhitungan lanjut menemukan kebutuhan iuran bagi peserta PBI sebesar Rp 36.000,- POPB (Policy Brief).
  2. Besaran nilai iuran PBI tersebut diatas, sebagaimana kesepakatan rapat pada tanggal 9 Juli 2015 di Kemenkes, selanjutnya harus dituangkan dalam revisi Perpres No. 111/2013 yang kini telah terbit Perpres Nomor 19 Tahun 2016, dengan nilai iuran PBI Rp. 23.000.- Menkes berkebaratan dengan angka Rp. 36.000. – walaupun awalnya sangat mendukung), dengan alasan sumber dana oleh Menkeu dimasukkan dalam beban belanja APBN sektor Kemenkes, yang sebelumnya di luar alokasi APBN sektor Kesehatan.
  3. Pada 2016, jumlah peserta PBI yang dijamin mencapai 92,4 juta jiwa. Dengan besaran iuran seandainya senilai Rp 000,- POPB maka dibutuhkan total dana sebesar Rp39,9 triliun. Sementara itu, dana yang tersedia dari APBN Sektor Kesehatan tahun 2016 yang dialokasikan untuk iuran PBI sebesar Rp 25,5 triliun sehingga masih ada selisih kebutuhan dana iuran JKN bagi peserta PBI sebesar Rp 14,4 triliun. Kenyataannya sampai saat ini defisit aau bleeding atau mismatch mencapai angka Rp. 6,4 Triliun, dan angka ini bergerak terus dari hari kehari, bulan kebulan.
  4. Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menutupi selisih minus Rp 14,4 triliun tersebut diatas dapat ditempuh dengan menaikkan harga rokok,( Rp. 50.000/bungkus?) dan mengalokasikan pendapatan atas inisiatif kenaikan harga rokok tersebut untuk menutupi kekurangan anggaran iuran PBI. Rekomendasi ini dilandasi oleh beberapa argumentasi sbb:
    1. Harga rokok di Indonesia saat ini dinilai masih sangat rendah, utamanya jika dibandingkan dengan harga rokok di negara-negara lain;
    2. Permintaan rokok di Indonesia cenderung inelastis sehingga dengan kenaikkan harga rokok tidak serta merta mengurangi konsumsi rokok sehingga upaya ini tidak menjadi ancaman berarti bagi industri rokok;
    3. Justifikasi poin 12b diatas didukung dari kajian yang menemukan perokok Indonesia memilki elastisitas kecil (Hidayat B dan Thabrany H, 2011)[1] sehingga proporsi penurunan konsumsi rokok relatif lebih rendah akibat kenaikkan harga. Perokok di Indonesia juga memiliki kecanduan miopik (Hidayat B dan Thabrany H, 2010)[2], bukan rasional sehingga mereka tidak peduli terhadap dampak negatif perilaku merokok, dan jika harga rokok dinaikkan mereka akan tetap membelinya.
    4. Aspek krusial lainnya adalah konsumsi rokok memilki eksternalitas (negatif) dalam sektor kesehatan. Dalam perspektif kebijakan publik, menjadi keharusan bahwa pendapatan yang diperoleh atas inisiatif menaikan cukai dan/atau harga rokok disalurkan untuk mendanai program kesehatan, termasuk membayar iuran dalam program JKN.
    5. Justifikasi poin 12.d tersebut kini mengglobal, dan diadopsi disejumlah negara. Alternatif ini juga mendapat sinyalemen positif dari DPR yang mencuat dalam RDPU antara Komisi IX DPR RI dengan Expert yang dilakukan pada tanggal 2 Juli 2015.dan belakangan ini sudah ramai dibicarakan dalam berbagai forum dan mass media dan biahas dalam ILC TV One.

E.  Efisiensi Dana Pemerintah

  1. Dengan iuran PBI sebesar Rp 36.000,-POPB, dan jika opsi ini diberlakukan mulai 2016 ( dan ternyata tidak diberlakukan) maka Pemerintah akan terhindar atas risiko pemberian dana talangan APBN (via PMN). Artinya, Pemerintah tidak akan mengeluarkan dana talangan lagi mengingat opsi iuran tersebut sudah menjamin kecukupan pendanaan program. Sebaliknya, program diprediksikan mengalami defisit pada opsi iuran dibawah Rp 36.000,- POPB. Oleh karena itu jika opsi iuran Rp 36.000,- POPB tidak dipilih, pemerintah tetap berkewajiban memberikan dana talangan (yang jika diakumulasi dengan iuran, pengeluran pemerintah menjadi lebih besar).

Sebagai ilusterasi, dengan asumsi peserta PBI sebesar 86.4 juta jiwa saja dan opsi iuran PBI yang diambil adalah Rp 36.000,- POPB maka total “dana investasi” pemerintah untuk iuran mulai 2016 s/d 2019 tetap sebesar Rp 37.46 triliun per tahun. Jika dana yang dikeluarkan untuk iuran dan talangan tahun 2014 dan 2015, serta dana untuk iuran pada tahun 2016 s/d 2019 diakumulasi akan diperoleh total dana Rp 199,65 triliun. Sementara itu, pengeluaran pemerintah menjadi lebih besar, yaitu Rp250,69 triliun dan Rp207,49 triliun jika opsi iuran PBI per orang per bulan yang diberlakukan mulai 2016 masing-masing Rp 23.000,- dan Rp 27.500,-.

  1. Berikut disajikan perhitungan yang menunjukkan efisiensi dana jika opsi iuran 36.000,- POPB, dibandingkan Rp 23.000,- POPB dan 27.500,- POPB:
    1. Pada opsi iuran Rp 23.000,-POPB, hasil estimasi menemukan program diduga akan defisit sebesar Rp17,18 triliun (2016), Rp22,22 triliun (2017), Rp35,67 triliun (2018), dan Rp38,19 triliun (2019). Meski pemerintah akan mendanai iuran Rp23,85 triliun per tahun pada 2016 s/d 2019, dengan kondisi defisit itu, pemerintah masih wajib memberi talangan sehingga dana yang dikeluarkan per tahun bukan Rp23,85 triliun (Rp23.000 x 86.4 x 12), namun Rp33,21 triliun (2016), Rp46,1 triliun (2017), Rp59,5 triliun (2018) dan Rp62,01 triliun (2019). Jadi total pengeluaran dana pemerintah sejak 2014 s/d 2019 menjadi Rp250,69 triliun. Artinya, ketika opsi Rp 23.000,- POPB yang dipilih, pengeluaran pemerintah menjadi lebih mahal Rp51 triliun dibandingkan opsi iuran 36.000,- POPB (Rp250,69 triliun vs Rp199,65 triliun).
    2. Opsi iuran Rp 27.500,-POPB juga lebih mahal dari opsi iuran Rp 36.000,-POPB. Dengan pola dan justifikasi sama, iuran Rp 27.500,-POPB secara akumulatif berimplikasi pada investasi dana pemerintah tahun 2014 s/d 2019 sebesar Rp 207,49 triliun. Dalam opsi iuran PBI sebesar Rp 27.000,-POPB, hasil estimasi menemukan defisit yang akan dialami sebesar Rp3,1 triliun (2016); Rp5,9 triliun (2017); Rp8,5 triliun (2018); dan Rp9,1 triliun (2019), yang juga harus harus ditutupi dari dana talangan pemerintah.

F.  Biaya-Biaya Sosial

  1. Nilai efisiensi yang diperoleh dalam ilusterasi perhitungan poin 14 diatas belum memasukan biaya-biaya social (social costs) yang dapat terjadi jika opsi iuran yang dipilih sebesar Rp 23.000,- POPB atau 27.000,- POPB. Penghematan yang diperoleh dari opsi iuran PBI Rp 36.000,- POPB sejatinya menjadi lebih tinggi jika memperhitungkan keberhasilan opsi tersebut dalam meredam biaya-biaya sosial. Berikut disajikan argumentasinya:
    1. Pada perhitungan poin 14a dan 14b diasumsikan seluruh aset JKN (DJS dan BPJS) sudah habis untuk menutupi defisit pada 2016. Ini akan mengganggu likuiditas program. Memang pemerintah dapat memberikan dana talangan (sebagaimana asumsi perhitungan), namun sangat tidak dianjurkan karena peluang keterlambatan pembayaran klaim kepada fasilitas kesehatan (faskes) ketika dana talangan belum cair (karena administerasi) masih tinggi.
    2. Untuk menjamin kelancaran pembayaran klaim (khususnya INA-CBGs), program membutuhkan kesiapan dana setiap bulannya minimal 3 kali dari besaran klaim bulanan. Sementara itu, mulai tahun 2016, jumlah klaim diperkirakan mencapai Rp6,5 triliun per bulan sehingga program butuh aset likuid sebesar Rp19,5 triliun setiap bulan agar kelancaran pembayaran klaim terjaga dengan baik.
    3. Apabila kondisi poin 15a terjadi maka dapat menjadi pemicu biaya-biaya sosial (social costs), seperti: (i) keterlambatan dalam pembayaran klaim kepada faskes sehingga menimbulkan protes, serta kekhawatiran faskes tidak memperoleh pembayaran; (ii) karena poin (i) maka dapat terjadi penundaan pelayanan (atau merujuk) pasien kepada faskes lain sehingga kualitas layanan turun, bahkan berisiko terhadap keselamatan pasien; (iii) karena poin (i) kondisi keuangan faskes juga akan terganggu dan ini akan menjadi pemicu faskes melakukan pemutusan hubungan kerja dengan sejumlah karyawan; (v) kombinasi dari hal-hal tersebut diatas secara keseluruhan dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap program, bahkan akan menimbulkan implikasi yang lebih buruk lagi yakni (vi) munculnya protes masal dan ketidakpercayaan kepada pemerintah. Dengan demikian maka efek domino atas kekeliruan dalam menentukan pilihan besaran iuran PBI bisa berakibat fatal.

F.  Investasi atau Belanja

  1. Alokasi dana pemerintah untuk program kesehatan, termasuk iuran PBI, harus dipandang sebagai “investasi“, bukan semata-mata belanja. Kenaikan dana iuran disinyalir mampu mendongkrak kegiatan perekonomian. Upaya ini diduga kuat mendorong pembangunan di daerah serta membuat tuntutan peningkatan mutu layanan kesehatan semakin tinggi. Hal ini pada akhirnya akan mendorong pemerintah daerah dan swasta membangun fasilitas kesehatan memadai, serta menyerap tenaga kerja kesehatan lebih banyak.
  2. Implikasi kenaikan iuran tidak hanya akan terjadi untuk sektor kesehatan, tetapi juga akan menjadikan alat redistribusi kesejahteraan dan membuka lapangan kerja. Secara makro, kondisi ini akan berujung pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Asumsi ini sejalan dari estimasi Jamison, dkk yang dirilis dalam Lancet tahun 2013[3] yang menemukan hingga 24% pertumbuhan ekonomi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah disebabkan oleh investasi yang lebih baik pada sektor kesehatan. Berinvestasi pada sektor kesehatan juga memiliki tingkat pengembalian investasi signifikan, mencapai 9-20 kali lipat. Fakta ini harus kita cermati bijak untuk melihat kesehatan sebagai investasi dalam rangka meningkatkan status kesehatan, produktivitas (pada tingkat mikro) dan pertumbuhan GDP (pada tingkat makro).

G.  Kesimpulan dan Rekomendasi

  1. Besaran iuran PBI senilai Rp 36.000,- POPB berpotensi tidak hanya menjaga kesinambungan pendanaan program, tetapi juga menguntungkan dari perspektif efisiensi dana serta meredam munculnya biaya-biaya sosial yang jika terjadi dapat menimbulkan efek domino yang fatal.
  2. Alokasi dana pemerintah untuk iuran PBI harus dilihat sebagai sebuah investasi, bukan semata-mata belanja. Dana yang diinvestasikan tersebut secara makro akan mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
  3. Dengan serangkaian justifikasi diatas maka direkomendasikan besaran iuran JKN bagi peserta PBI sebesar Rp 36.000,- per orang per bulan untuk diberlakukan mulai 2016. KENYATAANNYA PEMERINTAH  HANYA MENAIKKAN IURAN PBI Rp. 23.000 POPB , DAN BERSIAP-SIAPLAH KOCEK PEMERINTAH AKAN SEMAKIN TERGERUS UNTUK MENUTUPI DANA TALANGAN DAN DEFISITNYA BIAYA PELAYANAN JKN. DAN HAL TERSEBUT SUDAH KITA “INGATKAN” KEPADA MENTERI-MENTERI TERKAIT.
  4. SIAPA YANG PEDULI?

 

Chazali Husni Situmorang, Ketua DJSN 2011-2015

[1]Hidayat B dan Thabrany, H. “Are smokers rational addicts?Empirical evidence from the Indonesian Family Life Survey“.Harm Reduct J. 2011 Feb 23;8:6

[2] Hidayat B and Thabrany H. “Cigarette smoking in Indonesia: examination of a myopic model of addictive behaviour”  Int J Environ Res Public Health. 2010 Jun;7(6):2473-85

[3]Jamison DT, Summers LH, Alleyne G, et al. (2013). Global health 2035: A World Converging within a Generation. Lancet 2013; 382: 1898-1955.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top