Kesehatan

Audit Sistem Jaminan Kesehatan Nasional

audit jaminan social security chazali situmorang kartun karikatur

Koran TEMPO, Kamis, 24 Maret 2016, halaman 14, memuat judul “Kenaikan Premi BPJS Kesehatan Diusulkan Setelah Audit”. Persoalan ini menjadi menarik karena per 1 April 2016, sesuai Perpres Nomor 19 Tahun 2016, iuran BPJS Kesehatan bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU), akan dinaikkan sebesar Rp 30.000.- (semula Rp 25.500,-)  untuk pelayanan Rumah Sakit di kelas III, Rp 51.000.- (semula Rp 42.500.-), di RS kelas II, dan Rp 80.000.- (semula 59.500.-), di RS kelas I.

Langkah audit tersebut dilakukan oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, yang akan dilaksanakan oleh Kantor Akuntan Publik, atas arahan Presiden dan segera dilaporkan sebelum diberlakukannya Perpres tersebut.

Dalam Undang-Undang BPJS, ada tiga lembaga yang diberikan wewenang untuk mengaudit, yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kantor Akuntan Publik (KAP), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tentu Kantor Akuntan Publik akan melaksanakan tugasnya secara profesional, dan bagi BPJS Kesehatan diperiksa oleh auditor independen adalah suatu keniscayaan, dan OJK secara rutin setiap tiga bulan, mereview  laporan keuangan BPJS Kesehatan dan selama ini sudah berjalan dan sudah banyak saran-saran perbaikan yang telah disampaikan OJK kepada BPJS Kesehatan.

Bila dianalisis terkait dengan audit keuangan ini tidak ada sesuatu yang aneh, sebab jika ada yang aneh tentu Fachmi Idris tidak diangkat kembali oleh Presiden sebagai Direktur Utama. Dan naiknya jajaran Direksi baru sebahagian besar adalah mereka  yang ada di lapisan pertama manajemen BPJS Kesehatan.

Kalau begitu, apakah hasil audit Kantor Akuntan Publik, dapat menjadi solusi dan pertimbangan untuk ditunda atau diluncurkan kenaikan premi per 1 April mendatang ini? Bukankah pada saat disusun Perpres tersebut, sudah melalui proses pembahasan panjang dan melelahkan oleh para stakeholder terkait dan sudah cukup lama (setahun lebih), dan oleh karena itu langkah apa yang perlu dilakukan sebagai suatu solusi yang jujur dan obyektif.

Audit Terhadap Sistem  Jaminan  Kesehatan Nasional

Dimaksudkan audit sistem adalah perlu dilakukan audit yang menyeluruh terhadap sistem penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan sebagai pemilik sarana, prasarana dan SDM, antara  lain terhadap produk regulasi yang telah dihasilkan sebagai instrumen strategis dan teknis terhadap penyelenggaraan program JKN.

Ada beberapa inkonsistensi dalam penyelenggaraan program JKN, antara lain, Pertama,  UU SJSN menyatakan bahwa bagi peserta BPJS dilayani di kelas standar, artinya hanya ada satu jenis kelas yaitu kelas standar, apa rumusan kelas standar dapat dibuat batasannya dalam Perpres. Apakah dalam satu kamar 4 orang, 6 orang dan seterunya, namun yang harus dapat dipastikan ada ratio standar tenaga kesehatan yang melayani setiap peserta. Konsekuensinya adalah untuk setiap peserta membayar besar iuran yang sama, dan kalaupun mau dibedakan besarnya iuran adalah untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Kedua, Tarif Paket Ina CBGs, yang ditetapkan oleh Tim Tarif yang dibentuk oleh Kemenkes, telah membuat suatu ketentuan yang menurut keluhan banyak rumah sakit, terutama RS tipe C dan D sangat dirugikan sistem paket tarifnya, dibandingkan dengan RS  tipe khusus, A dan B. Besarnya tarif ini dibagi atas enam zona diseluruh Indonesia, padahal dalam satu propinsi tarif rumah sakit berbeda jauh, contoh yang dekat, tarif RS di Pulau Seribu yang masih masuk DKI Jakarta dihitung sama dengan RS di Jakarta Pusat, tarif RS di Medan dihitung sama dengan RS di Gunung Sitoli Nias. Kondisi ini tentu dapat menimbulkan terjadinya penurunan etos kerja tenaga kesehatan dan terjadinya moral hazard dan akan menurunkan  mutu pelayanan kesehatan bagi peserta.

Ketiga, turunnya kinerja para tenaga medis di RS Pemerintah Daerah, karena berbagai sebab, antara lain remunerasi yang tidak wajar, dan dibayarkan dengan waktu  yang sering terlambat, padahal BPJS Kesehatan sudah membayar tepat waktu, di sisi lain RS Swasta yang ikut BPJS Kesehatan dapat memberikan remunerasi tenaga medis dengan tarif yang lebih tinggi. Jangan heran misalnya peserta BPJS banyak yang ingin berobat ke RS. Murni Teguh (swasta) di Medan dibandingkan dengan RS. Pirngadi (Pemerintah).

Keempat, di Pelayanan Primer, yang seharusnya sebagai Gate Keeper, terlalu banyak “Gol” yang dihasilkan, maksudnya peserta yang seharusnya dapat dilayani dengan advokasi yang baik,  tetapi pasiennya minta dirujuk ke RS dengan berbagai alasan di “lolos” kan oleh dokter Puskesmas/Klinik, demi menjaga supaya status kepesertaannya tidak pindah ke Klinik lain dan akibatnya bisa berkurang kapitasi yang diperoleh.

Kelima, Ketersediaan obat, ini terkait dengan e-katalog dan Formularium Nasional yang diatur dengan Kepmenkes. Bagi Pemerintah rupanya tidak mudah mengendalikan pengadaan dan distribusi obat untuk kebutuhan RS. Sistem e-Katalog, memang mendorong banyak industri farmasi yang ikut lelang pengadan obat BPJS melalui LKPP. Ratusa jenis obat sudah disusun dalam e-Katalog dengan harga yang kompetitif. Tapi apa yang terjadi, banyak RS terutama di daerah yang teriak obat yang terdaftar dan harga yang sesuai dalam e-Katalog ternyata  jumlahnya terbatas bahkan PBF maupun Apotik yang ditunjuk bekerjasama menyatakan habis, tetapi kalau mau harga yang lebih mahal, obatnya ada.

Keenam, terbatasnya tenaga BPJS di BPJS Centre, di RS maupun di counter pendaftaran peserta. Keluhan mengantri untuk mendaftar untuk pelayanan rujukan maupun pelayanan rawat jalan, terutama RS-RS favorit memang memprihatinkan. Dengan sekitar 7.000 orang Pegawai BPJS Kesehaan  terasa masih sangat kurang untuk melayani sekitar 150 juta peserta, 700 RS dan sekitar 17.000 Puskesmas/Klinik.

Kesimpulan

Penyesuaian besarnya iuran yang dituangkan dalam Perpres 19/2016, merupakan salah satu langkah  konkrit untuk memperbaiki sisi-sisi lemah dari sistem Penyelenggaraan JKN. Tetapi terkait pola kelas pelayanan Pemerintah harus sudah memulai untuk menerapkan RS dengan kelas standar, sesuai dengan Roadmap JKN  yang telah di susun oleh DJSN dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Harus terbangun suatu komitmen  kuat diantara stakeholder (Kemenkes, BPJS Kesehatan, Kemenkeu, Kemensos), untuk  mereview  berbagai produk regulasi, dan pemantauan  yang ketat atas implementasinya di service point. Termasuk perluasan jangkauan pelayanan  di pelayanan Primer,  dan pelayanan rujukan dan format dan formula tarif yang proporsional dan sesuai dengan nilai keekonomian.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top