Kesehatan

Aspek Kefarmasian Dalam JKN Apa Penting?

images-5

images-1Pada saat ini, Indonesia telah menggabungkan sistem jaminan kesehatan yang selama ini sudah ada (PT Askes – yang meliputi pegawai negeri, TNI/POLRI, Jamsostek – yang meliputi tenaga kerja formal sektor swasta, asuransi , Jamkesmas – yang mencakup masyarakat miskin/penduduk dengan status ekonomi 40% terbawah ( saat ini cakupan PBI 92,4 juta penduduk miskin; Jamkesda – lebih dari 300 kab/kota ). Pemerintah berencana untuk memperluas cakupan jaminan kesehatan dengan bentuk yang seragam ( unifikasi system) bagi seluruh penduduk yang ditargetkan tercapai pada tahun 2019.(lihat Roadmap JKN 2012-2019)
Paket manfaat, obat yang ditanggung dan sistem manajemen berbeda-beda antara satu jenis asuransi dengan asuransi lainnya, namun demikian semuannya memasukkan obat-obatan di dalam paket manfaatnya, yang artinya mekanisme pembiayaan obat yang diresepkan kepada pasien seluruhnya maupun sebagian sudah ditanggung oleh pihak asuransi (BPJS Kesehatan) Hal ini dapat dicapai dengan cara memberikan obat gratis ( karena sudah membayar iuran) kepada pasien di fasilitas-fasilitas kesehatan, atau dengan penggantian pembayaran kepada apotek-apotek yang telah bekerjasama dengan FKTP dan FKTL yang memberikan obat kepada pasien berdasarkan resep dokter. Dari perspektif pasien, manfaat farmasi merupakan bagian paling penting dari paket manfaat, karena biaya obat-obatan yang tinggi dapat dengan cepat menjadi masalah pembiayaan yang besar khususnya kasus penyakit kronis atau yang mengancam jiwa. Secara keseluruhan, biaya obat-obatan mencapai 30 – 40% dari total pengeluaran kesehatan di Indonesia menurut laporan terakhir National Health Accounts tahun 2013, walaupun dalam implementasinya pihak rumah sakit yang telah membuat perjanjian kerjasama dengan BPJS Kesehatan “menyuruh” pasien untuk membeli obatnya sendiri dengan memberikan resep dokter (Out Of Pocket).
Artikel ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran dalam memberikan manfaat obat-obatan baik bagi sebagian maupun bagi semua warga negaranya secara efisien dan adil tanpa membuat bangkrut sistem kesehatan.

Perencanaan dan persiapan yang baik merupakan kunci pencegahanpenyalahgunaan dan pengeluaran biaya yang berlebihan
Desain dan pengelolaan kefarmasian sangat penting untuk keberhasilan dan keberlanjutan sistem pembiayaan kesehatan. Tanpa kontrol yang memadai dan adanya sistem manajemen, insentif bagi pemasok obat-obatan, penyedia layanan kesehatan dan pasien akan mendorong peningkatan konsumsi obat dan peningkatan biaya obat-obatan akan jauh lebih cepat dibandingkan komponen biaya lainnya, dan lebih cepat dibandingkan kenaikan dana yang dibutuhkan untuk sistem jaminan kesehatan. Banyak negara yang memperkenalkan sistem pembayaran melalui pihak ketiga termasuk manfaat kefarmasian, bagi Indonesia hal tersebut merupakan kesalahan dimasa lalu dengan menganggap remeh adanya perubahan pola pemanfaatan dan perubahan biaya. Jika aturan tambahan, pembatasan atau sistem manajemen diperkenalkan belakangan, resistensi dari semua pemangku kepentingan akan menjadi kuat dan mungkin akan sulit untuk membawa sistem kembali ke jalur yang lebih sustain. Memang lebih mudah memulai dengan model terbatas dan merubah aturan secara pelan-pelan ketika implikasi biaya sudah dapat terkontrol, tetapi UU SJSN tidak mengenal pengembangan Model, dan harus dilaksanakan secara massif, walaupun bertahap, untuk mencegah diskriminatif pelayanan kesehatan.

Pendorong utama biaya komponen kefarmasian dalam paket manfaat adalah:
• Peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan: berkurangnya hambatan biaya (gratis) dan peningkatan jumlah serta kualitas penyedia layanan kesehatan akan membawa lebih banyak pasien ke dalam sistem pelayanan kesehatan. Pasien yang sebelumnya tidak diobati sekarang akan dirawat dan mulai mengkonsumsi obat ( yang selama ini jika sakit mengobatinya dengan caranya sendiri);
• Penduduk yang bertambah tua: pasien berusia tua dengan penyakit-penyakit kronis mengkonsumsi obat lebih banyak dibandingkan pasien berusia muda;
• Perasaan memiliki hak: baik pasien dan petugas kesehatan biasanya bersikap “lebih banyak lebih baik”. Tidak ada lagi masalah ketidakmampuan biaya pada tingkat individu akan menyebabkan lebih banyaknya resep per individu dan peralihan ke pengobatan yang lebih modern dan tentu juga lebih mahal karena dianggap lebih baik atau lebih manjur. Praktik umum lainnya bagi petugas kesehatan adalah pemberian resep obat bermerek yang lebih mahal, meskipun obat generik yang lebih murah juga mempunyai efek therapy yang sama ( system pembayaran dengan Kapitasi dan Ina CBGs mencoba mengatasi kecenderungan tersebut);
• Pemasaran industri dan promosi: baik pasien dan pemberi resep rentan terhadap pesan-pesan pemasaran dan insentif promosi yang nyata yang ditawarkan oleh perusahaan obat, yang mana keduanya cenderung mendukung tren yang dijelaskan pada poin sebelumnya;
• Insentif keuangan (supply-side): jika penyedia layanan kesehatan (klinik, dokter individu, petugas kesehatan, apoteker) mendapatkan uang sebanding dengan nilai obat-obatan yang mereka resepkan atau jual, mereka akan mencoba untuk memaksimalkan pendapatan mereka dengan mendorong penggunaan obat yang lebih banyak dan produk obat yang mahal (margin yang lebih tinggi kalau mungkin);
• Inovasi: begitu obat baru yang diharapkan memiliki manfaat tambahan sudah beredar di pasar, maka akan ada tekanan untuk memasukkan obat-obatan tersebut dalam paket manfaat farmasi ( Formularium Nasional). Biaya per pasien bisa 100 kali atau lebih dibandingkan dengan obat-obatan yang lama, dapat memunculkan masalah pendanaan yang cukup signifikan ( sedangkan paket Ina CBGs dan Kapitasi tidak mudah berubah , harus dengan Peraturan Menteri Kesehatan). Ujung-ujungnya pasien “disuruh\” membeli obat sendiri.

• Peningkatan harga: produsen dan distributor mencoba meningkatkan harga di setiap tingkatan rantai perdagangan begitu faktor ketidakmampuan biaya bagi individu tidak lagi relevan: selama obat-obatan dibeli secara langsung (out-of-pocket), harga mahal menjadi hambatan memperoleh pangsa pasar;
• Penipuan dan penyalahgunaan: setiap sistem yang memisahkan pengguna dari pembayar menciptakan peluang adanya penipuan dan praktik-praktik korupsi. Contohnya adalah suap dan sogok kepada pengambil keputusan administratif dengan kontrol atas akses ke pendanaan dan ke pemberi resep, klaim palsu obat-obatan yang sebetulnya tidak diberikan; pasien yang menggunakan hak individu untuk memperoleh obat-obatan untuk orang lain yang tidak memiliki hak tersebut;
• Keterlibatan Yudisial: Pasien di beberapa negara dapat mengambil tindakan hukum terhadap pemerintah mereka di bawah klausul “hak atas kesehatan” dalam konstitusi mereka, jika pembayar terlihat membatasi akses terhadap obat-obatan baru yang mahal ( bagaimana di Indonesia?).

Pengalaman di Negara lain menunjukkan bahwa dalam sistem yang tidak dikelola dengan baik semua faktor ini akan datang dan selalu muncul, sehingga menyebabkan secara keuangan sistem tidak bertahan kecuali dilakukan pengontrolan yang efektif terhadap sistem tersebut, dan hal ini sudah terbukti dengan “bleeding”nya bPJS Kesehatan tahun 2014-2015 , sekitar Rp. 5 triliun..
Perlunya sistem pengumpulan data dan monitoring
Persamaan situasi yang mendasar di negara yang memiliki sistem pembiayaan kesehatan melalui pengeluaran rumah tangga (out-of-pocket) adalah ditandai dengan tidak adanya sistem pengumpulan data penggunaan obat pada tingkat penyedia layanan kesehatan ( FKTP dan FKTL). Merancang sistem tersebut (secara komputerisasi), mengujikan dan memperkenalkannya kepada penyedia layanan kesehatan seharusnya merupakan langkah pertama penetapan manfaat kefarmasian, pengukuran harus ada untuk memastikan bahwa pengumpulan data selalu dilakukan. Kemampuan untuk memasukkan data diperlukan untuk aggregasi dan analisa dan laporan secara rutin yang dapat digunakan oleh pembayar ( BPJS Kesehatan) untuk memonitor parameter yang kritis pada “kondisi terkini ”, dan mengukurnya untuk memperbaiki dari hal yang tidak diinginkan.
Indonesia memiliki pengalaman sistem manajemen semacam itu dengan PT Askes dan penyedia asuransi swasta. Mengintegrasikan sistem yang ada, menutup celah dan memperkenalkan sistem manajemen untuk mencakup semua penyedia layanan yang berpartisipasi dalam skema baru merupakan suatu tugas besar dalam keseluruhan upaya integras. Kecuali sistem berfungsi, beberapa penggerak biaya yang disebutkan di atas akan tetap tidak terkelola dan dapat membahayakan kondisi keuangan paling tidak dalam dua atau tiga tahun pada saat implementasi manfaat kefarmasian. Dana awal untuk memperbaharui dan melaksanakan pengumpulan data dan sistem manajemen mungkin tampak tinggi, tetapi ketika dimasukkan ke dalam perspektif dan dibandingkan dengan kemungkinan biaya berlebih (overrun) pada obat-obatan dalam sistem yang dikelola dengan buruk yang dapat mencapai 5-10% dari total anggaran untuk obat-obatan atau lebih, biaya ini akan teramortisasi dengan sangat cepat.
Dalam skema pembiayaan, masing-masing penyedia layanan mungkin dapat diminta untuk membayar biaya instalasi dan pelatihan (hardware dan software) sebagai bagian dari proses pemberian lisensi / akreditasi/perjanjian kerjasama). Pengumpulan data perlu dilakukan pada tingkat petugas kesehatan, klinik, RS maupun apotek. Institusi pembayar memiliki kesempatan untuk menentukan persyaratan bagi penyedia layanan yang tertarik untuk berpartisipasi dalam skema pembiayaan baru dengan manfaat kefarmasian. Ketika penyedia layanan sudah terlanjur terakreditasi atau dikontrak, maka akan lebih sulit untuk menambah persyaratan dalam rangka meningkatkan pengawasan manajemen. Bila penyedia layanan tidak memiliki dana investasi untuk pengadaan tempat kerja dan paket software, institusi pembayar dapat memberikan pinjaman yang dicicil setelah penyedia layanan kesehatan mendapatkan reimbursment.

Apa yang harus dilakukan dengan data?
Parameter yang harus dicatat dan dimasukkan ke dalam pusat database adalah:
• Pada tingkat pasien: Identitas yang unik, usia, jenis kelamin, diagnosis berdasarkan sistem pengkodean yang umum digunakan, misalnya potensi alergi dan kontraindikasi, untuk menentukan kelayakan pemberian obat tertentu, diagnosa tambahan atau kepatuhan mungkin perlu ditambahkan, informasi status yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya hal-hal tertentu, misalnya status pendapatan/sosio-ekonomi, kecacatan, status veteran dll., yang mungkin berpengaruh pada adanya co-payment atau hak pasien;
• Identitas yang unik bagi fasilitas/petugas kesehatan;
• Merek dan nama generik, dosis, kemampuan dan jumlah obat dengan resep dan ketersediaan, harga (harga dapat juga dalam database yang terpisah);
• Tanggal dan waktu pemberian resep serta penyerahannya untuk mengidentifikasi adanya pengobatan lanjutan dan juga pemberian obat ganda yang tidak perlu
• Sistem seperti ini mengumpulkan data pribadi sangat sensitif, meskipun nama pasien disimpan secara terpisah dari identitasnya pada saat agregasi data individu. Kebijakan perlindungan data dan adanya badan pengawas yang menjamin kerahasiaan data pasien akan menjadi “good practice” untuk mengatasi risiko ini. Database yang menyimpan semua informasi ini harus diatur dengan cara membatasi akses data hanya ke staf yang berwenang saja, simpan informasi setiap permintaan data dan identifikasi siapa saja yang mengajukan permintaan dan kapan, dengan berbagai cara supaya tidak dapat dimanipulasi atau dihapus.

Data yang dikumpulkan untuk setiap transaksi dimasukkan ke pusat database, dimana “manajer manfaat kefarmasian” – biasanya sebuah unit di dalam lembaga pembayar atau sub-kontrak ke penyedia layanan yang ahli di bidang ini – memiliki akses ke database tersebut. Data digunakan untuk membuat laporan yang menyediakan informasi kinerja sistem secara rutin. Data juga memberikan dasar pengukuran untuk mempengaruhi perilaku penyedia dan pasien. Contoh laporan tersebut dan langkah berikutnya adalah:
• Monitoring bulanan pengeluaran di tingkat pusat dan dirinci ke tingkat propinsi, kabupaten atau fasilitas/petugas kesehatan. Rincian data dapat digunakan untuk memberikan umpan balik kepada penyedia dalam kaitannya dengan target anggaran yang ditetapkan pada awal periode fiskal. Data juga mungkin bisa digunakan untuk menghubungkan insentif, sanksi, audit individu untuk tingkat pembelanjaan;
• Mencari pola yang menunjukkan potensi adanya penipuan atau penyalahgunaan, seperti kecocokan antara pemberi resep dan apotek yang menyediakan obat. Hal ini harus ditindaklanjuti dengan audit individu;
• Mengukur kepatuhan terhadap pedoman tatalaksana pengobatan, contohnya dengan mengidentifikasi adanya pemanfaatan campuran antara obat first-line, second-line dan third-line di tingkat penyedia layanan untuk penyakit kronis tertentu. Penyedia layanan yang banyak memanfaatkan pengobatan yang lebih mahal dari yang seharusnya tanpa adanya justifikasi merupakan target untuk tindakan yang disarankan dalam poin diatas, dan pihak rumah sakit punya resiko tinggi untuk deficit karena belanja obat yang sudah di kunci pada paket Ina-CBGs.
• Mengukur indikator lain penggunaan obat yang rasional, seperti pemberian resep antibiotik untuk infeksi ringan, poli farmasi umum, penggunaan obat generik dibandingkan obat bermerek;
• Menegosiasikan harga yang lebih rendah dengan pihak produsen, berdasarkan tren yang ditemukan dalam data ( apakah dengan e-catalog dan melalui LKPP sudah tepat untuk pengendalian harga obat?).
Hal-hal yang disebut diatas tentu saja belum lengkap, ada banyak kemungkinan lain seperti evaluasi pola daerah (sangat relevan bagi Indonesia dengan struktur pemerintahan yang bersifat desentralisasi, dan zonasi tariff obat dengan membagi 5 wilayah zonasi ), perbedaan berdasarkan status sosial atau struktur penyedia layanan dapat dinilai dan mungkin relevan sebagai pemicu langkah-langkah kebijakan. Poin utamanya adalah bahwa sistem pengumpulan data yang solid merupakan pra-syarat yang diperlukan untuk berfungsinya pengelolaan manfaat kefarmasian dalam sistem pembiayaan kesehatan. Menunggu peluncuran sistem pengumpulan data setelah manfaat dilaksanakan dan ketika ada tanda pembelanjaan yang berlebihan (overspending) dan adanya misalokasi dapat diumpamakan seperti pesawat yang lepas landas tanpa ada alat navigasi yang berfungsi. Hal ini merupakan langkah yang berbahaya dan dapat menyebabkan kegagalan sistem atau biaya menjadi berlipat dari investasi awal yang diperlukan selama bertahun-tahun.
Jika karena alasan politik dan bargaining position yang lemah , pelaksanaan paket manfaat kefarmasian tidak bisa menunggu sampai adanya sistem yang baik, maka menetapkan anggaran yang bersifat tetap bagi belanja obat merupakan cara yang berpotensi untuk mengatasi risiko anggaran. .. Ketika anggaran untuk periode tertentu (biasanya satu kuartal) telah habis digunakan, maka pasien harus membayar dari kantongnya sendiri (out of pocket) atau menunggu untuk periode anggaran berikutnya. Model penjatahan tersebut digunakan secara rutin di beberapa negara di Eropa Timur dan bekerja dengan baik dalam hal “staying within budget”. Namun demikian, terlihat jelas adanya persoalan keadilan bagi pasien yang mengalami sakit pada saat akhir periode anggaran. Pasien dengan penyakit kronis akan cepat-cepat untuk menebus obatnya pada awal periode, ketika dana masih tersedia ( di Indonesia system perundang-undangan yang berlaku tidak memungkinkan).

Penggunaan teknologi sebagai solusi potensial di daerah tertinggal
Jaringan data seluler membuka jalan baru yang potensial untuk memantau transaksi dan bahkan proses pembayaran kepada penyedia layanan. Penyedia layanan bisa menggunakan aplikasi ponsel pintar untuk mendaftarkan pasien dan proses transaksi . Aplikasi ini dapat digunakan untuk memandu penyedia layanan berdasarkan pedoman pengobatan standar, memverifikasi identitas pasien, misalnya melalui foto yang diambil dengan kamera telepon, dan mengirim semua data transaksi ke server pusat. Di tempat-tempat yang memiliki pembayaran berbasis telepon seluler dan layanan transfer uang, pembayaran dapat dikirim ke penyedia layanan segera setelah transaksi dilakukan. Batas anggaran dapat dikelola masing-masing, misalnya dengan membatasi jumlah pasien yang dapat didaftarkan satu provider dan jumlah konsultasi serta resep yang bisa didapatkan pasien. Sistem ini dapat memberikan akses data yang aktual pada server pusat (data rahasia pasien perlu dipisahkan dari data transaksi untuk keperluan manajemen), oleh karena itu memungkinkan untuk segera melakukan penyesuaian parameter, jika hasil tidak sebagaimana yang diharapkan. Masalahnya mungkin saja kesulitan untuk mengelola program manfaat komprehensif melalui aplikasi seperti itu – belum ada pengalaman dengan cara ini dalam mencoba untuk mengganti sistem yang didasarkan pada komputer yang menggunakan software yang kompleks dan koneksi internet kabel.

Mengatur parameter kunci

Parameter berikut ini menetapkan manfaat kefarmasian:
• Obat-obatan yang masuk (positif) atau yang tidak masuk (negatif) dalam daftar obat yang dapat penggantian biaya. Sebagian besar negara menggunakan daftar positif, termasuk Indonesia (formularium), yang berarti hanya obat dalam daftar yang mendapatkan penggantian. Beberapa negara memiliki lebih dari satu daftar obat – biasanya daftar obat esensial yang dianggap prioritas dapat diresepkan tanpa adanya batasan dan dengan tarif co-payment yang rendah, dan daftar yang bersifat “spesial” yang memungkinkan untuk adanya pembatasan tertentu dan atau dengan tarif co-payment yang lebih tinggi. Kadang-kadang ada juga daftar terpisah untuk rumah sakit-rumah sakit seperti di Cina;
• Tingkat penggantian, dinyatakan sebagai % dari harga eceran obat. Harga dapat bervariasi, misalnya 100% penggantian untuk obat-obatan penting dan yang sifatnya untuk menyelamatkan hidup, dan persentase yang lebih rendah untuk obat-obatan lainnya. Tingkat penggantian dapat lebih tinggi untuk obat-obatan yang menurut anggapan pembayar hemat biaya, misalnya jika ada perjanjian kerangka kerja dengan produsen obat generik tertentu. Perbedaan antara tingkat penggantian dan harga eceran harus dibayar oleh pasien;
• Kelayakan pasien: perbedaan kelompok pasien mungkin juga memiliki perbedaan cakupan. Dalam wilayah dengan sumber daya rendah, mungkin terbatas hanya mencakup wanita hamil, anak-anak dan kelompok rentan lainnya. Kemungkinan lain juga adalah sistem yang menawarkan perlindungan dalam kasus penyakit parah dan kronis dan membutuhkan pengobatan penyakit akut dan penyakit ringan yang harus dibayar langsung (out of pocket);
• Pembayaran bersama (co-payment) pasien: diperoleh ditempat obat dikeluarkan. Beberapa sistem memiliki co-payment yang bersifat flat per resep atau per item pada resep. Beberapa dalam bentuk persentase, melengkapi tingkat penggantian yang ditentukan (80% penggantian berarti 20% co-payment). Beberapa sistem menggabungkan co-payment flat (juga disebut sebagai dispensing fee) dengan persentase co-payment pelengkap. Banyak sistem memiliki aturan pembebasan dari co-payment, berdasarkan status pendapatan, kondisi yang sudah ada seperti cacat atau penyakit kronis, usia, status veteran perang , atau yang lainnya. Biasanya orang yang masuk dalam klausul pengecualian memiliki beban penyakit yang lebih tinggi dan pengeluaran obat yang lebih tinggi, sehingga perlu dipertimbangkan ketika memperkirakan biaya yang dapat dihemat dari adanya co-payment pasien. Beberapa sistem membatasi co-payment untuk jumlah absolut maksimal per periode pembayaran (misalnya US $ 50 per tahun) untuk mengurangi beban pada pasien dengan penyakit kronis. Sebaliknya, beberapa sistem menetapkan cara deductible, dimana sejumlah uang (deductible) harus dibayar langsung oleh pasien, sebelum menerima salah satu manfaat yang disebutkan.
• Pembatasan untuk obat-obat tertentu pada daftar penggantian: beberapa obat-obatan hanya dapat diganti bila diresepkan oleh dokter spesialis atau di lingkungan kelembagaan yang ditetapkan atau setelah mendapatkan persetujuan dari spesialis yang bekerja untuk institusi pembayar. Beberapa pembayar membatasi akses untuk perawatan mahal tertentu ke sejumlah pasien yang sudah ditetapkan. Pasien baru dimasukkan dalam daftar tunggu dulu. Beberapa obat mungkin dapat diberikan hanya untuk waktu yang terbatas dan kemudian dievaluasi secara baik dan mengambil keputusan mengenai langkah selanjutnya;
• Biaya penggantian: persentase yang diganti, pembayar dapat menetapkan atau menegosiasikan harga eceran untuk obat-obatan yang termasuk dalam daftar penggantian. Penerimaan harga ini bisa menjadi syarat bagi produsen untuk mendapatkan obat yang termasuk dalam daftar.
• Batas anggaran (budget cap): batas anggaran per periode pembayaran (biasanya per kuartal) dapat diterapkan pada tingkat pusat, di tingkat propinsi / kabupaten, per penyedia layanan atau bahkan per pasien. Setiap pendekatan memiliki tantangan implementasi dan kesulitan tersendiri. Sebagai contoh, sistem yang menerapkan batas anggaran di tingkat kabupaten akan mensyaratkan penyedia dan pasien untuk menggeser kegiatan ke awal periode fiskal. Menjelang akhir, setelah anggaran habis, penggantian akan ditolak sekalipun ada indikasi medis untuk pengobatan;
• Peran dan pembayaran apoteker yang mengeluarkan obat: perlu didefinisikan apakah apoteker, yang mengeluarkan obat-obatan baik di pusat kesehatan masyarakat atau di apotek swasta, memiliki hak untuk mengganti satu produk untuk alternatif yang setara;
• Ketentuan khusus obat-obatan mahal: Beberapa sistem mengecualikan obat mahal tertentu dari status penggantian umum dan melakukan pengadaan secara terpisah dengan anggaran yang ditetapkan. Pasien mendapatkan penawaran pengobatan hanya di tempat-tempat khusus dan obat-obatan dapat diberikan melalui tempat yang berbeda. Setiap pasien harus setuju untuk mendapatkan pengobatan, dalam model ini mirip dengan yang dijelaskan di atas dalam “Pembatasan untuk obat-obat tertentu.” Jika permintaan melebihi penawaran, biasanya akan ada daftar tunggu untuk pasien.

Proses untuk menambahkan obat baru ke dalam daftar penggantian, menghilangkan obat lama atau merubah status reimbursement jika data baru tersedia adalah ada pada pusat manajemen manfaat farmasi. Produsen memerlukan informasi status penggantian produk mereka agar memiliki gambaran penjualan dalam pasar yang tercakup oleh institusi pembayar. Dokter dan pasien masing-masing memiliki pendapat sendiri mengenai obat mana yang penting dan mendorong dimasukkannya obat tersebut ke dalam daftar yang mendapatkan penggantian. Produsen mengembangkan dan membina hubungan dengan pembuat resep dan pasien untuk menekan pengambil keputusan. Akibatnya, tekanan terhadap para pengambil keputusan menjadi kuat dan proses pengambilan keputusan dapat dengan mudah dipolitisasi atau bahkan dikorupsi.

Menetapkan besaran daftar reimburs
Untuk mengurangi tekanan politik, proses pemasukkan obat ke dalam daftar penggantian (atau mengubah status penggantian atau menghapuskan obat lama) harus didasarkan pada aturan-aturan yang jelas dan diorganisasi dengan cara yang transparan dan memperhitungkan berbagai sudut pandang. Banyak negara memiliki pedoman pengobatan, yang biasanya dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan organisasi profesi. Jika pedoman seperti itu ada, jelas bahwa daftar penggantian harus mencakup obat-obatan yang disebutkan dalam pedoman ini. Akan tetapi, untuk obat-obatan inovatif, sering kali keputusan untuk memberikan penggantian terbatas dibuat jauh-jauh hari sebelum pedoman pengobatan diperbarui. Hal ini berakibat diperlukannya telaah/penilaian terhadap obat-obat baru berdasarkan data sementara dan membuat keputusan soal reimbursement. Negara-negara maju telah menetapkan lembaga khusus untuk melakukan penilaian terhadap teknologi baru (Health Technology Assessment = Badan Penilaian Teknologi Kesehatan).
Negara-negara miskin maupun berkembang akan menghadapi dilema yang sama, bahwa tidak semua yang dibutuhkan akan terjangkau, dan mungkin tidak mampu membayar lembaga secara penuh untuk melakukan penilaian produk dan pendekatan baru. Tantangannya adalah bagaimana mengembangkan paling tidak kapasitas untuk mengetahui dan memahami pengalaman dari institusi khusus negara-negara lain dan memprosesnya dengan mengambil keputusan yang rasional dan transparan dengan mempertimbangkan prioritas nasional dan realitas ekonomi. Indonesia saat ini sedang membentuk proses penilaian terhadap teknologi.
Sisi lain dari tekanan politik pada lembaga pembayar yang memberikan biaya penggantian untuk obat-obatan adalah kemampuan daya beli yang merupakan peran terbesar sebagai pembayar utama atau pembayar yang memonopoli. Indonesia akan menikmati model pembayar tunggal ini dan perlu meningkatkan kemampuan daya belinya.
Penggunaan kemampuan daya beli secara bijaksana dapat menjadi kunci untuk memberikan nilai tambah bagi pasien yang tercakup dalam skema manfaat obat. Ini berarti bahwa pembayar perlu memutuskan apakah obat baru akan masuk dalam biaya penggantian pada saat bernegosiasi dengan pemasok. Seringkali negosiasi fokus hanya pada harga, dan hampir semua asuransi dan skema manfaat obat menggunakan harga yang sudah ada dan sudah ditetapkan. Namun demikian, untuk produsen obat-obatan inovasi, ruang untuk konsesi sangatlah terbatas. Sistem penetapan harga ini cenderung saling mencontoh satu sama lain, sehingga produsen enggan untuk menawarkan harga lebih rendah di satu negara daripada negara yang lain, terlepas dari pendapatan per kapita negara tersebut.

Gunakan Kemampuan daya beli untuk bernegosiasi dengan pihak penyedia layanan
Strategi negosiasi yang cerdas tentu mempertimbangkan faktor-faktor ini dengan tujuan membatasi jumlah pasien yang dicakup dengan harga penuh, sementara produsen harus menyediakan akses terhadap obat tersebut secara cuma-cuma atau dengan biaya yang jauh berkurang jika permintaan melebihi jumlah pasien yang disepakati. Variasi dari model ini bisa juga dengan cara produsen memberikan lisensi sukarela untuk versi generik, yang kemudian digunakan secara eksklusif di segmen pasar yang menargetkan masyarakat rentan miskin. Informasi detil tentang kesepakatan “berbagi risiko” dan akses berbagai program mungkin berbeda pada setiap obat, dan dari satu negara ke negara lainnya. Yang penting adalah bahwa proses pengambilan keputusan memaksa kedua belah pihak (pembayar dan produsen) untuk duduk bersama dan bernegosiasi untuk menghasilkan solusi terbaik.
Kebanyakan sistem memungkinkan apoteker untuk mengganti menjadi “downwards”, artinya mengganti obat bermerek atau yang lebih mahal dengan yang setara dan lebih rendah. Dalam beberapa sistem, apoteker harus menawarkan versi yang paling hemat biaya kepada pasien ( kendali biaya, kendali mutu). Yang penting untuk keberhasilan sistem tersebut adalah cara pembayaran kepada apoteker. Jika pembayaran adalah persentase dari harga eceran, apoteker tidak memiliki insentif untuk merekomendasikan alternatif yang lebih hemat biaya. Sebaliknya, jika apoteker dibayar melalui biaya pengeluaran yang flat, kepentingan diri tidak akan berbenturan dengan pengeluaran (cost-conscious dispensing).
Ada faktor lain yang sering diabaikan dampaknya terhadap praktik pengeluaran: untuk obat yang memiliki banyak kesetaraan generik yang bersaing untuk mendapatkan pangsa pasar, kekuatan apoteker untuk menentukan menjadi faktor penting dalam memastikan penjualan. Alih-alih membujuk dokter untuk meresepkan merek tertentu, perwakilan perusahaan obat menawarkan obat bebas untuk grosir/distributor dan apoteker ritel untuk menekan persaingan. Karena pembayar biasanya tidak memiliki kontrol atas catatan transaksi baik grosir dan apoteker, sehingga mereka mendapatkan penggantian secara penuh atas obat-obatan yang terjual, entah mereka mendapatkannya dengan cara membayar ataupun gratis karena dianggap sebagai “bonus”. Di banyak negara, sistem bonus telah mendistorsi insentif dalam rantai distribusi.

Peran distributor dan apoteker
Salah satu cara untuk mengatasinya adalah bernegosiasi langsung dengan produsen untuk mendapatkan harga yang rendah dan kemudian membatasi hak substitusi bagi apoteker untuk sejumlah kecil alternatif “yang lebih disukai” yang dipilih untuk setiap obat. Status “lebih disukai” harus dinegosiasikan ulang atau didefinisikan dalam proses tender secara berkala (misalnya setiap tahun atau setiap dua tahun) untuk memastikan jumlah produsen yang memadai tetap berada di pasar. Jika tidak, hasil jangka panjang akan menjadi oligopoli atau monopoli dan harga akan naik kembali.
Seperti dikemukakan di atas, bagi banyak stakeholder, setidaknya bagian dari eksistensi ekonomi dan kesejahteraan mereka tergantung pada sektor farmasi. Di sisi penawaran, produsen, distributor dan apoteker diharapkan memiliki lobi kuat dan hubungan tingkat tinggi. Pasien sering menilai kualitas dari keseluruhan paket manfaat berdasarkan pada bagian farmasi, yang merupakan bagian yang paling, nyata dan yang mereka langsung rasakan jika tidak sesuai yang diharapkan. “Melakukan kesalahan” bisa berarti akhir dari karir politik seorang menteri atau bahkan menyebabkan kekalahan Presiden dalam pemilihan umum.

Reformasi tidak pernah berakhir
Cara terbaik untuk mengurangi suara-suara kepentingan dan harapan berbagai pihak adalah dengan membangun sebuah platform dialog yang melibatkan berbagai pihak, dan memaksa semua pihak untuk saling mendengarkan satu sama lain dan membuatnya lebih sulit untuk menjelek-jelekkan lawan atau memutarbalikkan fakta. Para politisi dan staf teknis mungkin menganggapnya buang-buang waktu dan pengalaman yang tidak menyenangkan, namun duduk satu meja dengan semua pemangku kepentingan utama dapat membantu mengatasi ketegangan sebelum mereka diperdebatkan di media; dialog ini memungkinkan untuk mengambangkan ide dan mengidentifikasi kesamaan dan memungkinkan reformis dalam pemerintahan untuk memilih perdebatan yang akan mereka lakukan. Salah satu model yang baik untuk platform dialog multipihak di sektor farmasi adalah Medicines Transparency Alliance (MeTA) atau aliansi transparansi Obat-obatan, yang disponsori oleh DFID di tujuh negara (di Asia Tenggara, Filipina adalah satu-satunya negara anggota MeTA).
Menyiapkan platform seperti itu tidaklah mahal. Di Indonesia, sudah ada platform pengetahuan berbasis perguruan tinggi untuk mendukung reformasi kesehatan. Menambahkan platform dialog seperti MeTA mungkin bisa sinergis karena data dan opini yang dikumpulkan dapat dibagi melalui situs web yang ada. Salah satu unsur keberhasilan penting untuk MeTA adalah partisipasi aktif dari masyarakat umum, mewakili warga biasa yang seharusnya memperoleh manfaat, tetapi memiliki sedikit pemahaman tentang kompleksitas sektor farmasi. MeTA menyediakan pendanaan terbatas untuk organisasi masyarakat sehingga mereka secara teratur bisa berpartisipasi dalam pertemuan, melatih anggota mereka dan membantu dalam mengorganisasikan survei, memonitor ujicoba, dll.
Mengelola “Politik” keputusan biaya penggantian kefarmasian
Dalam berkomunikasi dengan masyarakat umum, perlu berhati-hati untuk tidak memberikan harapan yang tidak realistis yang nantinya menyebabkan reaksi dalam opini publik jika mereka kecewa. Yang lebih efektif adalah dengan mempraktikkan “berbagi dilema” yang berarti mendidik masyarakat tentang perlunya tawar menawar (trade-off) dan mengatur forum dialog atau platform online di mana warga negara dapat mengekspresikan pandangan mereka, mengomentari solusi potensial atau menyarankan alternatif. Proses tersebut menciptakan kepemilikan bersama dan mengurangi kemungkinan bahwa mereka yang berkuasa harus mengambil semua kesalahan jika terjadi kesalahan.
Sebagai bahan pemikiran – reformasi di sektor kesehatan adalah proses yang berkelanjutan. Apa solusi yang baik saat ini mungkin merupakan masalah dalam dua tahun berikutnya. Oleh karena itu, sistem harus dirancang agar tidak terlalu “sulit “: hukum harus menentukan kerangka kerja umum dan meninggalkan hal-hal teknis bagi peraturan yang dapat lebih mudah diubah. Berakhirnya kontrak harus dibuat secara otomatis dan mendorong adanya negosiasi ulang. Sistem monitoring perlu penyesuaian fokus pada saat penyedia jasa sedang belajar untuk “play the system”, dan semua pemangku kepentingan harus dididik bahwa tidak ada yang sudah selesai dan tak ada yang berubah jika mereka tidak bekerja.
‘APAKAH INI SEKEDAR MIMPI, TAPI HIDUP ADALAH BERGERAK, BERFIKIR, BERBUAT, DAN………..BISA SALAH”

Disampaikan pada Seminar GP farmasi Sum.Utara “Dampak BPJS Terhadap Profesi dan Bisnis Farmasi” 23 April 216, di Medan Oleh DR. Chazali H.Situmorang, APT,M,Sc Ketua DJSN 22011-2015/ Dosen FISIP UNAS/ Direktur Social Security Development Institute

Sumber :
Policy Note #12 oleh Andreas Seiter dari Bank Dunia (World Bank).

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top