Opini

Wajah Partai Politik Pasca Reformasi

gambar-lambang-partai-politik-pemilu-2014-1

Asra Oktaviandi*

Eforia demokrasi di sambut hangat di Indonesia pasca rezim orde baru. Dibukanya kran kebebasan terhadap pers, menjamurnya partai politik, terlihat dari peserta pemilu pada tahun 1999 sebanyak 48 partai politik.

Melihat keberadaan Partai politik zaman Orde Baru, Partai politik difusikan menjadi tiga partai. Pertama, PPP merupakan representasi dari umat islam. Kedua, PDI merupakan partai kelompok nasionalis dan Ketiga, Golkar diidentikan sebagai partai pemeritah.

Berkembangnya aspirasi-aspirasi politik baru dalam suatu masyarakat, yang disertai dengan kebutuhan partisiasi politik yang lebih besar, dengan sendirinya menuntut pelembagaan sejumlah saluran baru, diantaranya pembentukan partai politik baru. Kondisi inilah yang terjadi di Indonesia setelah terjadinya reformasi. Semua sistem kehidupan kenegaraan ditata kembali termasuk sistem kepartaian.

Partai politik memerupakan representasi dan indikator bagi sebuah negara yang menjalankan sistem demokrasi. karena partai politik merupakan wadah untuk menghimpun aspirasi ditengah masyarakat. Melalui partai politik aspirasi tersebut bisa diperjuangkan untuk kepentingan kelompok atau golongan.

Kehidupan kepartaian di Indonesia sejak awal reformasi sampai saat ini belum mencerminkan sebagai sebuah wadah aspirasi bagi kelompok masyarakat yang lebih besar. sehingga prilaku para tokoh-tokoh politik lebih kepada pragmatisme politik belaka. Penulis melihat gejala ini terjadi karena. Pertama, ideologi partai politik yang kabur, sehingga tujuan dari partai tersebut menjadi kabur. Contoh kasus dapat kita lihat pada kandidat yang mengukuti pemilu. Dalam kampenyenya tidak jelas kepentingan kelompok mana yang ingin diperjuangkan, jadinya slogan-slogan kampanye para kandidat hanya berkutat pada seputar kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat mana yang ingin diperjuangkan tidak jelas.

Kedua, ideologi partai tidak mampu menghayati kehidupan para kader partai. Jadi tidak mengherankan seorang kader partai politik tertentu pindah ke partai lain dan politisi yang tidak puas terhadap partai tertentu mendirikan partai baru.

Ketiga, politik dinasti oleh partai politik, sehingga partai politik identik dengan keluarga tertentu. Sehingga pendidikan politik oleh partai politik tidak sesuai dengan semangat demokrsi.

Empat, pola pengambilan keputusan partai politik sentralistik, semua keputusan-keputusan penting ditentukan oleh ketua umum. Kondisi ini menyebabkan partai cenderung lambat dalam mengambil keputusan dan tentunya kontraproduktif.

Fenomena ini tentunya menjadi problem serius yang harus dicarikan solusinya dalam sistem multipartai. Kedepan pemangku kebijakan harus mencarikan solusi agar demokrasi bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Sehingga pesta demokrasi tidak hanya pergantian kepemimpinan dan pemindahan kekuasaan.

*Departemen PB HMI

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top