Opini

Spirit Bung Hatta Untuk Indonesia

bung-hatta

Oleh: Wahyu Triono KS

Mohammad Hatta, atau Bung Hatta adalah contoh dari sedikit pemimpin bangsa Indonesia yang memberikan keteladanan. Dalam pidato kebudayaan, 7 Juni 2012, Nurcholish Madjid, dengan amat sempurna menggambarkan sosok Bung Hatta sebagai salah satu pemimpin yang dapat diteladani. Katanya, Hatta lebih menekankan kesalehan esensial dari pada kesalehan simbolik-formal. Hatta menangkap ajaran agama sebagai “garam” bukan “gincu”.

Garam yang larut dalam air memberikan rasa asin namun tidak nampak nyata. Kesalehan esensial larut sempurna dalam jiwa raga seseorang, mungkin juga sukmanya, dan langsung membentuk keperibadian yang diliputi fitrah kemanusiaan.

Sebaliknya, “gincu” memberi warna menarik pada air, namun tidak ada hakikat cita rasanya, kesalehan formal mewarnai perilaku lahiriah dan ucapan seseorang. Kendati demikian, hal itu tidak menembus kalbu dalam rongga dadanya dan tidak secara sejati membentuk budi pekertinya.

***

Hal penting lainnya yang acap kali disepelekan, meskipun bagian dari spirit keagamaan itu sendiri adalah soal keluarga, atau kehidupan rumah tangganya sehari-hari. Sosok Bung Hatta, menurut Meutia (putri sulungnya), memiliki mata air kasih sayang yang berlimpah. Lewat tutur sapanya nan lembut, tanpa harus kehilangan wibawa dan disiplin di mata anak-anaknya. Bung Hatta adalah potret ayah Indonesia sejati.

Rachmi Hatta, sang istri, dikenal pula sebagai perempuan dibalik keteguhan suaminya saat harus berhadapan dengan godaan dunia. Rachmi bukan tipikal istri “gila hormat”, hobi gosip dan arisan, shopping-mania, memecat pegawai suaminya sambil terus mempergunakan privillage jabatan dinas suaminya. Bukan pula pembisik agar anak, menantu, ponakan dapat proyek dan jadi pegawai atau mendapat jabatan di sana-sini sambil terus berpidato soal gizi sehat dalam kunjungan sosial ke perkampungan kumuh dibawah sorotan kamera televisi, dimuat dan diberitakan koran-koran dan majalah dengan biaya negara.

Bung Hatta, Rachmi, Meutia, Gemala, dan Halida pastilah bukan wujud manusia-manusia sempurna, namun kebersahajaan kolektif keluarga ini sebagai sebuah “tim” tampaknya membantu menjelaskan kepada kita tentang mengapa Bung Hatta dan keluarganya tetap mampu memilihara prinsip, nurani dan martabat sebagai manusia, ditengah bangsa Indonesia sedang mengalami devisit keteladanan, dimana keteladanan menjadi elemen-elemen fundamental yang nyaris absen di rumah-rumah keluarga Indonesia, tempat cikal bakal pemimpin kita disemaikan.

***

Sangat tepat bila kita mengambil spirit keteladanan Bung Hatta bagi para calon pemimpin daerah dan para pemimpin Indonesia. Dengan spirit Bung Hatta ini, akan lahir pemimpin-pemimpin yang tidak hanya sekedar pandai membuat slogan dan janji, tetapi tidak mampu berbakti untuk negeri. Harapan kita akan lahir para pemimpin yang memiliki kesalehan esensial, menangkap ajaran agamanya sebagai “garam” bukan “gincu” pemanis dan pencitraan belaka, pemimpin yang sukses mempin keluarga kecilnya, sebelum sukses memimpin keluarga besar Indonesia.

Akan lahir para pemimpin yang memiliki rekam jejak dan track record yang jelas. Menjadikan keluarga kecilnya sebagai pohon kepemimpinan, kasih sayang sebagai akar penyangganya, buah manisnya adalah anak-anak yang cerdas, santun, jujur, hemat dan sederhana. Pemimpin yang menjadikan keluraga besar (masyarakatnya) dapat mewujudkan kesejahteraan bagi peningkatan harkat dan martabat kemanusiaannya, lantaran mereka adalah pemimpin yang memberikan keteladanan dan memiliki kesadaran bahwa satu keteladanan lebih berharga dari sejuta arahan. [ ]

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top