Opini

Pendidikan Revolusi Mental

Wahyu Triono KS

Oleh: Wahyu Triono KS

Sewaktu Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu memberikan himbauan kepada orang tua siswa untuk mengantar anaknya ke sekolah di hari pertama sekolah pada tahun ajaran baru, telah menyedot perhatian para orang tua untuk lebih peduli pada pendidikan. Namun perhatian kita kembali dialihkan ketika beberapa waktu kemudian Anies Baswedan dibebastugaskan oleh Presiden dari tugasnya sebagai menteri.

Kita tidak hendak mendiskusikan tentang mengapa Anies Baswedan diberhentikan dan diganti oleh Muhadjir Efendi, kita ingin memotret lebih fokus tentang masa depan pendidikan Indonesia dikaitkan dengan pengarusutamaan pada Gerakan Nasional Revolusi Mental. Bagaimana Pendidikan Revolusi Mental mewujud dalam pendidikan formal, informal, dan nonformal kita. Pertanyaan semacam ini menggeliat seiring dengan kecemasan kita para orang tua terhadap masa depan putra-putri kita, anak generasi masa depan Indonesia ketika berhadap-hadapan dengan tantangan globalisasi.

Wajib Belajar

Ada satu kalimat yang penuh spirit moral, kira-kira bunyinya begini: “setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru, dan setiap waktu adalah belajar” dan kita tidak tahu pasti siapa yang menemukan kalimat yang sarat makna ini.

Tentu bukan lantaran kalimat ini, tiba-tiba muncul berita tentang banyaknya anak-anak yang tidak tertampung di sekolah-sekolah formal, sehingga bisa bersekolah di tempat mana saja, akibat terbatasnya daya tampung sekolah menengah, seperti yang terjadi di Kota Depok beberapa minggu setelah proses belajar dan mengajar telah berlangsung.

Dari Dinas Pendidikan Kota Depok diperoleh data bahwa seratus ribuan siswa yang lulus SD dari 400 SD negeri dan swasta di Depok, hanya 6.636 siswa yang diterima di SMP negeri dan puluhan ribu siswa yang lulus SMP dari 110 SMP negeri dan swasta di Depok hanya 4.160 orang yang bisa tertampung di 13 SMA Negeri dan SMK Negeri.

Meskipun pemerintah Kota Depok pada tahun 2015 sudah menambah delapan sekolah negeri (SMPN, SMAN dan SMKN), namun kondisinya tetap belum mencukupi dan dikhawatirkan bahwa siswa yang lulus SD ataupun SMP akan banyak yang putus sekolah.

Bagaimana dengan daerah-daerah lain di seluruh Indonesia? Tentu saja situasi seperti ini akan banyak kita temukan. Inilah salah satu persoalan yang kita hadapi berkaitan dengan program Wajib Belajar 12 Tahun yang dicanangkan oleh pemerintah.

Ada tiga hal penting yang perlu menjadi fokus perhatian dalam pembangunan pendidikan kita. Pertama, ketersediaan dan kecukupan fasilitas untuk menunjang terlaksananya pendidikan bagi siswa-siswi di semua daerah di Indonesia. Fasilitas itu tidak saja hanya masalah sekolah-sekolah dengan ruang kelas dan fasilitas belajar yang tersedia tetapi juga ketersediaan tenaga kependidikan yang menjadi penentu suksesnya proses belajar dan mengajar.

Kedua, meningkatkan kualitas dan mutu tenaga kependidikan yang profesional, memiliki kompetensi dan moralitas yang teruji dan terpuji agar siswa-siswi menemukan keteladanan yang menginternalisasi keperibadian dan sikap (afektif) mereka, mendapatkan pengetahuan (kongnitif) yang memanusiakan para siswa-siswi sebagai manusia pembelajar dan memiliki keterampilan (psikomotorik) yang menjadi bekal para siswa-siswi dalam menjalani kehidupannya bermasyarakat dan berbangsa.

Ketiga, pengarusutamaaan kurikulum pendidikan yang memiliki basis untuk peningkatan sikap (afektif), pengetahuan (kongnitif) dan keterampilan (psikomotorik) siswa-siswi dan terpenting adalah bagaimana pendidikan melalui kurikulum yang disusun sedemikian rupa akan mengembangkan mental kepribadian siswa-siswi untuk merubah dirinya atau merevolusi dirinya dengan suatu Gerakan Nasional Revolusi Mental di sekolah, di lingkungan masyarakatnya dan di rumah keluarga-keluarga Indonesia.

Kesemuanya itu menjadi suatu gerakan pemerintah bersama masyarakat untuk menjadikan wajib belajar itu sebagai suatu kesatuan yang utuh antara keluarga, masyarakat dan pemerintah menjadikan semua tempat baik itu sekolah dan semua tempat atau lingkungan menjadi sekolah bagi siswa-siswi, setiap orang menjadi guru yang dapat diteladani oleh siswa-siswi dan setiap waktu adalah proses belajar bagi siswa-siswi yang merupakan generasi penerus banga Indonesia.

Gerakan Nasional Revolusi Mental

Bagaimana kita memulai suatu Gerakan Nasional Revolusi Mental yang menjadi isu utama pemerintahan Joko Widodo – M . Jusuf Kalla? Tidak lain dan tidak bukan, sekolah revolusi mental yang menjadikan semua tempat menjadi sekolah bagi putra-putri bangsa Indonesia, semua orang menjadi guru yang dapat diteladani karena sikap dan kepribadiaannya yang teruji dan terpuji dan setiap waktu adalah belajar menjadi solusi tepat bagi kita untuk memulai melakukan Gerakan Nasional Revolusi Mental.

Dengan berbagai gempuran arus globalisasi yang merubah cara berpikir, prilaku dan kepribadian kita, pilihan pada revolusi mental setiap kita dan fokus gerakan yang ditujukan kepada generasi muda atau para putra-putri bangsa yang masih di usia sekolah dan melalui pendidikan kita akan meyakini bahwa Gerakan Nasional Revolusi Mental segera mewujud.

Namun tentu saja kita tidak sedang membuat atau memproduksi tempe (pagi kedelai sore menjadi tempe), atau membuat toge (malam kacang pagi menjadi toge), Gerakan Nasional Revolusi Mental membutuhkan waktu, kesabaran dan kesungguhan kita semua.

Beberapa prasyarat yang dapat kita jadikan sebagai para meter agar Gerakan Nasional Revolusi Mental melalui pendidikan dikatakan menuju pada jalan yang benar dan dapat memberikan kepercayaan kepada kita akan keberhasilan dari gerakan ini apabila gerakan ini difokuskan pada: Pertama, kesungguhan pemerintahan Joko Widodo – M. Jusuf Kalla menjadikan Gerakan Nasional Revolusi Mental menjadi gerakan bersama semua masyarakat dan pemerintah dengan memberikan dukungan yang sungguh-sungguh terhadap proses pelembagaan dan institusionalisasi terhadap Gerakan Nasional Revolusi Mental agar memiliki legitimasi yang kuat dalam mengawal Gerakan Nasional Revolusi Mental ini kesemua sendi kehidupan kebangsaan kita akan segera mewujud dan tentu saja akan membuka jalan bagi munculnya partisipasi masyarakat luas terhadap pentingnya gerakan ini untuk masa depan bangsa Indonesia.

Kedua, program dan proyek percontohan (pilot project) Gerakan Nasional Revolusi Mental musti di kembangkan di seluruh daerah melalui manual dan buku-buku panduan dan bacaan sederhana yang mengangkat role model nilai-nilai sikap dan kepribadian yang baik dari bangsa Indonesia serta nilai-nilai kearifan lokal bangsa. Selain itu adanya sekolah revolusi mental, dan taman revolusi mental yang terintegrasi di lingkungan belajar dan lingkungan bermain putra-putri banga Indonesia musti dikembangkan.

Ketiga, nilai-nilai moral yang utama atas keunggulan bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah, santun, sopan, suka bergotongroyong dan nilai-nilai baik lainnya seperti budaya antri, mendahulukan kepentingan umum, menjaga silaturahmi dan menghargai perbedaan sebagai bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika, dan menjunjung semangat musyawarah mufakat musti terus ditanamkan kepada semua masyarakat bangsa Indonesia terutama kepada putra-putri penerus bangsa Indonesia.

Dengan demikian, apa yang diharapkan para bapak pendiri (the founding fathers) bangsa Indonesia terutama Bung Karno, bahwa National and Character Building bangsa Indonesia harus terus dilakukan dengan membangun jati diri atau membangun karakter bangsa akan dapat terus dilaksanakan secara berkesinambungan dari kemajemukan masyarakat Indonesia.

Pendek kata, Gerakan Nasional Revolusi Mental melalui pendidikan ini diharapkan akan memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect) dan tubuh anak, sehingga dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita generasi penerus bangsa Indonesia. Inilah yang menjadi cita-cita dan harapan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional terhadap pembangunan pendidikan nasional kita. [ ]

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top