Opini

Membatalkan Hasil Empat kali Amandemen UUD 1945 Perlu Referendum?

20161003_235704

Ahmad Gazali*

Minta persetujuan rakyat (Referendum) untuk membatalkan UUD hasil MPR 1999-2002 atau  empatkali amandemen  perlu dikaji atau dibicarakan ulang oleh para pemikir dan negarawan di negeri ini. Kalau tidak akan terjadi krisis konstitusi dan akan terjadi krisis politik yang lebih komplek, sehingga akan mempercepat disintegrasi bangsa.

Tujuan tentang kesejahteraan  sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 195 dan Sila ke-5 Pancasila mustahil terwujud, jika kedaulatan rakyat berhenti pada Presiden dan DPR. UUD 1945 yang mengalami empat kali amandemen ditemukannya inkosistensi, kontradiksi,dan ketidakselarasan antar pasal dan ayat. Akibatnya Negara terjebak pada kekuasaan oligarki, praktik penyelenggaraan lebih berorientasi pada demokrasi dan hukum, mengabaikan pembangunan kesejahteraan sebagai tujuan utama.

Amandemen UUD 1945 yang mengatur tentang Negara Hukum, Tujuan Negara, dan Demokrasi, tidak menunjukkan adanya hubungan yang koheren dengan nilai-nilai dan cita hukum yang terkandung dalam esensi staats fundamental norm  yaitu nilai-nilai Pancasila. “Hasil penjabaran amandemen UUD lebih memprioritaskan aspek politik dan hukum sementara tujuan Negara welfare state tidak dijadikan prioritas”.

Antara lain ayat 4 pada pasal 33 mengatur perekonomian Indonesia bertentangan dengan tiga ayat sebelumnya, yang intinya demokrasi ekonomi dan dalam prakteknya diterapkan ekonomi liberal. Pasal ini tidak koheren dengan pembukaan UUD 1945, Pancasila dan Pasal 1 UUD 1945. Pasal 1 ayat (1) Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik, lalu pada ayat 2 Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Namun berdasarkan sistem demokrasi hasil amandemen, kekuasaan eksekutif dan legislatif, menunjukkan representasi kekuasaan rakyat berhenti pada Presiden, DPR dan DPD.

Apabila sebelum amandemen  MPR merupakan representasi kekuasaan dan kedaulatan , dengan hasil amandemen UUD tugas MPR praktis melantik Presiden dan Wakil Presiden saja. Struktur kekuasaan Negara  yang ada saat ini, MPR ibarat macan ompong. Pada pasal 22 E UUD 1945 mengatur tentang pemilihan umum menunjukkan kontrakdiksi, dimana proses demokrasi berprinsip liberalisme-individualisme, karena semuanya dilaksanakan secara langsung berdasarkan pada prinsip matematis tanpa memberi ruang musyawarah dan mufakat.

Menurut Ahmad Syafii Maarif: titik pangkal persoalan ada pada perilaku elit Negara yang tidak bersikap negarawan. Dia menilai hasil pemikiran amandemen UUD 1945 jauh menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, jalan keluar yang ditawarkan Buya Syafii: untuk meluruskan kembali UUD 1945 yang berdasarkan Pancasila, agar bisa merujuk hasil dokumen konstituante 1956-1959, perlu diungkap kembali, 90 isinya bagus.

Banyak peraturan perundang-perundangan yang dihasilkan hanya menyesuaikan pada kepentingan partai, kelompok, dan tidak jarang mencomot ideologi asing.  LSM asing dibawah Partai Demokrat AS telah mengintervensi amandemen UUD 1945.  National Demokratic Institution (NDI) di bawah Partai Demokrat AS telah mengelontorkan 45 juta dolar AS untuk mengawal amandemen konstitusi Indonesia sejak 1999 hingga 2002. Intervensi itu terlihat dari ada muatan liberal dalam pasal-pasal UUD 1945 hasil amandemen sangat dominan. Prof. Dr. Syofyan Efendi MPA (mantan Rektor UGM) mencatat; 82,5 persen isi amandemen UUD 1945 mengandung muatan liberal.

Hal itu membuat 61 UU yang merupakan produk hukum turunan  konstitusi itu menjadi sangat liberal. Misalnya UU Investasi yang akhirnya dianulir oleh MK, klarena UU itu memungkinkan investor asing untuk menguasai sumberdaya alam selama 195 tahun dengan kepemilikan modal maksimal bisa sampai 95 persen. Untul hal seperti ini diperlukan pemimpin yang berani melepaskan bangsa Indonesia dari penjajahan yang memanfaatkan jargon-jargon modern.

Dr. Emir Soendoro, SpOT Ketua Pekumpulan Koalisi Nusantara Bersatu dalam bukunya: KEMBALI KE UUD 1945, menyimpulkan antara lain: Amandemen terhadap UUD 1945 yang dilaksanakan empat kali sejak 1999 hingga 2002, tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, karena pasal-pasal yang ada dalam batang tubuh banyak yang tidak sesuai dengan Mukadimah UUD 1945.

Tulisan ini diangkat  kembali mengingatkan kita,ke depan tantangan bangsa kita kian berat karena adanya krisis konstitusi, rakyat kebanyakan berada pada era repotnasi, kian melebaranya kesenjangan kaya-miskin. Perlu dicarikan jalan keluarnya bersama. Perlu ada keseteraaan DPR dengan DPD. Perlu dikaji kembali peran dan wewenang MPR yang juga sudah digagas oleh MPR sekarang oleh pimpinannya Zulkifli Hasan. Selama Irman Gusman berada di DPD terus memperjuangkan kesetaraan peran wewenang dua lembaga tersebut. ***

Konsultan Pertanian terpadu berbasis teknologi, berdomisili di Bogor.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top