Opini

Jokowi Melawan Kepalsuan

Jokowi Melawan Kepalsuan

Wahyu Triono KS

Oleh: Wahyu Triono KS
Wakil Direktur Social Security Development Institute (SSDI) dan Founder Cinta Indonesia Associate (CIA)

Setelah Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi melakukan Reshuffle Jilid II Kabinet Kerja pada pemerintahannya, saya teringat pada Nurcholish Madjid (1939-2005), Tokoh Nasional yang banyak memberikan kontribusi bagi kemajuan pembangunan demokrasi dan masyarakat madani di Indonesia. Ia lebih dikenal sebagai Tokoh Pembaharuan Pemikiran Islam.

Gagasan Nurcholish Madjid tentang struktur dan sistem yang paling mungkin untuk dipertaruhkan oleh bangsa Indonesia pasca turunnya Prersiden Soeharto dari kepemimpinannya menjadi relevan untuk kita perbincangkan bila dikaitkan dengan menteri kabinet baru Presiden Jokowi yang bak masinis kereta api yang berjalan dan bekerja cepat, efektif, dan solid, sehingga bisa memberikan hasil nyata dalam waktu cepat.

Sebagaimana banyak dipublikasikan oleh media, sosok Joko Widodo, terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia ke tujuh, digambarkan sebagai pemimpin yang berasal dari rakyat, menjadi pemimpin yang otentik. Ketika itu, pada 2014, kebanyakan masyarakat Indonesia mengidentifikasikan dirinya seperti Jokowi. Keotentikan dan orisinalitas perkataan, sikap, prilaku dan perbuatan Jokowi mengidentifikasi sejatinya rakyat Indonesia kebanyakan, sehingga mereka mendeklarasikan diri dengan jargon “Jokowi adalah Kita”

Presiden Jokowi yang dipersonifikasi dengan gaya kepemimpinan yang khas, blusukan, otentik, orisinil dan asli, penuh kejujuran, ketegasan, dan kecepatan dalam mengambil keputusan serta tidak menyukai kepalsuan atau sekadar memainkan politik pencitraan ini, tampaknya menjadi menarik untuk kita diskusikan saat ini. Bagaimana Presiden Jokowi Melawan Kepalsuan?

Menteri Dambaan Presiden Jokowi
Alasan paling mendasar mengapa Presiden Jokowi melakukan Reshuffle Jilid II Kabinet Kerja adalah untuk mempercepat penanganan masalah ekonomi dan kesenjangan wilayah. Memperkuat ekonomi nasional untuk menghadapi ekonomi dunia yang melambat, sekaligus penuh persaingan dan kompetisi, reshuffle kabinet juga demi membuka lapangan kerja seluas-luasnya untuk rakyat.

Bagi Presiden Jokowi, tantangan terus berubah dan membutuhkan kecepatan dalam bertindak memutuskan. Bertindak langsung yang dirasakan rakyat dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Karenanya Presiden Jokowi mendambakan para menteri barunya bekerja lebih cepat, efektif, dan solid, sehingga bisa memberikan hasil nyata dalam waktu cepat. Sepertinya Presiden Jokowi menginginkan agar menterinya bak masinis Kereta Api, sebagaimana poyek kereta api yang monumental yang akan menjadi legacy pemerintahannya.

Berkaitan dengan model kepemimpinan seperti masinis kereta api, Nurcholish Madjid (1939-2005) di Tahun 1997, satu tahun menjelang reformasi berlangsung pernah mengemukakan tentang suatu pandangan agar bangsa Indonesia mempertaruhkan pada sesuatu yang lebih berat yaitu kepada struktur dan sistem, tidak pada pribadi.

Nurcholish Madjid mengumpamakan kalau dari Jakarta ke Surabaya ini ada empat macam kendaraan. Naik kapal terbang, naik kapal laut, naik mobil, naik kereta api. Yang paling tidak terstruktur adalah naik kapal terbang. Begitu naik ke atas, pilotnya bisa semaunya. Dibelokkan ke Pontianak siapa yang bisa cegah? Laut, sedikit banyak ada hambatan. Mobil meskipun ada jalan, masih bebas kemana-mana. Yang paling terstruktur adalah kereta api. Masinis perananya tetap penting, tetapi tidak menentukan. Karena ada rel dan di setiap stasiun ada pemimpin perjalanan kereta api. Indonesia harus dibuat seperti kereta api. Yaitu taruhannya adalah struktur dan sistem, tidak lagi tergantung pada pribadi-pribadi.

Pilihan Presiden Jokowi terhadap Kabinet Kerja barunya bisa jadi seperti apa yang dikemukakan Nurcholish Madjid ini, menteri-menteri perannya tetap penting, tetapi tidak menentukan. Para menteri bertugas sebagai masinis yang membawa gerbong kementeriannya menuju lokomotif besar bernama Nawa Cita, 9 Agenda Prioritas Jokowi-JK. Di atas lokomotif besar ini masinisnya adalah Jokowi. Dengan struktur dan sistem sedemikian itu, Jokowi sebagai Presiden hanyalah yang pertama dari yang sama. The first among the ages, bukan lagi presiden bapak bangsa.

Jadi pilihan pada struktur dan sistem demikian ini, akan memberikan suatu pemahaman kepada kita bahwa sebagai Presiden, Jokowi peranannya tetap penting tetapi tidak sangat dominan menentukan keputusan dan kebijakan secara power full, yang menentukan adalah struktur dan sitem yang telah disepakati bersama dan Nawa Cita, 9 Agenda Prioritas Jokowi-JK, yang telah menjadi kontrak politik dan kesepakatan partai politik pengusung dan pendukung, para pendukung pasangan Jokowi-JK, masyarakat Indonesia secara luas dan stake holders lainnya seperti pelaku usaha dan lain-lainnya.

Menariknya, dengan konsepsi menteri-menteri Kabinet Kerja Baru dambaan Presiden Jokowi bak Masinis Kereta Api itu, justru telah menghentikan masa jabatan menteri-menteri yang pernah punya kedekatan historis dan ideologis dengan Nurcholish Madjid seperti Sudirman Said, Anies Baswedan, Ferry Mursyidan Baldan dan Yuddy Chrisnandi.

Melawan Kepalsuan
Bagaimana menteri kabinet baru dapat bekerja lebih cepat, efektif, dan solid, sehingga bisa memberikan hasil nyata dalam waktu cepat, tampaknya merupakan suatu strategi Presiden Jokowi melawan kepalsuan, di tengah fenomena ekspektasi rakyat yang begitu besar agar program Nawa Cita, 9 Agenda Prioritas Jokowi-JK bukan hanya program citra belaka.

Kini, perang melawan kepalsuan benar-benar tengah dipertontonkan oleh Presiden Jokowi, ia begitu berhadap-hadapan dengan fenomena munculnya banyak hal yang bersifat palsu, dari vaksin palsu sampai dengan Kartu BPJS Palsu. Meskipun, fenomena tentang hal-hal yang bersifat palsu sudah menjadi deretan panjang, misalkan: uang palsu, ijazah palsu, berbagai jenis makanan palsu dan berbagai hal yang palsu-palsu.

Apalagi ketika hampir semua struktur sosial mempertimbangkan gengsi dan status, sehingga muncul berbagai merk-merk mahal yang menempel pada tas, kemeja, celana jeans, parfum, jam tangan, atau aksesories kecantikan (kosmetik) yang kalau dicermati kesemuanya justru banyak merk dipalsukan.

Begitu pula dengan dunia politik kita, munculnya berbagai kepalsuan, melalui apa yang disebut Lewis A. Coser (1977:129) sebagai endowed (membantu dengan pemberian). Tatkala kita memilih wakil-wakil rakyat atau pemimpin, semestinya dapat menghasilkan aktor-aktor konkrit, aktor-aktor dengan otentisitas teruji. Namun dalam perjalanan waktu, aktor-aktor itu berubah menjadi tidak konkrit, palsu. Mereka tidak cukup cakap menjadi elit dan aktor sesungguhnya sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat.

Seperti teori dramaturgi yang dikemukakan sosiolog ternama Erving Goffman, kehidupan sosial ini mirip pertunjukan drama di atas panggung, menampilkan peran-peran seperti yang dimainkan para aktor. Seperti aktor dalam drama, dalam interaksi sosial, kita akan berperan ganda, dua wajah yang berbeda, saat berada di panggung depan (front stage) dan di panggung belakang (back stage).

Pada konteks demikian inilah, Presiden Jokowi membutuhkan semua pembantu atau menterinya menjadi aktor-aktor konkrit, aktor-aktor dengan otentisitas teruji dengan kerja lebih cepat dan meninggalkan peran antagonis yang penuh dengan kepalsuan-kepalsuan, sehingga dapat dipastikan tidak ada hal-hal yang berbeda baik ketika para menterinya –dan tentu saja Presiden Jokowi sendiri— saat berada di panggung depan (front stage) dan di panggung belakang (back stage). Semua mesti apa adanya, dan rakyat tengah menunggu untuk diyakinkan dengan kerja, kerja, dan kerja lebih cepat yang bermanfaat bagi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. [ ]

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top