Kesehatan

“BLEEDING” DANA BPJS KESEHATAN, SIAPA PEDULI? (1)

chazali s penulis buku

Bleeding atau Mismatch  atau defisit dana pelayanan BPJS Kesehatan sudah kita urai beberapa waktu yang lalu, respon pembaca cukup beragam. Ada yang peduli ada yang meragukan sejauh mana efisiensi yang sudah dilakukan BPJS Kesehatan, dan banyak juga yang khawatir pelayanan terganggu dan peserta tidak lagi menikmati pelayanan kesehatan ysng komprehensif.

Opini kali ini mencoba lebih mengelaborasi lagi permasalahan hitungan iuran, yang sudah pernah dibahas dengan berbagai stakeholder, agar masyarakat paham kesungguhan kita untuk mengingatkan pemerintah atas kewajiban hukumnya terhadap perintah undang-undang SJSN yaitu membayar iuran bagi orang miskin dan tidak mampu. Dan Undang-Undang BPJS yang menegaskan bahwa jika terjadi deficit biaya pelayanan menjadi kewajiban pemerintah untuk menalanginya.

Berikut ini adalah pertimbangan teknis atas upaya penyesuaian tarif / besaran iuran bagi peserta BPJS Kesehatan untuk rencana program 2016 sampai dengan 2019, yang telah di diskusikan cukup intens dengan Kemenkeu dan Kemenkes. Karena adanya kewajiban Pemerintah untuk menerbitkan Keprpres berkaitan dengan besaran iuran , khususnya PBI yang dialokasikan dari APBN, maka telah diterbutkan Keppres Nomor 19 tentang Jaminan Kesehatan, tetapi sebelum berlaku 1 April 2016, Pemerintah telah merivisi Keppres tersebut dan terbitlah Keppres Nomor 28,  yang intinya bagi peserta BPJS Kesehatan yang ambil Kelas III, besaran tariff iuran diturunkan kembali dari Rp. 30.000.-  menjadi Rp. 25.500 /POPB. Dokumen berikut ini, diharapakan dapat lebih menjelaskan latar belakang dasar perhitungan teknis iuran BPJS Kesehatan, agar tidak “Bleeding” kembali.

A.  Dasar Pemikiran

  1. Sumber pendanaan utama program JKN sepenuhnya diperoleh dari Iuran dalam progran JKN secara umum diperoleh dari tiga kelompok peserta, yaitu: (i) orang miskin dan tidak mampu (dikenal peserta PBI) yang iurannya dibayar sepenuhnya oleh pemerintah; (ii) pekerja penerima upah–publik dan swasta–yang iurannya dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja; dan (iii) pekerja bukan penerima upah dan penduduk bukan pekerja yang diharapkan mampu membayar iuran mereka sendiri.
  2. Peraturan Presiden Nomor 111/2013 salah satunya mengatur iuran program JKN. Pada tahun 2014, iuran PBI sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah sebesar Rp 19.255,- per orang per bulan (POPB). Sedangkan iuran bagi penduduk mampu ditetapkan atas dasar status pekerjaan dan pilihan manfaat. Untuk pekerja penerima upah–pemerintah dan swasta–diwajibkan membayar iuran 5% dari gaji/upah (4% dibayar oleh pemberi kerja dan 1% oleh pekerja). Iuran bagi kelompok peserta lain, termasuk pekerja informal, pekerja mandiri dan investor, dikenakan iuran per orang per bulan sebesar Rp 25.500,-(Kelas III), Rp 42.500,-( Kelas II) dan Rp 59.500,-(Kelas I).

B. Fakta Empiris

  1. Akumulasi pendapatan iuran yang diperoleh dalam program JKN sebagian besar akan digunakan untuk mendanai biaya manfaat. Bentuk manfaat JKN berupa pelayanan kesehatan diberikan oleh fasilitas kesehatan yang telah melakukan kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Alokasi anggaran biaya manfaat JKN–dengan mengacu data estimasi iuran tahun 2013—sebesar 90% dari pendapatan premi. Dengan demikian maka klaim rasio ideal seharusnya tidak lebih dari 90 persen. Namun demikian, pelaksanaan JKN tahun 2014 sudah menghasilkan angka klaim rasio sebesar 109.9%.
  2. Pelaksanaan program JKN pada tahun 2014 telah mengharuskan pemerintah mengucurkan dana talangan sebesar Rp 5 triliun. Hal serupa diprediksikan akan terjadi dalam pelaksanaan program pada tahun 2015. Untuk ini maka pemerintah harus bersiap-siap mengucurkan dana talangan. Hasil estimasi menunjukkan bahwa pada 2015 dan 2016, program akan mengalami defisit masing-masing Rp12,17 triliun dan Rp 26,99 triliun. Tanpa upaya intervensi sistemik maka pola yang sama akan terjadi dimana defisit akan terus terjadi pada pelaksanaan tahun-tahun berikutnya (Policy Brief; Gambar 4).
  3. Dengan merujuk kondisi diatas, maka sangat tidak dianjurkan jika pemerintah hanya mengambil opsi intervensi dalam bentuk dana talangan. Dana talangan hanya bersifat temporal. Selain tidak memecahkan sumber permasalahan, intervensi berupa dana talangan saja akan menjadikan likuiditas program terganggu, dan justeru akan menyerap dana pemerintah lebih mahal (sebagaimana analisis yang disajikan pada poin 14 berikut ini).

C.  Paket Intervensi Sistemik

  1. Oleh karena itu, paket intervensi sistemik harus dilakukan simultan oleh berbagai pemangku kepentingan, yakni: (i) melakukan penyesuaian besaran iuran mengingat rata-rata pendapatan iuran (dengan merujuk besaran iuran sesuai Perpres No. 111/2013) sangat tidak sebanding dengan rata-rata biaya kesehatan per peserta sebagai akibat dari Permenkes 69/2013 jo Permenkes 59/2014; (ii) melakukan rasionalisasi tarif pelayanan yang kini diatur dalam Permenkes 59/2014 agar pengeluaran biaya manfaat sebanding dengan pendapatan; dan (iii) melakukan pengendalian biaya dan kualitas secara konsisten baik yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan serta Fasilitas Kesehatan. Sesuai dengan amanat dari UU SJSN, selaku DJSN, kami pun akan mengawal pelaksanaan dari ketiga paket intervensi tersebut.
  2. Penyesuaian besaran iuran merupakan pilihan mendesak, dan merupakan intervensi sistemik yang harus dilakukan segera. Revisi iuran akan menjadi penyelamat utama keuangan program. Penyesuaian besaran iuran sangat dianjurkan disamping merupakan amanat Perpres No. 12/2013 Jo Perpres No. 111/2013 juga karena ada perubahan dalam data dasar, asumsi, metode pembayaran serta tarif pelayanan yang diberlakukan saat ini dengan ketika penghitungan iuran JKN pada tahun 2013.
  3. Merujuk pada pertimbangan poin 7 tersebut diatas ini maka tim teknis lintas sektor (yakni: Kemenkeu, Kemenkes, BPJS Kesehatan, DJSN dan Tenaga Ahli) yang dibentuk atas arahan dari Bapak Menteri Keuangan yang disampaikan dalam rapat pada tanggal 31 Maret 2015 di Kemenkeu telah melakukan perhitungan iuran dengan menerapkan kaidah-kaidah aktuaria. Tim teknis tersebut juga telah melakukan serangkaian diskusi dan pertemuan untuk mendapatkan formula yang akurat dan rasional.

———————–

Chazali Husni Situmorang, Ketua DJSN 2011-2015

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top