General Issue

Social Security Model: Rawat Inap Kelas Standar ( Single Class)

 “Program JKN dalam Sistem  Jaminan Sosial Indonesia yang diatur dalam UU SJSN, mengedepankan kepentingan penerima manfaat dengan memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Jika rawat inap di kelas standar, dan membayar ( Contribution Base) salah satu jenis iuran ( nominal atau persentase upah)”.

Undang-Undang SJSN dan UU BPJS bersifat lex specialis derogat legi generali (the more specific rule prevails over the less specific).

Kedua Undang-Undang dimaksud, terfokus bagaimana Jaminan Sosial itu diselenggarakan sebagai suatu sistem, dan adanya penyelenggara yang bertanggung jawab agar kelima Program JK, JKK, JHT, JP dan JKm dapat berjalan sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU.

Terkait dengan Jaminan Kesehatan, UU SJSN dan UU BPJS tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan kesehatan secara umum. Hal itu diatur dalam UU Tentang Kesehatan, UU Tentang Rumah Sakit, UU tentang Tenaga kesehatan  dan peraturan pelaksanaan turunannya.

Program Jaminan Kesehatan (JKN)  menitikberatkan “bahwa penyelenggaraan jaminan kesehatan dipastikan bermanfaat untuk kepentingan peserta. Membebaskan atas kewajiban pembayaran iuran  bagi penduduk miskin dan tidak mampu, serta penyandang cacat total”. Sedangkan pembayaran iuran peserta, dilakukan dengan pendekatan  _contribution base_. Untuk PBI, kontribusi iuran dibayarkan oleh pemerintah.

Pelayanan kesehatan yang menjadi hak peserta itu mengacu pada kebutuhan dasar kesehatan. Dilakukan secara komprehensif, mulai dari promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Hak pelayanan kesehatan peserta merujuk pada indikasi medis. Jika tidak ber indikasi medis, diluar kewajiban BPJS Kesehatan untuk menangani.

Apabila  peserta dalam upaya pelayanan kesehatan dimaksud, memerlukan akomodasi  rawat inap, mendapatkan fasilitas kelas standar. Penyediaan kelas standar itu  untuk memberikan  perlakuan yang adil ( equal) bagi setiap peserta.

UU SJSN sudah mengantisipasi jika kemungkinan terjadinya moral hazard antara pasien dan tenaga medis maka  dibuka ruang untuk urun biaya. Demikian juga jika peserta tidak berkenan akomodasi di perawatan rawat inap kelas standar karena merasa kurang nyaman dibolehkan  untuk naik kelas perawatan di atasnya.

Selisih biaya akomodasi bahkan juga biaya medis dari kelas standar ke kelas di atas nya (VIP/VVIP) tentu tidak menjadi tanggungan BPJS Kesehatan. Selisih biaya itu menjadi beban peserta yang dapat langsung dibayarkan ke faskes, atau melalui asuransi kesehatan swasta.

UU SJSN/BPJS karena sifatnya Lex specialis, tidak untuk mengatur norma yang terkait dengan istilah dan nomenklatur kesehatan. Karena itu, apa yang dimaksud dengan  kebutuhan dasar kesehatan, rawat inap kelas standar, promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif tidak diuraikan dalam norma UU SJSN/BPJS.

UU SJSN mengharuskan rawat inap di kelas standar

Bagaimana kategori, batasan luas, jumlah tempat tidur, dan perangkat pendukung dari kelas standar itu, merupakan  domain, tanggung jawab dan tugas Kemenkes yang ditetapkan dalam Perpres JKN.

Tidak banyak yang mengetahui, bahwa sampai saat ini di RS, untuk rawat inap  baik untuk pasien umum maupun JKN, tidak ada yang menyediakan rawat inap kelas standar. Yang ada adalah kelas 1, kelas 2, dan kelas 3 atau bahkan ada yang disebut kelas bangsal. Disamping kelas  eksklusif yang dinamakan kelas VIP/VVIP.

Kenapa UU SJSN mengharuskan kelas standar sebagai single class? Untuk untuk mencegah terjadinya diskriminatif dalam pelayanan kesehatan bagi peserta JKN. ( lihat pasal 19 ayat (1) ….prinsip equitas. ).

Dengan pembayaran model  kapitasi untuk FKTP, dan Ina-CBGs untuk FKTL,  UU SJSN menetapkan besaran iuran itu tunggal dan hanya dibedakan dalam bentuk angka nominal bagi PBPU, BP/mandiri, PBI ( iuran dibayarkan pemerintah),  dan persentase upah  bagi PPU. Namun hakikatnya jika dihitung dengan benar, tidak jauh beda nilai antara nominal dan persentase upah.

Karena pada saat diluncurkannya BPJS Kesehatan 1 Januari 2014, belum tersedia kelas standar, yang ada kelas 1, 2 dan 3, maka besaran iuran pun berbeda berdasarkan tipologi kelas. Dengan komitmen hak pelayanan medis sama perlakuannya.  Akibatnya kita tahu sendiri. Euphoria masyarakat untuk menikmati JKN, mengakibatkan kelas rawat inap 1,2 dan 3 berisi penuh di RS yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

Besaran iuran pun berbeda tiap jenis kelas. Yang lebih berat lagi adalah keinginan Kemenkeu waktu itu (2014)  menyediakan besaran iuran PBI “hanya” Rp. 19.500/orang per bulan untuk 86,4 juta penduduk miskin dan tidak mampu. Akibatnya RS sempoyongan dan BPJS Kesehatan mengalami defisit bertahun-tahun.

Implikasi Tidak Ada Kelas standar

UU SJSN mengharuskan rawat inap kelas standar, tentu bukan tanpa sebab. Dengan pelayanan akomodasi rawat inap single class ( kelas standar), tentu besaran iuran per orang per bulan mudah dihitung baik secara nominal maupun persentase upah. `tidak akan ada 3 jenis iuran untuk tarif nominal seperti yang ada sekarang ini.

Menjadi tidak fair, jika pelayanan medis harus sama (menurut UU SJSN), tetapi rawat inap ada tingkatan kelas, dan tarif iuran bertingkat konsekuensi dari perbedaan kelas rawat inap tsb.

Penetapan kelas standar (single class), mengharuskan semua peserta JKN, dari berbagai kalangan, status sosial, kaya miskin, mampu dan tidak mampu dirawat di kelas yang sama. Jika ada yang merasa kurang nyaman, kurang privilege, dapat pindah ke kelas diatas kelas standar dengan membayar selisih biaya yang telah dijelaskan diatas.

Saat ini sudah 8 tahun JKN berlangsung dengan rawat inap kelas bertingkat. Dalam realitanya, tidak ada jaminan yang membayar iuran untuk kelas 1, mendapatkan pelayanan rawat inap di kelas 1 jika kelas 1 nya penuh. Maka ditawarkan kelas 2, tanpa ada kompensasi reduksi biaya karena turun kelas.

Bahkan peserta JKN  yang PBI, karena kelas 3 penuh, disuruh menunggu sampai ada kelas 3 yang kosong. Tidak ada cerita peserta PBI ditawarkan kelas 1 atau kelas 2, jika kelas 3 penuh.

Kekesalan peserta JKN semakin bertambah, pada saat diumumkan 2 tahun yang lalu, iuran kelas 1 naik dua kali lipat menjadi Rp. 150 ribu dan kelas 2 menjadi Rp. 100 ribu popb (per orang per bulan). Pada berbagai tulisan saya waktu itu, kenaikan yang sangat tinggi itu bukan solusi, sepanjang persoalan kelas standar belum ditetapkan.

Penetapan Kelas Standar, Bukan Berarti Membangun Gedung Baru

Persoalan penetapan rawat inap kelas standar bagi peserta JKN, bukanlah persoalan rumit, dan dibicarakan sangat heboh dikalangan elite dan masyarakat penikmat JKN.

Penetapan kelas standar murni soal bagaimana kebijakan pemerintah dalam hal ini Kemenkes, mensetting RS agar kelas rawat inap yang ada disesuaikan menjadi kelas standar. Tidak usah terlalu jauh dengan membuat bangunan baru yang memerlukan biaya besar, kecuali ada duitnya.

Jika kamar eksisting di RS, kelas 1 dengan 2 TT, kelas 2 dengan 4 TT, dan kelas 3 dengan 6-8 TT, maka untuk kelas standar ditentukan saja, sama dan sebangun dengan kelas 2 dengan 4 TT.

Kebijakannya jika RS yang mempunyai kelas 2 ditetapkan sebagai kelas standar (tidak ada perubahan ruangan). Sedangkan kelas 3  dengan 8 TT dibagi dua menjadi 2 kamar dan disebut kelas standar. Demikian juga kelas 3 dengan 6 TT, tinggal disesuaikan.

Tentu setiap penambahan kelas itu, diperhitungkan penambahan kamar mandi, dukungan fasilitas ruangan, tenaga perawat/paramedis. Itu semua dapat dilakukan sambil berjalan dan bertahap.

Bagaimana dengan Kelas 1? Sebaiknya kelas 1, tidak dijadikan kelas standar. Tetapi masuk kategori di atas kelas standar (disebut Kelas 1 atau VIP, tergantung situasi kelas 1 nya). Kelas 1 atau VIP perlu diperbanyak, karena antisipasi peserta JKN yang ingin naik kelas rawat inap dari kelas standar.

Apa Gunanya Uji Coba Kelas Standar

Pemerintah bersama BPJS Kesehatan, berencana melaksanakan uji coba rawat inap kelas standar di 18 RS vertikal ( milik Pemerintah Pusat), pada awal Juli 2022, dengan  besaran iuran yang tetap.

Jika penetapan  kelas standar  dimaksud adalah rawat inap kelas Standar dengan 4 TT, maka apa yang akan terjadi? Diprediksi bagi peserta PBI, dan pemegang kartu JKN Mandiri kelas 3 akan senang. Tidak ada lagi diskriminatif pelayanan kamar untuk peserta PBI dan non PBI karena sudah bergabung dalam kelas yang sama.

i pemegang kartu JKN kelas 2,  juga akan senang karena walaupun fasilitas kamar sama, tetapi    tidak  mungkin lagi mereka terlempar ke kelas 3 ( sudah hilang).

ntas bagaimana dengan pemegang kartu JKN kelas 1, dan sebagian kelas 2? Kemungkinan besar mereka akan naik kelas dari kelas standar. Mengambil kelas 1 atau VIP, dengan tambahan selisih biaya atas hak pelayanan BPJS Kesehatan yang dimiliki.

Apakah kebijakan itu dapat mengatasi kekurangan kamar untuk rawat inap? jelas tidak, sepanjang penambahan kapasitas jumlah kamar di RS tidak dilakukan. Tetapi akan ada kegairahan RS untuk mengembangkan kapasitas kamar, sarpras, tenaga medis, non medis yang memadai karena bertambahnya  pendapatan RS dari mereka yang melakukan sharing cost karena pindah ke kelas 1 atau VIP. Perusahaan asuransi kesehatan mandiri juga akan bergairah untuk melaksanakan Coordination of Benefit (CoB) dengan RS.

Bagaimana Dengan Besaran Iuran?

Selama  masa uji coba, DJSN sesuai dengan tupoksinya, melakukan perhitungan besaran iuran ( nominal dan persentase upah) untuk memenuhi nilai keekonomian  rawat inap kelas standar.

Kemungkinan besar yang terjadi adalah perubahan besaran iuran. Iuran kelas 1 dan kelas 2  akan menurun. Iuran kelas 3 akan naik. Berapa besar naik dan turunnya sampai ke angka optimum,  tidaklah lebih sulit dari menghitung iuran yang multi kelas.

Mari kita lakukan hitungan bersama secara sederhana. Tahun 2019 sebelum Pandemi pembiayaan pelayanan kesehatan JKN sekitar Rp. 110 Triliun. Proyeksikan pembiayaan kesehatan tahun 2022 di naik kan 20% ( kenaikan tarif 10% dan cadangan teknis 10%). Total pembiayaan Rp. 132 Triliun. Jumlah peserta JKN 240 juta. Karena SJSN menerapkan model Contribution base, maka kontribusi setiap peserta sekitar Rp. 46 ribu/per bulan untuk membiayai pelayanan kesehatan JKN.

Angka Rp  45 ribu digenapkan Rp. 50 ribu /popb dapat dijadikan angka dasar para aktuaris untuk mengkonversikannya dalam hitungan persentase upah (PPU), dan hitungan nominal untuk peserta mandiri dan PBPU.

Berapa besaran konkrit hitungan nominal bagi peserta Mandiri dan PBPU tentu sudah dapat bayangan tidak jauh dari angka Rp. 50 ribu/popb, setelah diperhitungkan juga jumlah peserta yang menunggak iuran JKN.

Silahkan kita hitung bersama berapa kelayakan besaran iuran dengan model perhitungan diatas, karena sebagai peserta JKN, anda, saya dan kita adalah pemilik dari BPJS Kesehatan, badan hukum publik yang pemegang sahamnya adalah para pembayar iuran (peserta JKN).

Oleh karena itu masyarakat tidak perlu panik atas kebijakan pemerintah ( Kemenkes dan BPJS Kesehatan) melakukan uji coba mengganti rawat inap kelas 1,2,dan 3 dengan rawat inap kelas standar di 10 RS pemerintah pusat pada awal Juli 2022 mendatang ini, dengan besaran iuran yang masih tidak berubah. Sebab perubahan besaran iuran harus dengan Kepres.

Pejabat pengganti sementara (Pps) Kepala Hubungan Masyarakat (Humas) BPJS Kesehatan Arif Budiman menjelaskan bahwa uji coba baru dilakukan di rumah sakit milik pemerintah saja.

“Dalam hal ini kurang dari 10 rumah sakit milik kementerian kesehatan yang tersebar di beberapa wilayah,” katanya saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Senin (20/6/2022).

Semoga amanat UU SJSN mengharuskan rawat inap kelas standar untuk kepentingan peserta JKN agar mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan haknya dapat dijalankan dengan  sebaik-baiknya. Termasuk implikasi iuran yang sudah diuraikan diatas.

Cibubur, 23 Juni 2022

*) Ketua DJSN 2010 – 2015/Dosen FISIP UNAS

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top