“REBOUND” JKN PASCA COVID-19
By : Chazali H. Situmorang *)
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memproyeksikan arus kas tahun 2020 surplus Rp 2,5 triliun.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris. Hitungan tersebut telah memasukkan kemungkinan dampak dari pandemi virus corona (Covid-19). “Kami memproyeksi berdasarkan data Juli 2020, akhir tahun akan ada surplus arus kas Rp 2,5 triliun,” ujar Fachmi saat rapat dengan Komisi IX DPR RI, Kamis (17/9).
Selain dampak pandemi Covid-19, BPJS Kesehatan juga telah menghitung sejumlah kemungkinan lain. Antara lain penundaan pembayaran iuran dan kelahiran bayi dengan tindakan.
Selain surplus arus kas, Fachmi juga menyampaikan bahwa seluruh utang yang telah jatuh tempo telah dibayar. Pada tahun 2019 BPJS Kesehatan memiliki utang jatuh tempo Rp 15 triliun. “Saat ini program ini sudah mampu melunasi seluruh utang rumah sakit sehingga 1 Juli 2020 tidak ada lagi gagal bayar,” terang Fachmi.
Saat ini BPJS Kesehatan memiliki klaim utang yang belum jatuh tempo sebesar Rp 1,75 triliun. Selain itu ada pula klaim yang belum diverifikasi sebesar Rp 1,37 triliun.
Arus kas atau cash flow surplus Rp. 2,5 triliun itu menggambarkan perincian yang menunjukkan jumlah pemasukan dari iuran peserta lebih besar dari biaya tagihan pelayanan kesehatan di FKTL dalam suatu periode tertentu ( akhir tahun 2020) yang besarnya mencapai Rp. 2,5 triliun.
Kenapa hal tersebut bisa terjadi, yang selama ini bertahun-tahun sejak dilahirkannya BPJS Kesehaan awal tahun 2014 Dana Jaminan Sosialnya defisit melulu.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa selama Covid-19, peserta JKN jika sakit tidak berani ke Rumah Sakit, takut tertulas Covid-19, dan ketatnya penerapan protokol kesehatan di rumah sakit.
Iuran sebagai sumber arus kas berjalan terus, dengan jumlah besaran iuran yang sudah naik signifikan, sesuai dengan nilai keekonomian, khususnya PBI APBN maupun PBI APBD yang cakupan total pesertanya 132 juta.
Disisi lain jumlah RS yang mengajukan klaim Ina-CBGs ke BPJS Kesehatan menurun drastis, karena berkurangnya pasien yang berkunjung. Maka terjadilah selisih arus kas yang bersifat surplus. Tetapi ingat, gejala tersebut bersifat temporary dan BPJS kesehatan tidak boleh lengah apa yang akan terjadi pasca Covid-19.
Mari kita lihat secara detail dengan angka-angka yang kita dapat dari sumber resmi BPJS Kesehatan, bagaimana kepesertaan JKN dan kolektabilitas iuran, selama masa pandemic Covid-19 saat ini.
Perlambatan ekonomi di triwulan I saja dan berlanjut pada Triwulan II dan sekarang sudah masuk Triwulan III , berdampak pada jumlah peserta program JKN. BPJS Kesehatan. Data tanggal 1 Mei 2020 tercatat bahwa 2.100 badan usaha terdampak COVID-19 dengan kategori tutup sementara (29%) dan meminta penangguhan/penghapusan pembayaran iuran (71%). Jumlah ini setara dengan 401.5 ribu peserta PPU atau 857 ribu peserta (pekerja dan anggota keluarga). Itu kondisi 5 bulan yang lalu.
Sedangkan peserta PBPU yang berhenti membayar iuran karena permasalahan ekonomi adalah sebesar 780.3 ribu pada bulan April 2020. Angka ini bertambah seiring dengan perlambatan ekonomi di triwulan II ( minus 5,3%) dan triwulan III ( minus sekitar 3%). Implikasinya, penerimaan iuran akan berkurang dan mempengaruhi defisit program JKN.
Pada simulasi penerimaan iuran program JKN sebagai akibat PHK di sektor formal maupun informal. Pada skenario berat, COVID-19 mengakibatkan PHK sektor formal sebesar 3.9 juta pekerja formal dan 1.3 juta pekerja di sektor informal.
Program JKN akan kehilangan potensi penerimaan iuran dari 8.7 juta peserta PPU dan 2.9 juta peserta PBPU. Dengan komposisi peserta segmen PPU kelas II adalah 60% dan kelas I adalah 40%, maka COVID-19 akan mengurangi penerimaan iuran JKN kelompok PPU sebesar Rp2.92 triliun (skenario berat) dan Rp4.48 triliun (skenario sangat berat).
Penurunan penerimaan iuran khususnya dari segmen PPU ini akan sangat mempengaruhi kesinambungan pembiayaan program JKN karena selama ini kelompok PPU merupakan peserta yang rutin membayar iuran dan paling sedikit menggunakan jasa layanan kesehatan JKN, karena antara lain mempunyai double asuransi.
Hilangnya potensi penerimaan iuran dari peserta PBPU juga cukup signifikan yaitu Rp1.3-1.8 triliun, tergantung dari skenario dampak COVID-19 terhadap jumlah PHK di sektor informal.
Proyeksi penurunan penerimaan iuran kelompok PBPU disebabkan beberapa hal: 1) Peserta non-aktif akibat dampak COVID19; 2) Kenaikan jumlah peserta non aktif akibat penyesuaian iuran program JKN tanggal 1 januari 2020 (sesuai perpres 75/2019). 3) Pemberlakuan kembali iuran JKN lama (sesuai Perpres 82/2018)
Perlu diketahui bahwa Perpres 75/2019 mengakibatkan 5% penurunan peserta PBPU dan penurunan kelas rawat peserta PBPU. Sebanyak 15.5% peserta PBPU aktif kelas 1 turun ke kelas 2 dan sebanyak 26.5% peserta aktif kelas 1 pindah ke kelas 3. Kondisi ini semakin memberikan tekanan pada pengumpulan iuran kelompok PBPU. Kenapa persentase kelas 1 lebih besar pindah ke kelas 3?. Sudah dapat diduga, mereka ini jika masuk RS, dan rawat inap langsung akan pindah kelas diatasnya. Jadi lebih irit.
Utilisasi Pelayanan Kesehatan
Pandemic COVID-19 juga berdampak pada penurunan cakupan pelaksanaan program dan pelayanan kesehatan di triwulan I dan II seperti: imunisasi, kunjungan persalinan, pemberian tablet besi, kunjungan neonates, bahkan program Posyandu terhenti di kabupaten/kota yang mengalami wabah COVID-19. Apakah hal ini juga akan berdampak kenaikan stunting, masih perlu diteliti lebih lanjut.
Pelayanan kesehatan primer dan rujukan (rumah sakit) juga turun disebabkan banyak rumah sakit (RS) menjadi RS rujukan COVID-19. Data BPJS Kesehatan menunjukkan sejak Januari sampai Maret 2020 jumlah kunjungan menurun dengan rerata 50% dari jumlah kunjungan bulan Januari 2020. Jumlah ini menurun lagi sampai September 2020, sekitar 70 – 80 % dari jumlah kunjungan Januari 2020
Hal lain yang juga tidak boleh diabaikan adalah potensi misdiagnosis COVID-19 dengan diagnosis lain mungkin saja terjadi. Misdiagnosis ini dapat terjadi di seluruh fasilitas kesehatan namun belum ada besaran misdiagnosis ini selama COVID-19 terjadi.
Konsekuensinya, pembiayaan diagnosis tersebut dibebankan ke dana jaminan sosial ketimbang ke dana alokasi Pemerintah untuk penanganan COVID-19.
Korelasi Covid-19 dengan Dana Jaminan Sosial
Pandemic COVID-19 menyebabkan permasalahan baru dalam progam JKN karena banyaknya PHK, minimnya penciptaan lapangan kerja baru, dan ketidakmampuan peserta dalam membayar iuran. Dampak COVID-19 terhadap keberlangsungan dana jaminan sosial (DJS) setidaknya dipengaruhi oleh 4 (empat) aspek:
- Jumlah peserta terdampak COVID-19. Potensi penurunan penerimaan iuran program JKN adalah sebesar 27-6.48 triliun sebagai akibat dari PHK pekerja PPU dan PBPU sebesar 2.92-5.23 juta pekerja (setara 6.5-11.6 juta peserta);
- Penjaminan pelayanan kesehatan bagi peserta JKN pasca PHK. Jaminan sosial di Indonesia belum mencakup unemployment insurance/benefit sehingga tidak ada perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK. Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang- Undang No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menyatakan pekerja masih memiliki hak untuk mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan selama 6 (enam) bulan pasca PHK. Kebijakan ini di satu sisi memberikan perlindungan kepada pekerja dan keluarganya, tetapi di sisi lain akan berdampak besar terhadap keberlangsungan finansial program JKN. Hasil simulasi menunjukkan biaya pelayanan kesehatan bagi peserta terkena PHK adalah sebesar Rp1.4 triliun (skenario berat) dan Rp2.12 triliun (skenario sangat berat). Untuk hal ini karena perintah UU SJSN/UU BPJS, pihak BPJS Kesehatan dapat mengajukan dukungan pembiayaan dari Pemerintah atau menyediakan dana cadangan yang juga diharuskan ada menurut UU BPJS;
- Penurunan biaya pelayanan kesehatan akibat rendahnya utilisasi selama masa COVID-19;
- Durasi berlangsungnya COVID-19. Semakin lama COVID-19 berlangsung maka semakin besar beban yang harus ditanggung oleh program JKN karena perlambatan ekonomi akan semakin dalam dan proses pemulihan ekonomi membutuhkan waktu yang lebih
Berdasarkan keempat aspek di atas, pada jangka pendek dampak COVID-19 tidak mempengaruhi Dana Jaminan Sosial secara signifikan. Beban penurunan penerimaan iuran program JKN dan beban pertanggungan layanan kesehatan korban PHK jumlahnya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan penghematan biaya manfaat layanan kesehatan akibat COVID-19, Potensi Surplus adalah sebesar Rp.0,25-0,78 triliun (catatan Juli 2020).
Angka ini bergerak naik yang diproyeksikan menjadi sekitar Rp. 2,5 triliun di akhir tahun 2020 sebagaimana dilaporkan Direksi BPJS Kesehatan di DPR Komisi IX September 2020 yang lalu. .
Sebagai catatan, surplus Dana Jaminan Sosial ini hanya bersifat jangka pendek; di jangka panjang, ketika pada proses pemulihan pasca COVID-19 maka akan terjadi lonjakan pemanfaatan layanan kesehatan sehingga akan meningkatkan beban pembiayaan program JKN.
‘Rebound’ Pasca COVID-19
Jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan yang menurun pada triwulan I, II dan III belum tentu akan meningkat kembali (rebound) pada triwulan IV. Dengan penerapan tatanan new normal sampai akhir tahun 2021, kemungkinan rebound utilisasi pelayanan kesehatan akan terjadi dan mulai bergerak triwulan I 2021, apalagi jika sudah tersedia vaksin covid-19.
Mereka yang sudah divaksinasi percaya diri untuk mengunjungi RS dengan menggunakan kartu JKN, dan secara bergelombang seperti gelindingan bola salju yang semakin membesar (Rebound), akan dirasakan puncaknya sekitar akhir tahun 2021.
Jika jumlah peserta yang menunggak (non aktif), tidak dilakukan upaya maksimal mengatasinya, penerapan kelas standar rawat inap belum ada, utilisasi FKTP (khususnya Puskesmas) juga tidak optimal, pengendalian moral hazard bahkan fraud juga tidak optimal, bukan tidak mungkin tahun 2022-2023, BPJS Kesehatan kembali mengalami defisit Dana Jaminan Sosial. ini menjadi kado tugas berat Direksi BPJS Kesehatan mendatang. .
Cibubur, 3 Nopember 2020
*) Direktur Social Security Development Institute (SSDI)/Dosen FISIP UNAS
Sumber: BPJS Kesehatan: Policy Brief “Dampak Covid-19 Terhadap Program JKN”