General Issue

Policy Brief Penyesuaian Besaran Iuran Program JKN

images-7

Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN me-wajibkan semua penduduk dijamin dalam program jaminan ke-sehatan. Tujuan utamanya adalah untuk memperbaiki akses penduduk terhadap layanan kesehatan. Program ini juga me-ngusung sejumlah tujuan mulia lainnya, yaitu: (i) memperbaiki status kesehatan, (ii) mengoreksi kesetaraan (ekuitas) dalam akses dan dalam status kesehatan antar kelompok, serta (iii) meningkatkan kualitas layanan kesehatan.

Sesuai fungsinya dalam hal memberikan perlindungan keuangan, program jaminan kesehatan juga tercatat sebagai instrumen handal yang mampu mencegah penduduk menjadi miskin akibat risiko sakit yang butuh pengobatan diluar kemampuan mereka. Oleh karena itu, berlandaskan UU BPJS No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, pemerintah mencanangkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak Januari 2014 yang pengelolaannya dilakukan oleh BPJS Kesehatan.

UU SJSN dan UU BPJS menjadi konsideran utama Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kese-hatan. Selain mengatur sejumlah ketentuan teknis pelaksanaan JKN, PerPres 12/2013 juga menyebutkan “seluruh penduduk harus menjadi peserta (cakupan semesta) BPJS Kesehatan paling lambat 1 Januari 2019.”

Untuk memastikan warga miskin dijamin, pemerintah menanggung iuran mereka (dikenal dengan peserta PBI). Besaran iuran bagi peserta PBI dan Non PBI diatur dalam PerPres No. 111/2013 (yakni Perubahan Peraturan Presiden No 12 Tahun 2013). Policy Brief ini mengupas fakta empiris kon-disi kuangan BPJS Kesehatan tahun 2014, serta proyeksinya sampai dengan tahun 2019. Fakta empiris tersebut menjadi argumentasi untuk melakukan penyesuaian terhadap besaran iuran program JKN.

Pendanaan JKN: Pemasukan dan Pengeluaran

Sumber Pendanaan Program JKN

Sumber pendanaan utama program JKN diperoleh dari iuran (kontribusi, premi) peserta. Iuran bagi peserta PBI (dalam nilai Rp. per-orang-per-bulan, atau POPB) dibayar semua oleh pemerintah. Iuran bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PPU; dalam nilai %-upah), baik pekerja pemerintah maupun pekerja swasta, menjadi tanggungan pemberi kerja dan pekerja. Sedangkan iuran Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (Rp,- POPB) dibayar semua oleh peserta yang bersangkutan

Selain dari iuran peserta, sumber pendanaan JKN juga diperoleh dari sumber-sumber lain, seperti: (a) pengalihan aset dari Eks PT (Persero) Askes Indonesia, (b) pemberian modal awal dari pemerintah, serta (c) sumber-sumber lain yang sah, seperti: surplus, hibah, bantuan/talangan, serta hasil-hasil in-vestasi. Dana dari berbagai sumber tersebut diatas akan masuk kedalam Aset Jaminan Sosial Kesehatan. Aset Jaminan Sosial Kesehatan, menurut PP No. 87/2013, terdiri atas dua, yaitu: (a) Aset Dana Jaminan Sosial Kesehatan dan (b) Aset BPJS Kese-hatan. Kedua jenis aset ini digunakan untuk mendanai semua komponen pengeluaran JKN sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Komponen Pengeluaran Program JKN

Akumulasi dana iuran JKN sebagian besar akan diguna-kan untuk mendanai manfaat (atau biaya kesehatan) jaminan. JKN

GNRM Gerakan Nasional Revolusi Mental

l.

mengadopsi managed care sehingga manfaat yang berupa pelayanan diberikan oleh fasilitas kesehatan (Faskes) yang menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Sebagai kompensasinya, Faskes menerima pembayaran dari BPJS Kesehatan yang dilakukan dengan kapitasi (Faskes primer) dan INA-CBGs (Faskes lanjut). Penerapan Kapitasi dan INA-CBGs mengharuskan pemerintah memiliki standar tarif pelayanan kesehatan (Ayat 1, Pasal 41, PerPres 12/2013).

Untuk itu, Kementerian Kesehatan menerbitkan Permenkes No 69/2013 Jo 59/2014. Permenkes ini mengatur standar tarif Kapitasi, Non Kapitasi, INA-CBGs dan Non INA-CBGs yang digunakan oleh BPJS Kesehatan sebagai acuan dalam membayar Fasilitas Kesehatan.

Akumulasi dana iuran juga akan dimanfaatkan untuk mendanai biaya operasional BPJS (terdiri atas biaya personel dan biaya non personel) serta pembentukan cadangan. Alokasi biaya kesehatan ideal adalah 90% dari iuran, sehingga sisa 10% dapat digunakan untuk biaya operasional dan pembentukan cadangan. Sehubungan dengan ini maka Pasal 13, Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 87/ 2013 menyebutkan bahwa “biaya pengelolaan maksimal 10% dari total iuran yang telah diterima oleh BPJS Kesehatan”.

Atas dasar PP ini, selanjutnya ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 211/PMK.02/2013 yang mengatur biaya operasional 2014 sebesar 6.25%. Dengan merujuk data pengeluaran tersebut diatas maka pada tahun akhir 2014 diharapkan terbentuk cadangan sebesar 3.75% dari total pendapatan iuran tahun 2014. Bagaimana faktanya?

Fakta Empiris

Jaminan kesehatan merupakan strategi manajemen risiko (sakit) melalui transfer risiko individu ke kelompok. Risiko sa-kit sifatnya tidak pasti, tergantung pola dan sebaran penyakit serta bersifat random. Akibatnya, asumsi biaya kesehatan 90% dari iuran bisa saja meleset. Fakta yang terjadi memang demikian.

Pada tahun 2014, realisasi pendapatan iuran hanya Rp 40,7 triliun, sementara beban jaminan kesehatan mencapai Rp 42,7 triliun sehingga angka rasio klaim (bulan pembebanan 2014) menjadi 104.8%. Dengan beban operasional BPJS sebe-sar 6,25% dari iuran maka hasil audit juga menemukan kondisi negatif aset neto DJS tahun 2014 sebesar Rp 3,309 triliun.

Rata-rata biaya pelayanan kesehatan (pelkes) –estimasi bulan pelayanan tahun 2014– mencapai Rp 31.362,- POPB. Padahal rata-rata penerimaan iuran hanya Rp 28.546,- POPB. Akibatnya, defisit biaya pelkes sebesar Rp 2.817,- POPB tidak bisa dihindari (Gambar 2). Angka rasio klaim (bulan pelayanan 2014) menjadi 109.9%.

Kondisi keuangan diatas telah memotivasi pemerintah untuk meluncurkan dana talangan sebesar Rp 5 triliun pada awal 2015. Nilai dana talangan ini setara Rp 3.372,- POPB jika dikonversi dengan rata-rata bulanan peserta JKN tahun 2014. Jumlah dana talangan ini memang cukup untuk menutupi defisit biaya pelkes tahun 2014, bahkan lebih Rp 555,- POPB. Namun, dana talangan tersebut masih kurang Rp 1.229,- POPB untuk menutupi defisit biaya operasional tahun 2014 (Lihat Gambar Berikut ini).

Kondisi defisit diperkirakan akan terjadi lagi pada tahun 2015. Defisit biaya pelkes diperkirakan mencapai Rp 4.311,- POPB. Jika biaya operasional diperhitungkan maka defisit (dan akumulasinya) menjadi Rp 6.502,- (dan Rp 7.731,-). Dengan prediksi rata-rata peserta bulanan 2015 156 juta jiwa maka nilai defisit tersebut setara dengan Rp 12,17 triliun (Gambar 4). Pada kondisi ini maka aset likuid BPJS diduga sulit untuk menyela-matkan program JKN.

Intervensi berupa dana talangan saja tidak sanggup untuk menetralisir akar permasalahan kondisi keuangan JKN. Jenis intervensi ini hanya mampu mengerem laju defisit. Namun defisit akan muncul lagi tahun berikutnya. Jika intervensi berupa dana talangan dan pengendalian biaya saja, pemerintah harus bersiap-siap untuk menyediakan alokasi dana per tahun-nya sejak 2015 s/d 2019 sebesar angka sebagaimana disajikan dalam Gambar di atas.

Upaya pengendalian diperkirakan sanggup memperoleh efisiensi sekitar 18%, senilai 2.2 triliun pada tahun 2015. Untuk lebih meminimalisir risiko (Gambar pada halaman sebelum ini), pemerintah wajib mengeluarkan paket intervensi “sistemik” (Kotak 1). Paket ini sangat dibutuhkan, bukan hanya akan menetralisir akar permasalahan, namun juga akan meng-hindari risiko keuangan yang dihadapi pemerintah.

Ada tiga intervensi sistemik yang perlu dilakukan secara simultan: (a) penyesuaian besaran iuran, (b) rasionalisasi tarif pelayanan, dan (c) pengendalian biaya secara konsisten.

  1. a) Revisi besaran iuran JKN yang kini diatur dalam Per-Pres 111/2013. Besaran iuran JKN harus disesuaikan agar memenuhi prinsip: kecukupan, rasional, kompe-titif, ekuitas dan futuristik.
  2. b) Rasionalisasi standar tarif pelayanan. Tarif yang diatur Permenkes 59/2014 berimplikasi terhadap penyerapan dana. Besar kecilnya biaya pelkes dipengaruhi oleh (i) utilisasi dan (ii) tarif. Angka utilisasi bersifat random, tergantung penyakit, sehingga intervensinya relatif sulit. Sementara intervensi tarif lebih memungkinkan dengan menetapkan tarif agar penyerapan dana maksimal 90%.
  3. c) Penegakan pengendalian biaya secara konsisten. Penerapan kapitasi dan INA-CBGs tidak luput dari masalah. Berbagai isu up-coding, readmisi, bloody-discharge, dumping, skimping, dll., yang merupakan implikasi DRGs di banyak Negara bisa muncul dalam INA-CBGs di Indonesia. Kondisi ini, jika dibiarkan akan berujung pada penyerapan dana diluar batas normal sehingga eskalasi biaya sulit dikontrol. Untuk itu dibutuhkan program kendali biaya dan mutu layanan secara konsisten.

Penyesuaian Besaran Iuran

Skenario Besaran Iuran

Penyesuaian besaran iuran akan menjadi penyelamat utama kondisi keuangan program JKN. Untuk maksud ini maka iuran program JKN harus dihitung cermat dengan menerapkan kaidah-kaidah aktuaria. Metode dan teknis perhitungan iuran disajikan dalam naskah akademik perhitungan iuran JKN 2015.

Nilai iuran merupakan hasil perkalian antara angka probabilitas dengan rata-rata tarif pelayanan kesehatan, plus loading factors. Angka probabilitas diperoleh dari data penyakit yang terdeteksi selama pelaksanaan 2014 (historis). Angka historis ini kemudian dikoreksi dengan kasus-kasus penyakit yang sudah dilayani tahun 2014 namun belum dilaporkan (incurred but not reported, IBNR). Koreksi angka historis juga dilakukan dengan memperhitungkan implikasi dari penerapan sejumlah strategi pengendalian biaya.

Rata-rata kebutuhan iuran POPB tahun 2016 diper-kirakan Rp 51.903,- (Sken-1),- dan Rp 50.097,- (Sken-2), Iuran Sken-1 dihitung dari hasil koreksi angka probabilitas historis dengan kasus IBNR yang diprediksi dengan metode Chain Ladder (Triangles), sedangkan Sken-2 dilakukan dengan model stochastic Chain Ladder (GLM & BootChain Ladder).

Penyesuaian besaran iuran JKN diasumsikan berlaku mulai tahun 2016. Untuk memastikan cukup tidaknya nilai iuran yang diusulkan maka dilakukan simulasi dampak dari usulan nilai iuran terhadap kondisi keuangan JKN sampai dengan tahun 2019. Asumsi-asumsi dasar dalam simulasi ini disajikan dalam naskah akademis.

Hasil Simulasi Besaran Iuran

Gambar Sken-1 memperlihatkan bahwa besaran iuran Rp 51.903,- POPB dinilai cukup untuk mendanai semua komponen

pengeluaran JKN. Usulan ini juga bersifat futuristik, dan sanggup menutupi akumulasi defisit sejak tahun 2016. Saldo (positif) akan terjadi hingga 2019. Usulan ini juga fleksibel untuk antisipasi berbagai kejadian penyakit yang muncul di masa mendatang namun berada diluar jangkauan analisis studi iuran. Misal, (a) KLB (outbreak); (b) penyakit-penyakit baru (New-emerging Diseases) seperti kasus flu burung, MERS Co-V dan ebola, dll, yang tidak terdeteksi dalam JKN 2014; dan (c) melonjaknya kasus penyakit lama (Re-emerging Diseases).

Nilai iuran Sken-2 juga terbilang cukup (Gambar Sken-2). Namun, dibandingkan Sken-1, nilai iuran Sken-2 relatif kurang fleksibel untuk mengantisipasi munculnya penyakit katastropis dimasa mendatang. Skenario ini juga memiliki keterbatasan untuk melakukan koreksi tarif pelayanan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.

Policy brief ini juga menyajikan simulasi iuran Sken-3 (Rp 51.000,- POPB). Skenario ini merupakan angka moderat yang diperolah dari nilai rerata dari dua skenario kebutuhan iuran 2016. Jika skenario ini yang diberlakukan maka mulai tahun 2016, tampak dalam Gambar Sken-3, bahwa akumulasi saldo (positif) juga akan terjadi sejak 2016.

Besaran Iuran Per Kelompok Peserta

Besaran iuran skenario 1, 2 dan 3 merupakan angka rata-rata. Angka tersebut harus disebar ke setiap peserta sebagai berikut:

  1. Peserta PBI (nominal Rp. POPB);
  2. Peserta PBPU (nominal Rp. POPB) per jenis manfaat Kelas I, Kelas II dan Kelas III; dan
  3. Peserta PPU (% gaji).

Rekomendasi Besaran Iuran

Rata-rata iuran Rp 51.903,- POPB tergolong skenario iuran paling aman. Besaran iuran ini dinilai cukup, bersifat futuristik serta mampu menghindari risiko pemberian dana talangan setiap tahun oleh pemerintah. Usulan ini juga memiliki ruang untuk rasionalisasi tarif pelayanan sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas.

Besaran iuran yang diatur dalam Peraturan Presiden No.111/2013 harus direvisi dengan merujuk hasil distribusi rata-rata iuran Rp 51.903,- POPB. Oleh karena itu, nilai iuran yang diberlakukan mulai 2016 adalah sebagai berikut: a) iuran untuk PBI adalah Rp 36.029 (dibulatkan menjadi Rp 36.000,- POPB); b) iuran untuk PPU (PNS, TNI/POLRI, pejabat negara, dan pegawai pemerintah non PNS, dan PPU lain) adalah 6% dari gaji per bulan. Batas upah atas adalah enam kali PTKPK1, dan batas upah bawah sebesar UMR per daerah; dan iuran untuk PBPU bervariasi dan tergantung manfaat (kelas pelayanan), yakni: (i) Rp 53.500,- POPB (Kelas III); Rp 63.000,- POPB (Kelas II) dan Rp 80.000,- POPB (Kelas I).

Rekomendasi besaran iuran di atas dilandasi dari perspektif akademis. Implementasi usulan bisa saja dipengaruhi oleh pertimbangan fiskal dan politis. Kedua pertimbangan ini tidak masuk dalam ranah teknis akademis. Namun, aspek kritis yang perlu dicatat adalah jika rekomendasi besaran iuran dari sudut pandang akademis tidak diakomodir maka risiko keuangan sebagaimana Gambar Estimasi Kondisi Keuangan JKN 2014 s/d 2019 akan terjadi.

Sementara itu, yang dimaksud dengan dana operasional adalah bagian dari akumulasi iuran jaminan sosial serta hasil pengembangannya yang dapat digunakan BPJS untuk membiayai kegiatan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial

BPJS berhak memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program jaminan sosial. Dana operasional bersum ber dari Dana Jaminan Sosial dan/atau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, dana operasional BPJS bersumber dari aset BPJS dan aset DJS.

Dana operasional yang bersumber dari aset DJS dibatasi dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Paling tinggi 10% dari total iuran Jaminan Kesehatan yang telah diterima oleh BPJS Kesehatan.
  2. Paling tinggi 10% dari total iuran Jaminan Kecelakaan Kerja dan iuran Jaminan Kematian yang telah diterima oleh BPJS Ketenagakerjaan.
  3. Paling tinggi 2% dari total iuran jaminan hari tua yang telah diterima oleh BPJS Ketenagakerjaan dan hasil pengem-bangannya.

Dana operasional BPJS digunakan untuk membiayai operasio-nal penyelenggaraan program jaminan sosial, yang terdiri dari biaya personel dan biaya non personel. Direksi BPJS menetap-kan jenis dan besaran biaya personel dan biaya non personel.

Biaya personel mencakup gaji, upah dan manfaat tamba-han lainnya bagi Dewan Pengawas, Direksi, dan karyawan BPJS. Presiden menetapkan gaji atau upah dan manfaat tambahan lainnya serta insentif bagi anggota dewan pengawas dan anggota direksi BPJS.

BPJS mengusulkan persentase dana operasional kepada Menteri Keuangan paling lambat tiga bulan sebelum tahun anggaran bersangkutan dengan melampirkan rencana kerja anggaran tahunan BPJS. Selanjutnya, Menteri Keuangan mene-tapkannya paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran berjalan.

Besaran persentase Dana Operasional BPJS Ketenaga-kerjaan ditetapkan setiap tahun oleh  Keuangan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan DJSN.

Demikian halnya dengan penetapan besaran persentase Dana Operasional BPJS Kesehatan. Menteri Keuangan mene-tapkan besaran persentase dana operasional BPJS Kesehatan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan DJSN.

Menteri Keuangan menetapkan dana operasional BPJS Ketenagakerjaan tahun 2014 adalah sebagai berikut:[12]

  1. 10% (sepuluh persen) untuk program Jaminan Kecelakaan Kerja,
  2. 10% (sepuluh persen) untuk program Jaminan Kematian,
  3. 0,1125% (nol koma satu satu dua lima persen) untuk pro-gram Jaminan Hari Tua.

Menteri Keuangan menetapkan dana operasional BPJS Kesehatan tahun 2014 sebesar 6,25%.

[1] Policy Brief ini disusun bersama oleh: Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), BPJS Kesehatan dan Kementerian Keseha-tan Republik Indonesia.

[2] Lihat Asih Eka Putri, Paham BPJS, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Friedrich-Ebert-Stiftung, Kantor Perwakilan Indo-nesia, Bekerjasama dengan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Jakarta, September 2014. p. 32-33.

[3] Lihat UU No. 24 Tahun 2011 Pasal 12a.

[4] Lihat PP No. 87 Tahun 2013 Pasal 13 ayat (1).

[5] Lihat PP No. 99 Tahun 2013 Pasal 13 ayat (1a).

[6] Lihat PP No. 99 Tahun 2013 Pasal 13 ayat (1b).

[7] Lihat PP No. 87 Tahun 2013 Pasal 20 ayat (2) dan PP No. 99 Tahun 2013 Pasal 23 ayat (2).

[8] UU No. 24 Tahun 2011 Pasal 44 ayat (1), (2), (3), (4).

[9] Lihat PP No. 87 Tahun 2013 Pasal 14 ayat (1), (2) dan PP No. 99 Tahun 2013 Pasal 14 ayat (1),(2).

[10] Lihat PP No. 99 Tahun 2013 Pasal 13 ayat (2).

[11] Lihat PP No. 99 Tahun 2013 Pasal 13 ayat (2).

[12] Lihat Permenkeu No. 212 Tahun 2013.

[13] Lihat Permenkeu No. 211 Tahun 2013.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top