General Issue

MEMBURU PELANGGAR PROTOKOL KESEHATAN

FOTO CHS TERBARU2

By: Dr. Chazali H. Situmorang,M.Sc *)

Sejak HRS tiba di Indonesia tanggal 10 Nopember 2020 maka sejak hari itu, isu protokol kesehatan Covid-19 ( prokes), semakin gencar dibicarakan dan menjadi pemberitaan media sehari-hari.

Persoalan prokes sudah memakan korban pejabat kepolisian. Dua Kapolda Metro Jaya dan Jawa Barat dicopot, diduga karena gagal menerapkan prokes dikerumunan kegiatan yang diselenggarakan HRS di Petamburan dan Megamendung.

Tidak sampai disitu, dua Gubernur yaitu DKI Jakarta dan Jawa Barat diundang untuk diminta keterangan oleh Polda setempat. Diikuti jajaran terkait dibawahnya.

Sejak itu pelanggaran prokes yang selama ini telah berlangsung muncul dipermukaan. Antara lain ada 398 pelanggaran prokes dalam kampanye pilkada di 270 daerah provinsi/kabupaten/kota. Diungkit  ada kandidat calon Bupati/Walikota yang membuat arakan  sewaktu mendaftarkan diri ke KPUD melanggar prokes.

Tapi itu semua tidak menjadi goyah polisi untuk meneruskan kasus kerumunan yang diduga melanggar prokes di Petamburan dan Megamendung, dan saat ini sudah pada tahap penyidikan.

Dapat diramalkan, akan semakin ramai lagi adanya pemanggilan mereka-mereka yang diduga melanggar prokes, dalam rangka pro justicia. Apakah langkah tersebut merupakan langkah hukum yang bijak, perjalanan waktu dan perkembangan situasi akan mengujinya. Sebab persoalan pelanggaran prokes sudah sangat masif dan seakan tidak begitu dihiraukan masyarakat yang sudah mulai jenuh situasi Covid-19 yang sudah berlangsung 8 bulan, dan memukul kondisi sosial, ekonomi dan kesehatan masyarakat.

Bagi Kepolisian,menyelesaikan atau memburu pelanggar porkes bukanlah pekerjaan yang mudah. Tantangannya sangat berat. Sebab akan berhadapan dengan masyarakat bahkan para elite yang belum mempunyai kesadaran untuk menerapkan prokes, sebagai suatu upaya yang saat ini ibarat “drug of choice” wabah Covid-19. Jika pun vaksin sudah ada dan dapat digunakan, tidak akan efektif jika prokes diabaikan.

Oleh karena itu, apakah tindakan hukum dan ancaman pidana cukup efektif dan dapat ditegakkan dengan konsisten, adil, tidak pilih-pilih  oleh Kepolisian merupakan persoalan tersendiri yang merepotkan Kepolisian itu sendiri. Belum lagi masih banyak persoalan lain yang terjadi di masyarakat, karena menurunnya  kemampuan ekonomi masyarakat  berakibat  meningkatnya angka kejahatan, begal, perampokan, pencurian, teroris dan kejahatan lainnya yang modusnya bermacam-macam.

Apa  itu protokol kesehatan?

Landasan regulasi prokes, adalah Kepmenkes Nomor   HK.01.07/MENKES/382/2020 Tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum Dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Covid-19, diterbitkan pada 19 Juni 2020.

Latar belakang dari lahirnya Permenkes  itu, mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020, tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19  dikeluarkan pada 31 Maret 2020. Keppres ini hanya berisi penetapan KKM Covid-19, tanpa ada pengaturan tata cara dan mekanisme yang menurut UU Nomor 6/2018, pasal 10 diatur dalam PP, yang sampai saat ini belum diterbitkan.

Inti dari Permenkes  itu adalah suatu panduan Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum Dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus   Disease   2019   (COVID-19) sebagai acuan bagi kementerian/lembaga, pemda  provinsi, kabupaten/kota, dan masyarakat termasuk asosiasi, pengelola, pemilik, pekerja, dan pengunjung   pada   tempat   dan   fasilitas   umum,   serta komponen lain, baik dalam penetapan kebijakan, pembinaan aktivitas usaha, pelaksanaan usaha/kegiatan, aktivitas masyarakat,  maupun  dalam  melakukan  pengawasan kegiatan di tempat dan fasilitas umum, dalam rangka mencegah  terjadinya  episenter/kluster  baru selama masa pandemi COVID-19.

Kata kuncinya prokes berlaku di tempat dan fasilitas umum, bukan di dalam rumah atau di dalam kamar. Prokes juga menjaga privacy setiap anggota masyarakat  yang tidak berada di tempat dan fasilitas umum. Jika di tempat dan fasilitas umum maka semua pihak, komponen masyarakat, penyelenggara pemerintahan, dilibatkan mulai dari perencanaan sampai dengan pengawasan prokes.

Dalam lampiran Permenkes, sudah cukup lengkap diatur berbagai tatacara, persyaratan prokes di berbagai fasilitas umum, sebagai supaya mencegah dan dapat mengendalikan penyebaran Covid-19.

Prokes ini berlaku di seluruh wilayah Indonesia, karena merujuk pada Keppres Nomor 11/2020,tentang KKM Covid-19, sebagai salah satu bentuk upaya pencegahan dan pengendalian virus corona. Bentuk aktivitasnya mencakup memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak minimal 1 meter dalam area publik ( tempat dan fasilitas umum), diberlakukan kepada setiap orang.

Disamping adanya keharusan setiap orang tersebut, juga ada kewajiban pemerintah (Pusat dan Daerah), yaitu melakukan 3 T, yaitu Tracing yaitu mencari mereka yang terpapar virus, atau potensial terpapar virus dengan membuat peta-peta cluster, kemudian dilakukan Testing ( Rapid test, swab test /PCR) sebagai penapisan terhadap mereka yang bergejala maupun tidak bergejala,  dan jika positif hasil testnya, dilakukan Treatment dalam bentuk intervensi pengobatan, isolasi, pemantauan terus-menerus dengan memperhatikan siklus perkembangan virus, sampai dinyatakan sembuh dengan hasil swab negatif.

Tingginya positivity rate covid-19, punya korelasi yang erat antara prokes (3 M), dengan testing, yang dilakukan pemerintah. Angka testing kita rata-rata antara  30 s/d 40 ribu per hari,  dengan positivity rate sekitar 14%. WHO mengharuskan positivity rate tidak lebih dari 5% baru dikatakan covid-19 itu terkendali.

Korelasi dimaksud adalah, jika positivity rate menurun dengan yang di testing jumlahnya besar ( 40 – 50 ribu per hari)  wabah Covid-19 sudah terkendali. Tetapi jika positivity rate tetap tinggi, maka wabah Covid-19 masih bergerak naik.

Jumlah testing per satuan penduduk, ada pedoman dari  WHO, sehingga jika angka  testing rendah juga menggambarkan rendahnya kemampuan pemerintah untuk melakukan tugasnya sesuai dengan kebijakan global.  Presiden Jokowi sudah memerintahkan agar satgas Covid-19 dapat melakukan jangkauan testing per hari terhadap 40 ribu penduduk.  Angka itu terkadang tercapai, juga terkadang tidak tercapai.

Begitu pentingnya prokes itu, walaupun tidak tercantum dalam pasal-pasal di PP 21/2020, dan UU Nomor 6/2018, Presiden merasa penting menerbitkan Instruksi Presiden sebagai bentuk dukungan kuat pemerintah atas kebijakan prokes yang diterbitkan Menkes.

Inpres itu, diterbitkan  4 Agustus 2020, setelah lebih dari  40 hari Permenkes 382 diterbitkan Menkes. Judul Inpres 6/2020 adalah tentang “Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol  Kesehatan Dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19”.

 Instruksi Presiden tersebut ditujukan kepada 7 pihak bawahan Presiden yaitu: Para Menteri Kabinet Indonesia Maju; Sekretaris Kabinet; Panglima TNI; Kapolri; para Ka.LPNK; para Gubernur; para Bupati/Walikota.

Secara spesifik/khusus, Inpres itu di tujukan kepada 5 pejabat publik yaitu: Menko Polhukam untuk; “melakukan koordinasi, sinkronisasi dan pengendalian atas pelaksanaan penegakan disiplin dan hukum atas pelanggaran prokes, dan melaporkan pelaksanaannya kepada Presiden”.

Mendagri melakukan sosialisasi, diseminasi secara masif penerapan prokes, menerbitkan pedoman teknis pada pemda dalam menyusun pergub/perbup/perwali, dan juga melakukan pendampingan dalam proses penyusunan regulasi tersebut.

Disamping itu melakukan koordinasi dan sinkronisasi atas pelaksanaan penegakan disiplin dan hukum  terhadap pelanggaran prokes di provinsi, kabupaten/kota, dan melaporkannya kepada Menko Polhukam.

Berikutnya apa yang menjadi tugas Kepala BNPB, Inpres menugaskan Ka.BNPB selaku Ketua Satgas Penanganan Covid-19  melakukan monev atas  pelaksanaan pengenaan sanksi terhadap pelanggaran prokes di provinsi /kab/kota. Melaporkan hasil monev kepada Ketua Komite Kebijakan pada Komite Penanganan Covid-19 dan PEN.

Selanjutkan Panglima TNI diberi tugas untuk memberikan dukungan kepada gubernur, bupati/wako, untuk melakukan pengawasan pelaksanaan prokes di masyarakat. Bersama Kapolri secara terpadu dengan instansi lain dan pemda menggiatkan patroli penerapan prokes.

Tugas Kapolri juga sama dengan Panglima TNI memberikan dukungan  kepada gubernur, bupati/wako melakukan pengawasan pelaksanaan prokes, dan terpadu dengan instansi lainnya dan pemda, menggiatkan patroli penerapan prokes, dan bersama dengan TNI, melakukan pembinaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya pencegahan dan pengendalian Covid-19.

Disamping itu tugas Kapolri mengefektifkan upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran prokes.  Sesuai tupoksi untuk menegakkan hukum.

Yang terakhir, kita cermati apa yang menjadi tugas Gubernur, Bupati dan Walikota yang diamanatkan Presiden dalam instruksinya itu.

Ada 4 tugas pokok yang diamanatkan yang cukup detail, dan secara garis besarnya dapat kita rangkumkan sebagai berikut:

  1. Meningkatkan sosialisasi secara masif penerapan prokes untuk pencegahan dan pengendalian covid-19 dengan melibatkan semua komponen masyarakat
  2. Menyusun dan merumuskan peraturan gubernur/ bupati/ walikota yang memuat : kewajiban mematuhi prokes , mulai dari memakai alat pelindung (masker), membersihkan tangan, membatasi interaksi fisik, meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan PHBS ( Perilaku Hidup Bersih dan Sehat).
  3. Disamping itu upaya perlindungan kesehatan masyarakat meliputi sosialisasi, edukasi,  dan penggunaan media informasi terkait Covid-19.
  4. Tidak kalah penting lainnya adalah penyediaan sarana cuci tangan yang mudah diakses atau penyediaan hand sanitizer, dan upaya-upaya lainnya.

Secara detail, Inpres itu juga merujuk pedoman prokes yang diterbitkan oleh Kemenkes.

Inpres itu juga memberikan tugas kepada gubernur/ bupati/ walikota untuk; “memberikan sanksi kepada pelanggar prokes yang dilakukan semua kelompok masyarakat ataupun perorangan  yang beraktivitas di tempat dan fasilitas umum”.

Ada 4 jenis sanksi yang dapat diterapkan Pemda melalui Pergub/Perbup/Perwako yaitu: teguran lisan atau teguran tertulis; kerja sosial;denda administrasi, atau penghentian atau penutupan sementara penyelenggara usaha.

Inpres itu juga mengingatkan bahwa gubernur/bupati/wako, melakukan koordinasi dengan kementerian /lembaga terkait, TNI dan Kepolisian dalam  melaksanakan penerapan sanksi  dimaksud.

Jika kita cermati substansi Instruksi Presiden ini,  bahwa persoalan pelanggaran prokes itu, wewenang menjatuhkan sanksi adalah Gubernur/Bupati/Walikota, dan sanksinya bukan berupa penahanan atau hukuman badan tetapi lebih bersifat sanksi sosial dan sanksi administrasi. Agar penerapan sanksi itu, efektif dan dapat diterapkan dengan tertib, maka Pemda berkoordinasi dengan TNI dan pihak Kepolisian setempat.

Semua pihak terutama penyelenggara negara / aparatur negara, haruslah patuh dan merujuk Instruksi Presiden ini dalam melaksanakan tugasnya, tidak perlu repot-repot merujuk  pasal sanksi di UU 6/2018, maupun UU 4/1984, yang secara normatif tidak disebut  tentang Protokol Kesehatan.

Bagaimana dengan Instruksi Mendagri  Nomor 6/2020, tentang Penegakan Prokes Untuk Pengendalian dan Penyebaran Covid-19 tanggal 18 November 2020.?

Substansi  Instruksi Mendagri itu, tentu difokuskan pada upaya mengingatkan para Kepala Daerah untuk secara konsisten menjalankan dan pengawasan terhadap prokes di wilayah kerjanya masing-masing.

Hakekat Instruksi itu, adalah bersifat mendorong, mengontrol, dan mempercepat suatu target program/kegiatan,  , ibarat mesin turbo suatu mobil supaya kecepatannya dapat maksimal memacu supir untuk tancap gas, bukan mengganti mobil. Karena yang dapat mengganti/menukar mobil adalah pemiliknya bukan penumpang.

Walaupun yang men trigernya adalah arahan Presiden, dalam Rapat Terbatas Kabinet tanggal 16 November 2020, yang menegaskan konsistensi kepatuhan prokes Covid 19, dan mengutamakan keselamatan rakyat, tetapi tidak terlepas dari rangkaian kebijakan publik yang diterbitkan Presiden melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020.

Instruksi Menteri Dalam Negeri menjadi terkesan tidak sejalan  dengan Instruksi Presiden, karena mengaitkan pasal ancaman pemberhentian Kepala Daerah mengacu UU 23/2014 (pasal 67 c, dan 78), sebab soal sanksi itu  sudah diatur dalam Inpres. Kurang tepat jika seorang Menteri bicara soal sanksi yang sudah diatur oleh Presiden.

Bagaimana dengan PSBB?

PSBB ini, sumber regulasinya berbeda dengan prokes Covid-19. PSBB ada dengan jelas di UU Nomor 6/2018.  Dalam ketentuan umum pasal 1 ayat 11, yang dimaksud dengan  Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)  adalah “pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi”.

Jadi dengan kata lain, PSBB adalah karantina wilayah terhadap kegiatan tertentu penduduk yang diduga terinfeksi. Apa saja kegiatan tertentu itu  dijelaskan pada pasal 59 yaitu  paling sedikit meliputi: a. Peliburan sekolah dan tempat kerja; b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Kemudian pada pasal 60, berbunyi,  “Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan pelaksanaan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Merujuk pasal 60 itulah pemerintah menerbitkan PP (parsial)  Nomor 21/2020 Tentang PSBB Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. yang diterbitkan 31 Maret 2020.

Pemerintah hanya memilih mengatur PSBB, tidak mengatur kriteria dan pelaksanaan Karantina ( Rumah, Wilayah, dan Rumah Sakit).

Turunannya terbit Permenkes Nomor 9/2020, Tentang  Pedoman PSBB Dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Dengan pedoman ini, Pemda jika ingin mengajukan PSBB, disampaikan kepada Menkes dengan beberapa syarat baik terkait perkembangan virus itu , maupun kemampuan menyediakan dana untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat yang wilayahnya diterapkan PSBB.

Apa yang terjadi, ternyata hanya sebagian Provinsi dan Kab/Kota yang mengajukan PSBB, walaupun kondisi epidemiologinya sudah mengharuskan, tetapi terbatasnya kemampuan dana yang dapat disediakan.

Maka itu dalam dokumen Inpres 6/2020, maupun Instruksi mendagri Nomor 6/2020, tidak ada menyinggung soal PSBB. Hanya fokus pada prokes Covid-19. Tetapi secara realita, daerah juga menerapkan PSBB ( walaupun tidak mengajukan ke Menkes), karena diharuskan sekolah libur, kerja dari rumah, pembatasan tempat ibadah, dan pembatasan kegiatan di fasilitas umum.

Menurut hemat kami, ada hal yang kurang tepat dalam penerapan Permenkes Nomor 9/2020. Pemerintah Daerah harus mengajukan persetujuan PSBB kepada Menkes dengan kriteria tertentu, seharusnya  dimaknai bahwa Pemerintah punya kewajiban untuk mengadvokasi Pemda untuk memenuhi kriteria dimaksud, dan jika ada Pemda yang mengalami kesulitan terkait dukungan kebutuhan konsumtif  warganya, bisa dikoordinasikan dengan Kementerian terkait untuk mendapatkan dukungan yang dibutuhkan.

Pembiaran sudah terjadi dengan “membiarkan” mereka yang tidak mengajukan PSBB berakrobatik dengan situasi Covid-19 yang mengancam warganya. Itulah salah satu sebab sulitnya mengendalikan Covid-19, dan sampai hari ini, kasusnya belum terkendali.

Simak saja Bab II Penetapan PSBB menurut UU No.6/2018,  mulai pasal 2 sampai dengan pasal 11, isinya adalah satu arah, yang menekankan bahwa PSBB itu dapat dilaksanakan daerah jika sudah mendapatkan ijin Menkes. Tidak ada kewajiban daerah untuk menerapkan PSBB, dan tidak ada sanksi bagi Pemda yang tidak mengajukan PSBB.

Permenkes itu mengacu pada  PP 21/202, yang dengan mudah kita memahami tidak tergambar suasana kedaruratan, sebagaimana  telah ditetapkan dengan Keppres Nomor 11/ 2020 tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Keppres itu berlaku diseluruh wilayah Indonesia.

Keadaan darurat juga ditetapkan dengan  Keppres 12/2020 Tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Covid-19. Yang intinya adalah dengan mengacu UU 24/2004, pemerintah menetapkan Covid-19 merupakan bencana non alam berskala nasional, dan berlaku diseluruh wilayah Indonesia. Segala sesuatu yang terkait dengan keadaan kedaruratan  tersebut, tentu menjadi tanggung jawab pemerintah pusat bekerjasama dengan pemerintah daerah.

Keterpaduan Kebijakan Publik

Tidak  terpadunya kebijakan publik, dalam penanganan Covid-19,  sudah dirasakan implikasinya setelah wabah Covid-19 berjalan 9 bulan. Keluarnya PP 21/2020, Permenkes 9/2020, tidak kompatibel  dengan substansi Perpres Nomor 11 dan 12 Tahun 2020, tentang Kedaruratan Kesehatan masyarakat dan Bencana Nasional Non Alam  yang dielaborasi dengan terbitnya Permenkes Nomor HK.01.07/MENKES/382/2020, dan Inpres Nomor 6/2020 yaitu terkait pelaksanaan prokes Covid-19.

Dimana tidak kompatibelnya?. Regulasi PSBB tidak diharuskan berlaku dan dilaksanakan diseluruh wilayah, tergantung permintaan daerah, sedangkan prokes Covid-19 berlaku di seluruh pelosok tanah air.

Akibatnya, pada saat terjadi pelanggaran PSBB dan prokes, penegakan hukumnya menjadi rancu, antara apakah yang dilanggar itu PSBB dengan menerapkan pasal 93 UU No.6/2018, atau prokes yang landasan hukumnya adalah Peraturan Gubernur/ Bupati/ Walikota, sesuai dengan Inpres 6/2020.

Jika menerapkan pasal 93 UU 6/2018, juga dapat menimbulkan multi tafsir hukum, karena pemerintah belum menerbitkan PP yang komprehensif sebagaimana diamanatkan pada pasal 10,11,14,48 dan 60.

UU 6/2018  substansinya lebih banyak mengatur tentang Kekarantinaan Kesehatan yang mencakup Karantina Wilayah baik melalui udara, laut maupun darat.  Hanya sedikit pasal yang menjelaskan tentang PSBB. Kita cermati bunyi   Pasal 93 “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Tidak ada kepastian sanksi tersebut apakah pidana penjara ditujukan pada pelanggaran Karantina, dan sanksi denda uang ditujukan pada pelanggaran PSBB yang materinya  tidak sama dengan pelanggaran  prokes. Perlu ada kepastian hukum. Karena kalau kerumunan dan juga melanggar prokes harus dipidana, mau berapa ratus  ribu yang harus masuk penjara?. Apalagi pemerintah tidak menetapkan Karantina Wilayah, hanya PSBB saja.  Saat  ini banyak Pemda yang sudah menerapkan PSBB transisi, yang lebih longgat lagi.

Apa yang kita lihat sekarang ini, pelanggaran prokes yang sedang di buru oleh Kepolisian, terhadap kasus penumpukan masa tanpa prokes di Petamburan dan Megamendung  karena aktivitas yang dikaitkan keberadaan HRS, dasar sanksinya apakah berdasarkan Peraturan Kepala Daerah yang di eksekusi  oleh petugas Pemda (Satpol PP), dan dalam pelaksanaannya dapat meminta bantuan pihak Kepolisian, atau menggunakan pasal 93 UU 6/2018,  yang juga diatur di salah satu pasal, bahwa  Kepolisian dapat mengedepankan PPNS Kesehatan untuk melaksanakan penyidikan apakah ada unsur pelanggaran pidana.

Kalau terkait Petamburan, Pemda DKI Jakarta sudah menjatuhkan  sanksi denda maksimal Rp. 50 juta kepada HRS dalam waktu 24 jam. Seharusnya persoalan sudah selesai. Tetapi persoalan menjadi melebar karena pemanggilan penyelenggara pemerintah daerah DKI dan Jawa Barat oleh pihak Kepolisian terkait dengan persoalan pelanggaran prokes, yang tata cara penegakan disiplin dan hukumnya sudah diatur  dalam Inpres Nomor 6/2020.

Agar persoalan ini tidak semakin berlarut-larut, dan akan menimbulkan suasana yang tidak  kondusif di masyarakat, maka pihak Kepolisian dapat menyerahkan penyelesaiannya  kepada Menteri Dalam Negeri, dan Mendagri melakukan koordinasi dengan para Kepala Daerah terkait untuk menyelesaikannya sesuai aturan yang ada,  dan selanjutnya Kepala Daerah dapat menuntaskannya melalui Forum Komunikasi Pimpinan Pemerintah  Daerah yang diatur dalam UU 23/2014 Tentang Pemerintah Daerah.

Masih banyak persoalan besar terkait  dengan semakin meningkatnya Covid-19, dan perkembangan ekonomi dalam situasi krisis, maka persoalan-persoalan interaksi sosial di masyarakat diselesaikan dengan bijak dan dipersempit ruang lingkupnya. Di cari titik temu,  dibangun solidaritas masyarakat untuk berpartisipasi memerangi Covid-19, dengan melaksanakan prokes secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga menjadi suatu kebiasaan dan budaya baru menuju masyarakat yang sehat.

Janganlah karena sibuk berburu pelanggar prokes,   terjadi konflik vertikal antara petugas Kepolisian dengan kelompok masyarakat, atau konflik horizontal antar kelompok masyarakat yang saling mengintip pelanggaran prokes di tengah masyarakat.

Jumlah aparat Kepolisian tidaklah cukup kalau melakukan perburuan itu. Kunci keberhasilan menangani Covid-19, yang utama adalah melibatkan peran dan partisipasi masyarakat dan mekanisme kontrol terhadap pelanggaran prokes dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Biarlah masyarakat itu sendiri menerapkan sanksi sosial yang mereka sepakati bersama.

Cibubur, 3 Desember 2020

*) Pengamat Kebijakan Publik/Dosen Adm.Publik FISIP UNAS

 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top