Kebijakan Publik

BP Jamsostek Antara Das Sein dan Das Sollen

chazali s penulis buku

Oleh; Dr. apt. Chazali H.Situmorang,M.Sc/ Ketua DJSN

2011-2015

Das Sein dan Das Sollen diambil dari bahasa Jerman. Das Sein dapat dimaknai dengan “ Keadaan yang terjadi atau sebenarnya pada waktu sekarang”.  Atau  “Segala sesuatu yang merupakan implementasi dari segala hal yang kejadiannya diatur oleh das sollen”.  Sedangkan Das Sollen “ Apa yang dicita-citakan, apa yang diharapkan, apa yang harus ada nanti”. Atau “Merupakan kaidah/regulasi  dan norma serta kenyataan normatif seperti apa yang seharusnya dilakukan”.

Beranjak dari pemahaman diatas, maka dalam konteks BP Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan),  kita dapat melihat kinerja atau _performance_ atau implementasi program yang diperoleh saat ini setelah berjalan 5 tahun (periode Dewas dan Direksi) sebagai Das Sein   dikomparasikan  dengan UU maupun peraturan perundang-undangan lainnya sebagai rujukan, acuan, referensi dan cita-cita yang ingin dicapai. Ini yang kita sebut dengan Das Sollen.

Dalam mengelola BP Jamsostek, parameternya sangat jelas dan terang benderang. Mulai dari  dasar Konstitusi, kemudian UU ( UU SJSN, dan UU BPJS), dan penjabaran dalam dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Payung hukum BP Jamsostek itu seharusnya sudah tuntas dalam bentuk PP, dan dalam pelaksanaan teknisnya dapat diatur dengan Peraturan BPJS.

Tetapi dalam produk PP yang diterbitkan, pemerintah masih membutuhkan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri. Persoalannya jika Peraturan Menteri itu lebih mempercepat, mempermudah proses, tidak ada masalah. Masalah baru timbul, jika Peraturan Menteri terbitnya bertele-tele dan bahkan kontra produktif dengan semangat UU.

Kita mulai saja dulu memotret BP Jamsostek, dari sisi Das Sollen nya, yaitu apa sebenarnya wewenang dan kewajiban BP Jamsostek menurut UU BPJS. Pada Pasal  11, wewenang  BP  Jamsostek antara lain : menagih pembayaran Iuran; menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai; dan juga melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan Pemberi Kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional.

Sesuai dengan Pasal 13, Kewajiban BP Jamsostek antara lain;  mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial dan aset BPJS untuk sebesar-besarnya kepentingan Peserta; memberikan Manfaat kepada seluruh Peserta sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Kedua pasal diatas, merupakan “pisau pembedah” BP jamsostek untuk melaksanakan programnya. Pisau pembedah itu tidak cukup, harus diatur dalam aturan teknis penggunaan pisau itu. Terbitlah PP Nomor 99 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, tanggal 27 Desember 2013. PP itu kemudian disempurnakan lagi, dengan diterbitkan PP Nomor 55 Tahun 2015, Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, yang diterbitkan tanggal 3 Agustus 2015.

Kalau kita cermati mulai dari UU BPJS  sampai dengan 2 PP yaitu PP 99/2013 dan PP 55/2015, sudah mengatur dengan ketat bagaimana BP Jamsostek  mengelola aset atau DJS (Dana Jaminan Sosial), dalam bentuk berbagai investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.

Aspek-aspek  itu bagi BP Jamsostek bukanlah hal yang baru. Sewaktu masih bentuk PT Jamsostek, aspek itu juga menjadi pegangan utama, kecual istilah hasil yang memadai itu tidak ada, yang ada memberikan keuntungan yang maksimal bagi persero. Kinerja persero, ya aspek  utamanya “untung gede” atau tidak. Menteri BUMN akan tersenyum jika untung gede.

BP Jamsostek sebagai badan hukum publik, tidak mengedepankan untung gede, tetapi memberikan hasil yang memadai untuk kepentingan peserta. Yang diutamakan adalah  dana itu harus ada saat waktunya membayar klaim peserta, dan tersedia sewaktu-waktu diperlukan dalam jumlah tertentu, menempatkan dana untuk pengembangan dengan kehati-hatian, dan dana itu dipastikan aman.

Dalam PP 55/2015 bahkan sudah diatur secara detail batas maksimum persentase DJS ( Dana Jaminan Sosial) yang di investasikan. Lihat pasal 37 dan 40, bahwa instrumen investasi  dibatasi dengan ketentuan sebagaimana tercantum yakni; a. Investasi  berupa  deposito  berjangka  termasuk deposit _on call_ dan deposito yang berjangka waktu kurang  dari  atau  sama  dengan  1  (satu)  bulan serta  sertifikat    deposito    yang    tidak    dapat diperdagangkan _(non negotiable certificate deposit)_  pada Bank: b.           Investasi   berupa   surat   utang   korporasi  yang tercatat dan diperjualbelikan secara luas dalam Bursa Efek; c. Investasi   berupa   saham   yang   tercatat  dalam Bursa Efek; d. Investasi berupa reksadana; e.    Investasi berupa efek beragun aset ; f. Investasi berupa dana investasi real estat; g. Investasi  berupa  _repurchase  agreement_ ; h.  Investasi   berupa   penyertaan   langsung,   ; dan i. Investasi  berupa  tanah,  bangunan,  atau  tanah dengan bangunan,; dan j.Investasi berupa obligasi daerah yang diterbitkan oleh       Pemerintah   Daerah   yang   tercatat   dan diperjualbelikan secara luas dalam Bursa Efek.

Masing-masing instrumen investasi tersebut, ada batas maksimum persentasenya dari jumlah investasi yang tidak boleh dilampaui.

Dengan berbagai varian instrumen investasi yang sudah diatur dalam PP 99/2013 dan PP 55/2015, memberikan ruang yang cukup lebar bagi BP Jamsostek untuk mengembangkan dana DJS (JKK, JKM, JHT dan JP), asalkan prinsip kehati-hatian tetap dijaga dan likuiditas dana saat diperlukan untuk membayar klaim peserta.

Dalam merumuskan kebijakan investasi itu, BP jamsostek tidak sendiri. Mereka dapat merumuskan bersama dengan Dewan Pengawas, DJSN dan Kementerian Keuangan. Sehingga terjadi proses _check and recheck_. Soal peran masing-masing sudah diatur jelas dalam UU BPJS dan PP 99 dan 55.  Dalam kedua PP itu, di ketentuan umum, menteri  yang di maksud adalah menteri yang menangani urusan keuangan.

Tugas  DJSN dalam kebijakan investasi cukup jelas dicantumkan dalam UU SJSN ( UU Nomor 24/2011), pada pasal 7 ayat (3) huruf b; “ Mengusulkan  kebijakan investasi Dana Jaminan Sosial Nasional.

Sewaktu saya sebagai Ketua DJSN Periode 2011 – 2015, bersama tim anggota DJSN telah merumuskan Draft PP 99/2013, bersama stakeholder lainnya.

Demikian juga saat adanya kebutuhan perubahan kebijakan terkait instrumen investasi atas usulan BP Jamsostek, maka DJSN duduk bersama dengan Direksi dan Dewas BP Jamsostek, Kemenkeu, Kemenaker dan Kemenkumham, Kemenkokesra, membahas perubahan dimaksud, dan terbitlah  PP 55/2015 yang sudah lebih menyesuaikan dengan kondisi investasi waktu itu.

Apakah Direksi BP Jamsostek periode 2016-2021, dan DJSN periode berikutnya melanjutkan perintah UU SJSN itu, saya tidak mengikutinya lagi.

Demikian juga halnya kewajiban Dewas BP Jamsostek, tidak bisa lepas tangan terkait dengan Kebijakan Instrumen Investasi. Ingat RKAT yang disusun Direksi BP Jamsostek harus mendapat persetujuan Dewas BP Jamsostek. Itu perintah UU BPJS. Dewas punya wewenang yang besar menilai kinerja Direksi. Jika Direksi melakukan sesuatu penyimpangan dari peraturan yang ada, dapat melaporkan langsung ke Presiden.

Dewas BP Jamsostek berkewajiban memberikan opini professional terhadap berbagai kebijakan Direksi BP Jamsostek termasuk kebijakan investasi. Dewas BP Jamsostek itu seharusnya memberikan opini kebijakan yang lebih komprehensif, karena mewakili berbagai kepentingan baik pemerintah, pekerja, pemberi kerja dan masyarakat. Mereka juga didukung tenaga professional di Komite-Komite terkait, sebagai penunjang kemampuan professional anggota Dewas. Dan semua produk policy brief Dewas BP Jamsostek itu harus terdokumen, tidak cukup dengan verbal atau statement saja.

Dalam perjalanan BPJS, ternyata soal Tata Kelola BPJS masih menimbulkan gesekan antar Organ BPJS. Oleh karena itu pada 29 Januari 2020, pemerintah menerbitkan Perpres No.25/2020 Tentang Tata Kelola BPJS, yang pada pasal 5 menjelaskan tentang perlunya penerapan tata kelola yang baik secara  konsisten dan berkelanjutan. Pada ayat (2) point e, secara spesifik menyebutkan tata kelola investasi.

Bahkan pada Bagian Keenam khusus Tata Kelola Investasi, mulai pasal 11, 12 dan 13, secara detail menyebutkan apa saja kewajiban Direksi,  yang semuanya itu merujuk pada UU BPJS.  Sayangnya Perpres itu terbit 5 tahun kemudian sejak keluarnya PP 55/2015. Persoalan investasi mencuat tahun 2020, sedangkan investasi itu sudah dilakukan selama 5 tahun.

Keberadaan  PP 99/2013, dan PP 55/2015, sudah memadai mengatur tentang  tata kelola investasi. Sedangkan Perpres 25/2020 lebih menegaskan lagi kewajiban Direksi BPJS dan bagaimana mekanisme kerja dengan Dewan Pengawas BPJS dilakukan.

Persoalannya Apakah Direksi dan Dewas BP Jamsostek menerapkannya sesuai rambu regulasi yang sudah ada, hal itu sudah masuk wilayah Das Sein yang akan kita bahas.

Kondisi saat ini BP Jamsostek sedang gundah gulana atau worry persistently. Kejaksaan Agung sedang melakukan penyidikan terhadap Direksi, Dewas, dan Deputi Direksi BP Jamsostek, karena  diduga ada pat gulipat dana investasi. Sudah puluhan orang yang diperiksa. Kabarnya kini sudah mengerucut pada beberapa Direksi dan Deputi Direksi yang menangani investasi.

Kejaksaan Agung (Kejagung) menyidik ada dugaan korupsi di BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek. Salah satu indikasi adanya unrealized loss  investasi BPJS Ketenagakerjaan yang nilainya mencapai Rp43 triliun (angka per September 2020).

Apa itu Unrealized loss. Suatu kondisi nilai aset investasi  BP Jamsostek mengalami  penurunan nilai aset investasi saham atau reksadana sebagai dampak dari fluktuasi pasar modal yang tidak bersifat statis.  Hal ini bergantung kepada aset investasi yang memiliki kualitas fundamental emiten bagus, seperti saham dalam indeks LQ45.

Sebagian pengamat menyatakan bahwa unrealized loss investasi BP Jamsostek bukanlah suatu tindak pidana. Karena, saat ini sektor investasi di pasar modal memang sedang terpengaruh adanya pandemi Covid-19.

Namun sebagian lainnya, menganggap _unrealized loss_ investasi BPJS TK bisa menjadi tindak pidana. Apalagi, jika melihat dua perkara tindak pidana lainnya yakni korupsi Jiwasraya dan Asabri, yang sama-sama bermula dari kasus kerugian akibat investasi.

Jika alasan masuk pidana karena sudah ada contoh Asabri dan Jiwasraya, argumentasi itu masih lemah, karena karakter kelembagaan, dan filosofi perusahaan jauh berbeda. BP Jamsostek badan hukum publik, nirlaba, sedangkan Asabri dan Jiwasraya  adalah persero, dan harus mendapatkan untung besar. Sebagaimana sudah diutarakan pada awal tulisan ini.

Kita sudah masuk wilayah Das Sein. Instrumen investasi yang diatur dalam UU SJSN, UU BPJS, PP 99/2013 dan PP 55/2015, dan terakhir Perpres 25/2020, adalah panduan kebijakan yang harus dilakukan oleh Direksi, Dewas BP Jamsostek  dan juga DJSN, bersama pihak Kementerian Keuangan. Posisi Kemenkeu dapat direpresentasikan dari anggota Dewas yang berasal dari unsur pemerintah (Kemenkeu).

Jika pihak Direksi BP Jamsostek sudah merumuskan kebijakan bersama terkait berbagai instrumen investasi DJS,  dan dituangkan dalam dokumen resmi ( misal dokumen RKAT, atau Policy Brief )  kemudian terjadi unrealized loss, apakah itu pidana?. Saya yakin, pihak Kejaksaan tidak akan gegabah mengatakan pidana.

Tetapi, kebijakan itu bisa menjadi pidana, jika tidak dibahas secara terbuka. Tidak melibatkan pihak-pihak terkait, mengabaikan kehati-hatian yang diamanatkan UU SJSN dan UU BPJS serta PP terkait.

Saat ini Kejaksaan Agung sedang menunggu hitung-hitungan BPK, berapa kerugian negara  yang terjadi dengan adanya unrealized loss  dana investasi BP Jamsostek. Jika BPK menyatakan tidak ada kerugian negara, maka persoalannya bisa selesai. Kita berharap tidak ada kerugian negara, sehingga tidak ada yang menjadi tersangka.

Rekomendasi

Disarankan agar Kejaksaan Agung, dapat mengundang pihak DJSN, untuk mendapatkan masukan ataupun opini professional terkait instrumen investasi tersebut, sejalan dengan amanat UU SJSN pasal 7 ayat (3) poin b. Mungkin akan mendapatkan gambaran yang komprehensif  sebelum penyidik Kejaksaan melakukan finalisasi temuannya. Sebab  DJSN lembaga independen sesuai amanat UU SJSN, terdiri dari kumpulan para ahli jaminan sosial, ekonom, ahli kebijakan publik, ahli aktuaria,  yang mewakili kepentingan pemerintah, pekerja, pemberi kerja dan masyarakat.

Cibubur, 8 Februari 2021

 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top