General Issue

Pembangunan Infrastruktur, Jangan Sampai Tersungkur

LBP

Oleh : Chazali H Situmorang *)

 Pembangunan infrastruktur  sejak Jokowi jadi Presiden sampai sekarang ini memang masih berjalan. Sepertinya PIS itu (Pembangunan InfraStruktur) menjadi legacy  yang akan ditinggalkannya pada saat mengakhiri jabatannya pada Oktober 2024.

Bahkan sudah ada kelompok masyarakat tertentu yang mengusungnya menjadi Bapak Infrastruktur, sebagai bentuk kekaguman mereka terhadap presidennya.

Bayangkan luar biasanya Pak Jokowi membangun infrastruktur, mulai  wliayah yang jarang penduduknya (hutan belantara di Papua), sampai dengan padat penduduk, yang penting bangun terus, dengan selogan pemerataan pembangunan. Apakah itu merupakan konsep pembangunan untuk manusia atau bukan, biarlah para akademisi di kampus, maupun forum rektor yang mengkajinya.

Di periode pertama sebagai Presiden, Pak Jokowi sudah mengelontorkan dana untuk infrastruktur sebagai  sektor yang terus digenjot dengan harapan dapat meningkatkan daya saing, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi nasional.
Jokowi mereformasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan memangkas belanja subsidi dan dialihkan ke anggaran produktif belanja modal.
Salah satu reformasi tersebut adalah peningkatan anggaran infrastruktur. Pada 2015, anggaran infrastruktur dalam APBN sebesar Rp 256,1 triliun. Pada 2019, pos tersebut mendapat anggaran hingga Rp 415 triliun atau naik 62% dibanding tahun 2015.

Pada 2015-2019, porsi APBN memang lebih besar, yakni 41% dengan angka Rp 1.978 triliun. Sedangkan BUMN 22% atau Rp 1.066 triliun, dan swasta 37% setara dengan Rp 1.751 triliun. Kini, komposisi itu berbanding terbalik.

Periode kedua Presiden (2020-2024), BUMN sudah mulai terseok-seok menyediakan dana untuk investasi infeastruktur. Maka Pemerintah membuka pintu selebar-lebarnya untuk menambal anggaran infastruktur. Karena ada PIS yang on going process, dan ada yang sudah dijanjikan untuk meneruskan PIS.

Prinsipnya PIS jalan terus. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berencana membangun infrastruktur senilai Rp 2.058 triliun hingga tahun 2024 ini.

Dari jumlah itu, hanya sekitar 37% yang mampu dibiayai oleh APBN. PIS  yang digarap mengacu pada RPJMN 2020-2024, yang tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 18 tahun 2020.

Sedangkan  porsi BUMN itu 21% dan kemudian porsi swasta atau private itu 42%. Ini dari sekitar Rp 6.445 triliun yang dibutuhkan untuk PIS. Dari porsi BUMN, dipaksa untuk mendapatkan pinjaman dari swasta asing, dengan jaminan asset BUMN itu sendiri.  Dari sektor swasta kita sudah mengerti siapa saja yang berperan. Mereka itu yang sudah menikmati kemerdekaan di Indonesia para oligarki, dan kolaborasi Pengusaha – Penguasa (Peng –Peng)

Perlu kita ketahui, dalam situasi Covid-19 pada tahun 2020, Pemerintah tetap mengalokasikan  belanja PIS Kementerian PUPR  dengan pagu anggaran sebesar Rp 94,12 triliun telah terealisasi penyerapan anggaran program sebesar Rp. 87,59 triliun atau 93,06%.

Sedangkan untuk tahun 2021, realisasi anggaran infrastruktur tahun 2021 mencapai Rp 402,8 triliun, realisasi anggaran infrastruktur itu setara dengan 96,5% dari total pagu yang ditetapkan yakni Rp 417,4 trilun.

Untuk tahun yang sedang berjalan ini (2022) Pemerintah menganggarkan belanja infrastruktur sebesar Rp384,8 triliun .

Bagaimana realisasinya diramalkan sulit mencapai 100% karena kenaikan BBM dunia, dan membengkaknya subsidi BBM  yang awalnya dialokasikan sekitar Rp. 502 triliun, ternyata tidak cukup harus nombok Rp. 198 triliun. Maka itu pemerintah sedang menimbang-nimbang untuk menaikkan BBM Petralite dan Solar.

Kalau subsidi BBM itu sebesar Rp. 198 triliun itu dipenuhi, jelas akan menghambat ambisi Pemerintah meneruskan PIS. Kalau tidak dipenuhi subsidnya, maka quota Rp. 502 triliun itu diperhitungkan hanya sampai Oktober 2022.

Walaupun kondisi sekarang ini berat, Pemerintah tetap mengalokasikan PIS tahun 2023 sebesar Rp. 392 triliun. Meningkat sekitar Rp. 8 triliun dari tahun 2022. Salah satu yang harus dilanjutkan adalah PIS pada IKN,  yang merupakan kemauan politik Presiden yang tidak bergeming, walaupun hutang semakin menumpuk, dan mungkin saja dengan mengorbankan subsidi BBM. Soal PIS ini Presiden Jokowi konsisten, konsekwen, dan sudah menjadi obsesi.

Karena kebijakan Pemerintah menempatkan PIS  sebagai high priority, maka berbagai argumentasi  usang kambuh kembali.

Mari kita simak apa yang dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani, persoalan subsidi BBM yang semakin berat dan membuat APBN bisa sempoyongan. Berikut ini secara lengkap kita kutip apa yang dikatakan Menkeu terkait jebolnya pertahanan subsidi BBM.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan mayoritas BBM subsidi dinikmati oleh orang kaya. “Jadi yang orang miskin tadi, dari ratusan triliun subsidi itu, dia hanya menikmati sangat kecil,” katanya dalam rapat kerja Komite IV DPD dengan Menteri Keuangan, Bappenas, dan Bank Indonesia pada Kamis, 25 Agustus 2022

Ia menjabarkan bahwa Pertalite, misalnya, dikonsumsi oleh 30 persen orang terkaya dan Solar subsidi digunakan oleh 40 persen orang terkaya. Adapun total anggaran subdidi untuk Pertalite, 86 persen di antaranya dikonsumsi oleh 30 persen orang terkaya.

Sedangkan untuk Solar subsidi, kata Sri Mulyani, dari total anggaran subsidi Rp 143 triliun, orang kaya dan dunia usaha menikmati Rp 127 triliun di antaranya. Artinya, ada 89 persen dari total subsidi solar dipakai oleh orang kaya.

“Memang kalau subsidi melalui barang, dan barang itu dikonsumsi orang mampu, ya kita mensubsidi orang mampu,” tutur Sri Mulyani. “Memang ada orang-orang yang tidak mampu dan miskin tetap juga menikmati barang itu, tetapi porsinya kecil.”

Akibat penyaluran BBM subsidi yang salah sasaran, volume penjualan bahan bakar menjadi tak terkontrol. Hal itu yang kian memperberat APBN.

Ketika pemerintah menganggarkan subsidi dan kompensasi BBM Rp 502 triliun, kata Sri Mulyani, sudah ditetapkan volume BBM yang akan mendapatkan subsidi. Hingga akhir tahun 2022 ini sebelumnya dipatok kuota Pertalite adalah 23 juta kiloliter dan Solar 15,1 juta kiloliter. TEMPO.COJakarta

Poin penting dari pernyataan Menkeu itu,Pertama; soal penerima manfaat subsidi BBM itu bukan saja orang miskin, tapi dinikmati oleh orang kaya bukanlah cerita baru, tapi sudah terjadi pada periode Presiden sebelumnya. Kedua; Menkeu seolah membuka kotak Pandora  bahwa isi kotak Pandora itu para anggota Kabinet yang tidak mampu mengendalikan subsidi BBM sesuai dengan peruntukan. Ketiga; Lemahnya basis data terpadu yang dimiliki Pemerintah  sudah berlangsung cuku lama dan sampai sekarang pemerintah Jokowi juga belum mampu merapikan. Keempat; lemahnya pengendalian dan pengawasan distribusi BBM bersubsidi oleh Kementerian/Sektor terkait. Kelima; tidak ada masalah dengan subsidi barang. Asalkan pihak Pertamina sebagai penyalur tunggal menjalankan fungsi sosialnya sebagai BUMN. Tidak hanya mengedepankan omzet penjualan saja. Keenam; pertimbangan yang bersifat politis untuk menjaga stabilitas politik bukan saja pada masyarakat miskin tetapi kelompok menengah.

Apa yang disampaikan Sri Mulyani itu,  adalah persoalan Pemerintah yang dibuka lebar-lebar. Sama dengan persoalan harga minyak goreng yang melambung tinggi tidak bisa dikendalikan Pemerintah. Penyelesaian yang dilakukan menunjukkan semakin lemahnya peran Pemerintah yang punya wewenang “memerintah” siapa saja di Republik ini. Yakni memberikan subsidi minyak goreng yang juga menggerogoti APBN. Pada hal kita punya puluhan juta hektar kelapa sawit, CPO melimpah. Ibarat ayam mati di lumbung padi. Terkesan Pemerintah tidak berdaya menghadapi oligarki minyak goreng di negeri ini.

Yang paling mutakhir, persoalan naiknya harga telur ayam saat ini. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, mengatakan  salah satu sebab karena Pemerintah belanja bansos salah satu itemnya adalah pembelian telur ayam. Mengakibatkan stok telur langka. Suatu alasan yang diragukan, karena bansos dengan belanja item telur disamping yang lain sudah lama dilakukan Kementerian Sosial, tapi tidak ada lonjakan harga telur ayam.. Mendag menjanjikan dalam 3 minggu harga telur  kembali normal, terlalu lama Pak Menteri. Itu pun kalau benar kembali normal.

Bantalan social

Istilah bantalan social  sering muncul jika Pemerintah membuat kebijakan  untuk menaikkan BBM. Sekarang ini  bantalan social dimaksud adalah berupa bantuan social kepada kelompok masyarakat miskin dan tidak mampu yang sangat berat terpukul dengan dinaikkannya harga BBM. Angkanya sudah ditetapkan sebesar Rp. 24.17 triliun.

Ada  tiga macam bantuan yang akan diberikan oleh pemerintah. Pertama, bantalan sosial tambahan yang akan diberikan kepada 20,65 juta kelompok atau keluarga penerima manfaat (KPM) dalam bentuk bantuan langsung tunai pengalihan subsidi BBM sebesar Rp 12,4 triliun. Bantuan untuk kelompok ini dianggarkan sebesar Rp 12,4 triliun, yang akan diarahkan oleh kementerian Sosial sebesar Rp 150.000 per KPM selama empat kali, yang akan dibayarkan melalui saluran kantor POS di seluruh Indonesia.

Kedua, Presiden Joko Widodo memberikan instruksi untuk memberikan bantuan kepada 16 juta pekerja yang memiliki gaji maksimum Rp 3,5 juta per bulan. Bantuan yang akan diberikan sebesar Rp 600.000, dengan total anggarannya sebanyak Rp 9,6 triliun.

Ketiga, Presiden Jokowi meminta Pemerintah Daerah untuk melindungi daya beli masyarakat, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan diinstruksikan untuk menerbitkan aturan, yang mana aturan tersebut berisikan, sebanyak 2% dari dana transfer umum yakni Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi hasil (DBH) akan diberikan kepada rakyat dalam bentuk subsidi.

Bantuan tersebut akan diberikan kepada masyarakat yang bekerja di sektor transportasi, misalnya angkutan umum, ojek, dan juga nelayan, serta untuk bantuan perlindungan sosial tambahan.

Tiga model bantuan social itu diatas kerja bagus-bagus saja.  Tetapi ada persoalan mendasar tentang bansos ini yang sampai sekarang juga masih belum tuntas. Pertama adalah Sistem Data Terpadu untuk penerima bansos itu apakah sudah akurat sebagai  hasil verifikasi dan validasi yang dapat diandalkan. Kedusa; Koordinasi Pemda Kabupaten/Kota  dengan Kementerian Sosial yang belakangan ini sedang tidak baikbaik saja. Antara lain keterlibatan OPD Kab/Kota dalam mekanisme penyaluran.

Sepanjang persoalan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang dibangun Kemensos dulunya warisan dari TNP2K  untuk BLT pertama masa Presiden SBY, dilanjutkan untuk peserta PBI, sudah mengalamai beberapa kali perbaikan ( verifikasi dan validasi) tapi belum tuntas juga.

Temuan BPK tahun 2021, merupakan fakta yang tidak terbantahkan atas banyaknya salah sasaran bansos  yang diberikan. Demikian jug jika persoalan koordinasi dengan Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota tidak dikonsolidasikan dengan baik, akan terulang lagi temuan yang sama dari audit BPK.

Oleh karena itu Presiden Jokowi berpikir ulang dan lebih hati-hati lagi dalam meneruskan kebijakan strategis yang menyedot banyak anggaran, sedangkan kemampuan fiscal sudah lampu merah, dan terlalu banyak pinjaman juga akan bikin mules Ibu Menkeu, bagaimana cara membayarnya.

Persoalan PIS jika dihadapkan dengan besarnya subsidi, dan pemberian bantalan social, memang merupakan kekuatan yang saling tarik menarik.Jika salah satu ada yang putus, bisa oleng kapal yang bernama Republik Indonesia  dengan Nakhodanya Pak Jokowi.

Cibubur, 2 September 2023

*) Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top