Ketenagakerjaan

JHT yang Tinggal “Nama”

FGD-PMK-1

Saya tergelitik untuk memberikan opini saya terkait Jaminan Hari Tua yang diamanatkan oleh UU SJSN tahun 2004, dan UU BPJS 2011, setelah membaca media online Beritasatu tanggal 8 September 2016. Saya memerlukan waktu seminggu untuk menimbang-nimbang opini ini atas  judul berita di Online tersbebut yang berbunyi, Menaker: Yang Tak Setuju dengan PP 60/2015 Tentang JHT Sulahkan  Uji Materi ke MA. Saya mengenal baik beliau ( Bapak M.Hanif Dhakiri)  sewaktu saya masih sebagai Ketua DJSN tahun lalu, dan beberapa kali diskusi dengan beliau tentang upaya keras untuk melahirkan Peraturan Pemerintah yang mengatur  implementasi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun (JP), yang perintah UU BPJS harus sudah selesai tahun 2014, tetapi  baru selesai Juni 2015, Alhamdulillah.

Untuk JHT , lahirlah PP 46 /2015, dan karena diprotes dengan “kencang” oleh ribuan buruh, beberapa minggu kemudian atas perintah Presiden Jokowi, diminta agar Menaker merubah masa iur yang  menurut UU BPJS sekurang-kurangnya 10 tahun JHT boleh diambil sebahagian, menjadi tidak ada masa minimalnya mengiur. Lahirlah PP  60/2015 sebagai PP perobahan dari  PP 46/2015, dan secara teknis  diatur dalam Permenaker Nomor 19 tahun 2015.

Intinya memang PP 60/2015, dan Permenaker Nomor  19/2015, tidak sesuai atau lebih tegasnya bertentangan dengan UU SJSN pada pasal 35 dan Pasal 37. UU SJSN dengan jelas dan tidak ada penafsiran lain menyebutkan bahwa peserta yang mendapat JHT, adalah jika dalam  keadaan : memasuki usia pension, mengalami  cacat total tetap, atau meninggal dunia. Dan JHT diberikan dalam bentuk uang tunai. Dalam keadaan tertentu peserta dapat mengambil sebahagian akumulasi JHT nya  untuk kepentingan peserta dan juga harus diberikan dalam bentuk uang tunai. UU SJSN tidak ada menyebutkan JHT boleh diambil jika peserta kena PHK dan masa iur kurang dari 10 tahun. Terkait PHK , Negara sudah menjamin pekerja yang kena PHK , diberikan pesangon sebagai tercantum dalam  UU No. 13 tahun 2003, Pasal 156, ayat 1 menyebutkan,” Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”

JHT diberikan kepada peserta yang sudah memasuki masa tua, sehingga kualias hidupnya tidak menurun, setidak-tidaknya dapat bertahan sampai meninggal dunia. Maka itu JHT di gandengkan dengan JP (Jaminan Pensiun), yang diberikan setiap bulan, sedangkan JHT sekaligus dalam bentuk uang tunai. Kalau JHT diberikan kapan saja, itu namanya bukan “Jaminan Hari Tua”. Bagi pekerja yang sewaktu-waktu kena PHK, pengusaha harus memberikan Pesangon atau uang penghargaan masa kerja, bukan mengambil uang peserta JHT yang diharapkan untuk Jaminan Hari Tua. Memang untuk mendapagtkan Pesangon itu berbelit-belit, lebih mudah mendapatkan JHT, disitulah seharusnya Pemerintah berpihak yaitu taat dan patuh pada perundang-undangan yang berlaku.

Ungkapan Pak Dhakiri, Menaker, untuk silahkan kepada masyarakat mengjukan uji materi ke MA, terkait PP 60/2015, sangat saya sayangkan. Sebab sebagai pembantu Presiden, ungkapan tersebut tentu membuat Presiden tidak nyaman, sebab yang menanda tangani PP tersebut adalah Presiden Jokowi. Apalagi yang mengajukan perubahan PP 60/2015, adalah DJSN, sebagai lembaga Negara  yang tercantum dalam UU SJSN, dengan tugasnya merumuskan kebijakan umum dn mensinkronisasi kebijakan penyelenggaraan jaminan social. Kan menjadi ironi jika DJSN mengajukan uji materi ke MA, padahal DJSN bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Sewaktu persoalan PP 46/2015  diributkan juli – agustus 2015 yang lalu,  saya sudah mengajukan pada Kemenaker dan stakeholder terkait, solusi jalan tengah yaitu adanya waktu transisi untuk melaksanakan PP 46/2015, antara 6 bulan sampai 1 tahun, dan selama transisi tersebut masih berlaku / berpedoman UU No. 3/92 tentang Jamsostek, yaitu tetap seperti waktu itu yaitu selama 5 tahun mengiur dapat mengambil JHT jika kena PHK. Pada periode itu dilakukan advokasi dan sosialisasi kepada para pekerja melalui organisasi – organisasi buruh yang ada. Tapi tiba-tiba keluarlah PP 60 /2015 dan khususnya Permenaker no. 19/2015 yang dihasilkan bahkan  tidak mencantumkan lagi masa iurnya.

Saran saya pada Pak Menaker, agar lebih arif dan bijaksana dalam menyelesaikan persoalan ini, ajak DJSN duduk bersama sebagai representasi pekerja, pemberi kerja, ahli jaminan social dan Pemerintah. Jadi posisi DJSN dapat menjad mitra Menaker dalam menyelsaikan masaalah yang tidak melanggar undang-undang dan tidak merugikan pekerja dan pemberi kerja. Semoga Pak Hanif tersentuh hati nuraninya. Amiin YRA.

Cibubur, 19 September 2016

Chazali H., Situmorang.

Ketua DJSN 2011 -2015 / Direktur Social Security Development Institute (SSDI)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top