Ketenagakerjaan

Asuransi Pengangguran

Implementasi Jaminan Sosial Dinamika dan Tantangan ke Depan

Oleh : Amri Yusuf

Dalam beberapa minggu ini, masyarakat pekerja dan para pihak yang memiliki kepedulian terhadap program jaminan sosial disuguhi berita tentang perbedaan pandangan antara Dewan Jaminan Sosial Nasional dan Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri. DJSN mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo agar mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No 46/2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua. Sikap DJSN mendapat dukungan dari BPJS Ketenagakerjaan.

Dalam pandangan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, PP No 60/2015 yang membolehkan pekerja yang berhenti bekerja bisa langsung mengambil jaminan hari tua (JHT)-nya bertentangan dengan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU No 40/2004 Pasal 35 Ayat (1) mengatur bahwa JHT hanya bisa diambil peserta atau ahli warisnya apabila memasuki usia pensiun, mengalami cacat total, atau meninggal dunia. Sementara PP No 60/ 2015 Pasal 26 menyatakan, manfaat JHT wajib dibayarkan kepada peserta apabila mencapai usia pensiun. Maksud dari kata “usia pensiun” ditafsirkan dan dijelaskan dalam penjelasan PP itu bahwa yang dimaksud dengan “mencapai usia pensiun” termasuk peserta yang berhenti bekerja.

Berdasarkan amanat PP No 60/2015 tersebut, maka Menaker M Hanif Dhakiri berijtihad dengan menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 19 Tahun 2015, di mana dalam aturan tersebut dinyatakan pembayaran manfaat JHT dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melalui “masa tunggu satu bulan” terhitung sejak surat keterangan pengunduran diri dari perusahaan diterbitkan. Sementara untuk pemutusan hubungan kerja (PHK) terhitung sejak tanggal PHK. Argumentasi DJSN mengapa PP No 60/ 2015 harus segera dicabut dan direvisi karena ketentuan tersebut; bertentangan dengan UU No 40/2004, tidak sesuai dengan filosofi program JHT, tidak mendidik pekerja untuk menyiapkan masa depannya, dan berpotensi mengganggu perekonomian nasional karena dana JHT yang bersifat jangka panjang (memperkuat tabungan nasional) harus dicairkan dalam jangka pendek.

Bagi Menaker M Hanif Dhakiri, permintaan DJSN tersebut sulit untuk dipenuhi. Bahkan, Menaker menantang, jika ada pihak-pihak yang tidak setuju dan kurang berkenan dengan PP No 60/2015, silakan untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Kita bisa menduga setidaknya ada tiga alasan mengapa Menaker bersikap seperti itu.

Pertama, beleid pemerintah yang tertuang dalam PP No 60/2015 dan Permenaker No 19/2015 dianggap cukup berhasil meredam aksi dan protes pekerja, serikat pekerja, dan sejumlah anggota DPR yang kala itu kurang puas dan tak setuju dengan PP No 46/2015 yang dianggap tidak pro ke nasib buruh meski substansinya sesuai dengan UU No 40/2004. Kedua, kekhawatiran bahwa PP No 60/ 2015 akan mengganggu perekonomian nasional, setidaknya dalam jangka pendek, tidak terbukti. Ketiga, hingga saat ini tidak ada satu pun anggota DPR, pekerja, atau serikat pekerja yang mempersoalkan PP No 60/2015.

Pesangon yang tidak efektif

Apabila ditelisik lebih dalam, sebenarnya akar persoalan mengapa PP No 60/2015 terbit dan terlihat tidak sejalan dengan filosofi program JHT atau bertentangan dengan UU No 40/2004 karena buruh faktanya tidak memiliki katup pengaman finansial jika mereka mengalami PHK. Program pesangon sebagaimana yang diatur UU No 13/2003 tak efektif dan tidak bisa menjadi andalan buruh untuk memenuhi kebutuhan ekonomi jangka pendek mereka pasca PHK.

Program pesangon (severance benefit) sejatinya bentuk lain dari program jaminan sosial yang didesain pemerintah untuk memberi perlindungan kesejahteraan bagi pekerja dan menjadi katup pengaman finansial jika buruh mengalami PHK. Hak pesangon bukan hanya harus dibayarkan ketika pekerja diberhentikan sebelum memasuki usia pensiun, melainkan juga wajib diberikan kepada mereka yang di-PHK karena usia pensiun tetapi tak diikutkan dalam program pensiun. Faktanya, implementasi program pesangon tak sesuai harapan.

Kelemahan paling fundamental UU No 13/2003, dan ini faktor penyebab mengapa program itu tak efektif, adalah karena UU ini tidak mengatur secara tegas dan jelas bagaimana mekanisme pemberi kerja mempersiapkan dana untuk membayar pesangon atau imbalan PHK. Akibatnya, terdapat risiko ketidakpastian bagi kedua belah pihak. Pekerja menjadi rentan dan tak terjamin hak-haknya. Pemberi kerja memiliki peluang atau pilihan untuk tak mempersiapkan diri membayar pesangon. Kalaupun ada sebagian pemberi kerja membentuk cadangan imbalan PHK, itu lebih karena ada kewajiban memenuhi standar laporan keuangan agar mereka bisa mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari auditor eksternal.

Apakah dana cadangan pesangon itu digunakan atau tidak, pekerja tak memiliki posisi tawar dan akses untuk mengontrolnya. Belum lagi kalau dana cadangan ini kemudian digunakan untuk kepentingan- kepentingan korporasi lain, seperti ekspansi bisnis atau belanja aktiva tetap, sehingga pada saat dibutuhkan untuk membayar pesangon, pemberi kerja tak memiliki dana kas cukup. Pengetahuan buruh yang minim terkait hukum pesangon dan bisnis menyebabkan mereka
tak berdaya untuk menuntut hak pesangon tersebut. Oleh karena itu, tatkala mereka mengalami PHK, program JHT menjadi alternatif pengaman finansial.

Untuk menghentikan polemik soal JHT dan menemukan solusi yang relatif permanen terkait hak-hak buruh saat menghadapi PHK dan sekaligus mengembalikan fungsi JHT sesuai filosofinya, ada dua skenario yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, dalam jangka pendek mekanisme pengelolaan program pesangon yang selama ini berbasis itikad baik korporasi (corporate based intention) yang akuntabilitasnya kurang jelas perlu diubah menjadi berbasis pendanaan penuh (full funded) dengan sistem pooling fund serta dikelola lembaga yang dipercaya pemerintah untuk itu, misal BPJS Ketenagakerjaan. Pengelolaan program ini esensinya mirip program JHT dan pensiun yang kini dikelola BPJS Ketenagakerjaan.

Untuk mengeksekusi ide ini, pemerintah tidak perlu mengamandemen UU No 13/2003, tetapi cukup menerbitkan PP tentang sistem pengelolaan pesangon sehingga menjadi lebih tertib dan efektif. Sejak UU No 13/2003 diberlakukan, isu ini luput dari perhatian dan belum diatur sama sekali.

Kedua, dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah perlu segera mengembangkan program asuransi pengangguran untuk mengonversi secara total program pesangon sehingga sejalan dengan konvensi ILO 102 tahun 1952. Perkembangan ekonomi Indonesia yang semakin solid dan terus bertumbuh perlu ditopang sistem jaminan sosial yang lebih solid dan komprehensif. Melengkapi program JKN, program asuransi pengangguran ini sudah sangat dibutuhkan dalam kondisi perekonomian yang sudah memasuki era industrialisasi, di mana tenaga kerja semakin besar ketergantungannya pada upah yang mereka terima. Program asuransi pengangguran sudah diselenggarakan banyak negara di Eropa dan Asia Pasifik yang ekonominya sudah memasuki era industri. Australia, Tiongkok, Bahrain, Jepang, India, Iran, Kuwait bahkan Myanmar, Vietnam, dan Thailand adalah contoh negara yang sudah menyelenggarakan.

Esensi program asuransi pengangguran

Dalam perspektif jaminan sosial, program pesangon sebenarnya merupakan cikal bakal atau bentuk yang paling sederhana dari program asuransi pengangguran. Bagi negara-negara yang belum punya pengalaman dalam penyelenggaraan program asuransi pengangguran dan mekanisme pasar kerjanya belum efektif, program pesangon adalah sarana belajar dan langkah awal untuk menyelenggarakan asuransi pengangguran.

Harus diakui bahwa dari semua program jaminan sosial, program asuransi pengangguran merupakan program yang paling sukar pelaksanaannya, baik dari segi organisasi, administrasi, maupun operasionalnya. Program ini akan sulit sekali diselenggarakan tanpa adanya mekanisme pasar kerja yang efektif. Mekanisme itu berupa hadirnya pusat informasi tentang lowongan kerja, kebutuhan tenaga kerja, pendaftaran pencari kerja, dan administrasi penempatan tenaga kerja yang harus diselenggarakan atau dikelola oleh suatu instansi khusus untuk itu.

Karena sifat dan sumber penyebab pengangguran bisa sangat beragam, program asuransi pengangguran secara esensial biasanya hanya membatasi pertanggungannya hanya pada jenis pertanggungan tertentu. Sebagaimana diketahui, dari segi sosial dan ekonomis, pengangguran dapat dibedakan dalam tiga kelompok utama, yaitu pengangguran umum (aggregate unemployment), pengangguran struktural (structural unemployment), dan pengangguran perorangan (personal unemployment). Karena masalah pengangguran ini cukup kompleks, program asuransi pengangguran yang pendanaannya dibiayai dari iuran (pekerja, pemberi kerja, dan pemerintah) dan memberikan jaminan tertentu lazimnya hanya dapat menanggulangi pengangguran perorangan serta beberapa jenis pengangguran struktural, seperti pengangguran teknologi, sekuler, dan regional.

Jenis pengangguran yang ditanggung dan memenuhi syarat untuk memperoleh jaminan dalam program asuransi pengangguran perlu diberi definisi yang tepat untuk mencegah perselisihan dan kesalahpahaman. Untuk itu, kita perlu merujuk pada beberapa konvensi ILO yang terkait hal tersebut, antara lain Unemployment Provision Convention 1934, Income Security Recommendation 1944, dan Social Security (Minimum Standards) Convention 1952, yang menyebutkan bahwa definisi dan kualifikasi pengangguran yang ditanggung cakupannya meliputi: (1) pengangguran itu harus tidak dikehendaki (involuntary unemployment), (2) pengangguran harus bersifat sementara (temporary unemployment), (3) penganggur, yang akan mendapat benefit ini, harus telah mempunyai pekerjaan sebagai sumber penghidupannya (bukan yang untuk baru mau bekerja), (4) penganggur tersebut harus tetap mampu bekerja, (5) penganggur harus tetap bersedia untuk bekerja kembali, dan (6) penganggur harus bersedia menerima pekerjaan yang cocok (suitable employment).
Program ini biasanya memberikan dua jenis benefit, yaitu tunjangan pengangguran (unemployment benefit) dan pelayanan kerja (employment service) berupa penempatan dan pelatihan kerja. Untuk benefit kedua diperlukan pusat informasi pasar tenaga kerja.

Mencermati perkembangan polemik program JHT yang tidak kunjung menemukan titik temu, maka dua skenario yang diusulkan di atas perlu menjadi perhatian para pihak. Bagi pemerintah, DJSN, BPJS Ketenagakerjaan, dan semua elemen aktivis buruh mencari solusi kebijakan yang permanen dan berdampak pada kesejahteraan buruh dalam jangka panjang adalah mutlak. Gagasan tentang asuransi pengangguran patut dipertimbangkan untuk segera diimplementasikan di Indonesia. Diskusi lebih intens terkait syarat peserta, besaran iuran, dan besaran benefit harus segera dimulai. Di Indonesia, saat ini, menurut Badan Pusat Statistik, ada 7,02 juta jiwa (5,5 persen) yang menganggur yang memerlukan proteksi negara.

 Amri Yusuf, Mantan Direksi BPJS, dan pemerhati masalah Jaminan Sosial
 Dimuat harian Kompas 13 Oktober 2016

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top