General Issue

Testing The Water, Penundaan Pemilu 2014

fullsizerender-10

 

By: Chazali H. Situmorang *)

Lemparan isu penundaan Pemilu 2024 oleh Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, bukanlah sekedar melemparkan isu yang bersifat iseng. Penulis tidak mendapatkan informasi akurat apakah lemparan gagasan MI ( Muhaimin Iskandar), merupakan kebijakan resmi partai yang dibahas dalam rapat pleno partai, atau gagasan yang keluar dari benak MI, dan pengurus lainnya sakit gigi untuk membantah nya.

Bagaimana respon partai pendukung Pemerintah lainnya? Sementara ini yang tegas menolak isu itu adalah PDI-P yang disampaikan oleh Ibu Megawati Ketua Umum PDI-P,  dan dipertegas oleh Ketua PDI-P Puan Maharani Ketua DPR-RI, anak perempuan Ibu Mega, pada hari ini ( 2 Maret 2022) dalam suatu pertemuan kader partai “Pemilu tetap dilaksanakan 14 Februari 2024, karena sudah hasil keputusan Pemerintah, DPR dan KPU”. Suatu jawaban  menunjukkan kelasnya sebagai Ketua Partai dan Ketua DPR.

Yang menarik Partai PAN,  mendukung gagasan PKB untuk penundaan Pemilu. Sebagai partai yang melamar menjadi partai pendukung Pemerintah, tentu punya target-target politik yang belum tercapai dan belum tentu sama dengan PKB. Berita yang berkembang Ketua Umum PAN Zulhas dipanggil oleh salah satu menteri senior untuk menyuarakan penundaan Pemilu. Setelah heboh di media  berita itu dibantah oleh Jubir menteri tersebut.

Sikap menolak secara tegas dan terbuka disampaikan juga oleh Partai Nasdem, Partai Demokrat. Partai Golkar masih belum jelas. Gerindera, Prabowo Subianto belum beri komentar. Dari partai oposisi PKS sudah jelas  menolak. Sudah lama mereka puasa berkuasa.

Kita tidak usah membahas berbagai alasan bagi yang menginginkan penundaan. Sakit kepala  memikirkan argumentasi mereka.  Karena tidak berlandaskan Konstitusi yang harus dijunjung tinggi sebagai warga negara Indonesia.

Penulis mencoba melihatnya dari aspek di belakang pentas dalam suatu teater kehidupan penyelenggaraan negara/pelayanan publik. Sering terdengar bagaimana pertarungan di depan panggung  berbeda dengan di belakang panggung. Di depan  panggung mereka bertengkar habis-habisan, tetapi boleh jadi di belakang panggung mereka berpelukan. Begitulah negara sering dikelola di sebagian negara. Apa yang menyatukan mereka di belakang panggung yaitu kepentingan.

Soal isu yang dilontarkan MI (Ketum PKB), merupakan upaya untuk melihat konfigurasi politik dalam situasi yang mulai panas turbin mesin politik atau sering disebut dengan istilah Testing The Water. Kecerdikan MI ini juga terkesan nyeleneh, karena  isu dilemparkan saat tanggal Pemilu sudah ditetapkan.

Boleh jadi Presiden Jokowi tidak dibisiki MI untuk melontarkan isu tersebut. Karena mungkin juga sudah mengukur bagaimana sikap Jokowi yang pernah mengatakan tidak ingin 3 periode.  Kalau lapangan becek, banyak penolakan, dan mendapatkan perlawanan dari elemen masyarakat, bagi MI tidak sulit untuk berkelit dan mencabut gagasan itu. Berkelit merupakan jurus keterampilan yang dimiliki MI dan tidak dapat dilawan oleh aktivis PKB lainnya.

Pertanyaannya, mengapa Jokowi tidak merespon?

Bagi Presiden Jokowi, lemparan gagasan penundaan Pemilu oleh MI,  mungkin saja tidak merugikan Jokowi maupun pemerintahannya. Sebab sikap Jokowi sudah pernah disampaikan jauh sebelum isu itu, untuk tidak bersedia 3 periode.

Persoalannya, bukan 3 periode tetapi dipelintir ( dibelokkan) menjadi penundaan Pemilu 1 atau 2 tahun. Sepertinya diingatkan dengan cerita Abu Nawas (seribu satu malam).

Bagi Ketum Partai pendukung Pemerintah yang duduk di kabinet, masih sakit gigi berkomentar. Menunggu situasi dan bahasa isyarat yang diberikan Presiden.

Jangan sampai terjadi, sikap Presiden Jokowi menolak penundaan, tetapi para Ketum partai di kabinet mendukung penundaan Pemilu atau sebaliknya. Terkesan anggota kabinet tidak garis lurus dengan Presidennya. .

Sampai sekarang, yang merespon di media televisi Staf Khusus Kantor Mensesneg  yang menegaskan bahwa Pemerintah saat ini sedang focus menangani perekonomian dan Pandemi Covid-19. Kita belum melihat tanda-tanda Presiden akan menjawab isu itu.

Kenapa Pemerintah tidak dirugikan? Karena isu dimaksud, sudah menjadi perdebatan di kalangan elite politik, akademisi, tetapi belum berkembang luas ditengah masyarakat. Kita tidak tahu bagaimana kedepannya.

Isu penundaan Pemilu, sudah mampu mengalihkan perhatian para elite politik, akademisi, aktivis, dari kondisi real yang dihadapi masyarakat.

Apa itu? Naiknya harga minyak goreng, jika ada yang murah sesuai dengan tarif Pemerintah (Rp.14.000/liter) jumlah sangat terbatas. Lihat saja di Indomaret, didrop 1 atau 2 karton, dalam waktu 3 jam sudah ludes diserbu. Kapan datang lagi? Tiga hari kemudian. Bayangkan!

Kebutuhan pokok lainnya yang naik, tempe, tahu, gula pasir, daging, gas, BBM. Hanya beras yang masih stabil dan tersedia di toko-toko sembako.

Apa implikasinya? Akan terjadi penjualan minyak goreng oplosan yang dapat merusak jaringan tubuh manusia. Pengeluaran  kebutuhan sehari-hari meningkat, sedangkan pendapat rumah tangga tidak bertambah bahkan cenderung stagnan.

Memang kalau kita lihat di televisi dan media sosial, isu penundaan Pemilu mulai ramai dibicarakan. Dan hampir dapat menenggelamkan jeritan emak-emak naiknya sembako. Apalagi menjelang puasa dan Idul Fithri.

Kalau isu penundaan Pemilu dapat menenggelamkan isu kenaikan bahan pokok maka isu penundaan Pemilu by design sudah menunjukkan hasilnya. Presiden Jokowi boleh jadi akan tetap diam, tidak memberikan komentar. Mungkin dalam hati Presiden, biarlah para politisi  itu asyik berdebat soal Pemilu. Pemerintah sedang repot mengatasi dan mengendalikan  kenaikan harga sembako yang sedang dimainkan oleh oligarki.

Penulis mencermati, Indonesia sedang berada dalam situasi “ yang pasti adalah ketidak pastian”. Benarkah?

*) Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS/Tim Pakar Alimbas TV

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top