General Issue

TEPATKAH MIRAS BERALKOHOL, SEBAGAI KEARIFAN LOKAL?

OLEH: Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc /Pemerhati Kebijakan Publik-Dosen FISIP UNAS

Presiden Jokowi sudah mencabut Lampiran III, pada urutan nomor 31 dan 32, Perpres 10/2021, Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal  pada 2 Maret 2021 kemarin, dalam suatu pernyataan lisan via video.

Tentunya, Presiden akan menindaklanjuti pernyataan tersebut, dengan menerbitkan Perpres pengganti yang menyatakan mencabut substansi yang tercantum dalam Lampiran III, urutan 31, dan 32 dengan merujuk pasal 6 ayat (1) dan (2)  yang mencakup investasi miras beralkohol, dan miras beralkohol: anggur. Di 4 propinsi NTT, Bali, Sulut dan Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan  setempat.

Apakah tepat pertimbangan budaya dan kearifan setempat menjadi dasar pertimbangan terbitnyaa Perpres tersebut,  seperti yang disampaikan oleh Kepala BKPM Saudara Bahlil Lahadalia, di berbagai media, sesudah Presiden mencabut Perpres 10/2021.

Kita simak apa yang dikatakan Bahlil: “Salah satu pertimbangan pemikiran kenapa ini (izin investasi dibuka) untuk di beberapa provinsi itu saja karena memang di daerah itu ada kearifan lokal,” katanya.

“Jadi dasar pertimbangannya itu adalah memperhatikan masukan dari pemerintah daerah dan masyarakat setempat terhadap kearifan lokal,” sambungnya, seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara, Rabu, 3 Maret 2021.

Dicontohkan Bahlil minuman khas yang mengandung alkohol di beberapa wilayah memiliki nilai ekonomi tinggi tetapi disayangkan lantaran sulit terdorong menjadi industri besar.

Di Bali, di Sulawesi Utara memiliki minuman beralkohol khas daerahnya, begitupun di NTT terdapat minuman beralkohol bernama Sopi yang telah dikenal luas masyarakat setempat dan luar daerah.

“Tetapi itu (Sopi) kan tidak bisa dimanfaatkan karena dilarang. Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut dan juga bisa diolah untuk produk ekspor maka itu dilakukan (dibuka izin investasinya),” kata Bahlil Lahadalia.

Kambing hitam bernama Kearifan Lokal

Dari pernyataan Kepala BKPM itu, tersurat dan tersirat bahwa investasi miras beralkohol itu merupakan keinginan dari keempat propinsi itu. Bukan inisiatip pemerintah pusat.

Pernyataan itu tidak bijak disampaikan oleh pejabat Peneyelenggara Negara,  dan memojokkan pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Yang menerbitkan Perpres Pemerintah Pusat, kenapa masyarakat daerah atas nama budaya dan kearifan local menjadi kambing hitam?.

Pemerintah Pusat itu ibarat helicopter view, yang melihat persoalan dan masalah negara ini secara utuh dan komprehensif. Dalam hal ini Presiden sudah mendelegasikan tugas dan tanggung jawab itu kepada Kepala BKPM dengan Koordinasi Menko Marves.

Apakah BKPM sudah mendalami apa itu budaya, dan kearifan local masyarakat setempat. Apakah minuman keras dan beralkohol masuk katagori kearifan lokal?. Ciri kearifan lokal adalah sesuatu kearifan yang memberikan kesejahteraan masyarakat setempat. Sudah kah minuman beralkohol itu lebih banyak memberikan kesejahteraan atau sebaliknya.

Gubernur Papua sampai menerbitkan Perda melarang miral beralkohol, demikian Majelis Rakyat Papua, menyatakan hal yang sama.  Karena masyarakat Papua banyak kecanduan alcohol yang merusak Kesehatan mereka, memiskinkan , kerawanan social dan memperpendek usia harapan hidup. Sehingga ada tokoh masyarakat Papua yang berkomentar “ Miras beralkohol dapat menghabiskan rakyat asli Papua”. Suatu pemikiran yang terkesan frustasi.

Sudah kah BKPM mencermati situasi dan perkembangan situasi masyarakat NTT yang miskin. Dalam kemiskinan itu saya melihat sendiri, di sepanjang Naibonat, Kab.TTU, TTS, Atembua, di dapur rumah yang sangat sederhana beratus botol kosong minuman keras bertumpuk-tumpuk, yang isinya sudah ditenggak penduduk miskin itu. Saya sangat sedih melihat situasi itu. Sepertinya minuman itu merupakan solusi atas kemiskinan yang mereka hadapi. Miras beralkohol memberikan mereka mimpi, dari pada kenyataan  kehidupan yang  pahit.

Di Sulawesi Utara ada miras cap tikus. Coba Tanya ibu-ibu di sana, bagaimana perasaan mereka menghadapi suami dan anak  mereka mabuk miras cap tikus?. Apakah itu kearifan lokal.

Hakekatnya kearifan lokal itu sesuatu yang baik. Sesuatu yang menyatukan budaya dengan alam setempat. Sehingga terbangun keserasian dan keseimbangan alam. Janganlah di stigmanisasi kearifan lokal itu sesuatu yang dapat merusak fisik dan mental masyarakat.

Tidak ada kearifan lokal yang sifatnya merusak masyarakat dan budayanya sendiri. Apalagi keenam agama yang ada di Indonesia mengharamkan miras beralkohol, dengan berbagai pertimbangan masing-masing agama.

Masyarakat dunia juga mengingatkan, dan  WHO melaporkan bahwa hampir 6 persen dari semua kematian di seluruh dunia disebabkan oleh konsumsi alkohol. ( data 2012), dan tahun—tahun berikutnya   bahaya alkohol tak dapat dibendung lagi. Laporan teranyar WHO melaporkan sebanyak 3 juta orang di dunia meninggal akibat konsumsi alkohol pada 2016 lalu.

Angka itu setara dengan 1 dari 20 kematian di dunia disebabkan oleh konsumsi alkohol. Lebih dari 75 persen kematian akibat alkohol terjadi pada pria.

Laporan itu menyebutkan, sebagian besar kematian disebabkan oleh insiden kecelakaan sebanyak 28 persen. Posisi itu diikuti oleh 21 persen kematian akibat gangguan pencernaan dan 19 persen oleh gangguan jantung. Di luar itu, infeksi, kanker, dan gangguan mental menjadi pemicu kematian yang diakibatkan alkohol.

Alkohol mempengaruhi tubuh kita dengan banyak cara. Beberapa efek alkohol pada tubuh bisa bersifat langsung dan mungkin hanya bertahan sebentar. Sementara beberapa efek lainnya mungkin tidak begitu tampak secara langsung.

Peminum  jangan senang dulu. Efek ini umumnya akan terakumulasi dari waktu ke waktu hingga pada saatnya akan merusak kesehatan fisik, mental, bahkan kualitas hidup manusia.

Soal efek alcohol ( etanol) sangat mudah kita mendapatkan informasinya di Google, tidak perlu lagi dijelaskan dalam tulisan ini.

Oleh karena itu, kita sangat sedih jika Penyelenggara Negara itu dalam memberikan masukan kepada Presiden untuk menerbitkan regulasi, menggunakan kacamata kuda. Asalkan pemodal senang. Investor luar negeri maupun dalam negeri happy, persoalan lainnya dapat diabaikan.

Sebagai Kepala BKPM, lebih bijak jika tidak mengungkapkan alasan kearifan lokal dan budaya setempat sebagai pertimbangan  terbitnya Lampiran III nomor urut 31 dan 32, karena mengundang polemik dimasyarakat dan konflik antar daerah.

Cukuplah dikutip saja pertimbangan Pak Jokowi menyebutkan alasan pencabutan itu adalah karena desakan MUI, NU, MUhammadiyah, tokoh agama, masyarakat dan pemerintah daerah. Anda adalah intelektual muda muslim dari Timur yang dipercaya Presiden sebagai Kepala BKPM. Jaga amanah itu dengan baik.

 Medan, 5 Maret 2021

 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top