General Issue

Robohnya Pilar Pembangunan Kessos

wali-kota-surabaya-tri-rismaharini-foto-antaraho-humas-pemkot-surabaya-96 (1)

Dr. apt. Chazali H. Situmorang, M.Sc/Sekjen Kemensos 2007-2010;Dosen FISIP UNAS

Sepanjang berdirinya Departemen Sosial di awal Kemerdekaan, sampai dengan dibubarkan oleh Gus Dur,  dan kemudian dihidupkan kembali oleh Ibu Megawati 21 tahun yang lalu, tugas Kementerian Sosial tidak lepas dari mengurus fakir miskin, PMKS termasuk semua jenis disabilitas.

Oleh Karena itu di Kementerian Sosial  banyak berkiprah pekerja sosial ( Social Worker), sebagai suatu profesi tersendiri, dan dalam struktur kepegawaian dimasukkan dalam jabatan fungsional pekerja sosial, khususnya di panti-panti sosial dalam berbagai jenis disabilitas. Hakekatnya tupoksi Kemensos itu pada upaya rehabilitasi sosial para penyandang disabilitas. Diikuti dengan penanganan kemiskinan, bantuan sosial, dan pemberdayaan sosial.

Di era SBY, ada dua UU dihasilkan DPR dengan Pemerintah yaitu UU Tentang Kesejahteraan Sosial, dan UU Tentang Penanganan Fakir Miskin.

Tulisan ini membahas tentang robohnya salah satu pilar Pembangunan Kesejahteraan Sosial, yaitu pilar Penanganan Fakir Miskin, diantara pilar Pemberdayaan Sosial, Rehabilitasi Sosial serta Perlindungan dan Jaminan Sosial.

Robohnya pilar Penanganan Fakir Miskin dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial merupakan musibah besar yang dihadapi Kemensos di era Presiden Jokowi. Sedihnya musibah ini terjadi menurut Mensos Risma adalah karena Ditjen PFM itu tidak berprestasi.

Kita kutip ucapan Mensos di CNN Indonesia Rabu, 29 Dec 2021 15:46 WIB– Menteri Sosial Tri Rismaharini mengatakan pihaknya memang mengurangi jajaran Kementerian Sosial yang dipimpinnya demi efisiensi tugas dan penyederhanaan. Hal itu ia sampaikan merespons penghapusan Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin (Ditjen PFM) dalam struktural Kementerian Sosial. Risma menjelaskan pihaknya bakal melakukan “perampingan” struktur khususnya untuk bagian yang dinilai tidak berprestasi.

Kalau tidak berprestasi ya aku kurangi, banyak sekali yang aku kurangi bukan hanya PFM,” kata Risma di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Rabu (29/12).

Tidak berprestasi, apa indikator yang digunakan tidak jelas. Apakah sudah melalui proses evaluasi juga tidak ada informasi itu.  Apakah Ditjen lain juga berprestasi? Apakah korupsi Bansos itu ada di Ditjen PFM? Ternyata bukan, kasusnya di Ditjen Linjamsos. Apakah Ditjen Yanrehsos dan Ditjen Pemberdayaan Sosial baik-baik saja? Saya pastikan belum ada evaluasi yang menyeluruh. Langsung dirobohkan pilar Ditjen PFM. Ini musibah yang harus dipertanggungjawabkan  Risma pada waktunya kelak.

Landasan yuridis yang dipakai untuk merobohkan pilar Penanganan Fakir Miskin adalah Perpres 110/2021, Tentang Kementerian Sosial, pada pasal 6 menyebutkan ada 8 jabatan struktural (eselon 1), yaitu: a. Sekretariat Jenderal;b. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial;c. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial; d. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial; e. Inspektorat Jenderal; f. Staf Ahli Bidang Perubahan dan Dinamika Sosial; g. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesejahteraan Sosial; dan h. Staf Ahli Bidang Aksesibilitas Sosial.

Dalam Perpres ini jabatan struktural (eselon 1) Direktorat Jenderal PFM dan Badan Pendidikan, Penelitian, dan Penyuluhan Sosial dihapus.

Kita lihat Perpres sebelumnya yaitu Perpres 46 Tahun 2015 Tentang Kementerian Sosial. Pada   Pasal 4, Kementerian Sosial terdiri atas: a. Sekretariat Jenderal; b. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial; c. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial; d. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial; e. Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin; f. Inspektorat Jenderal; g. Badan Pendidikan, Penelitian, dan Penyuluhan Sosial; h. Staf Ahli Bidang Perubahan dan Dinamika Sosial; i. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesejahteraan Sosial; dan j. Staf Ahli Bidang Aksesibilitas Sosial.

Di Keppres 46/2015 ini ada 10 jabatan struktural (eselon 1), yang kemudian dalam Keppres 110/2021, menyusut dua unit menjadi 8 unit, sebagaimana telah dijelaskan diatas.

Penghapusan Badiklit, sudah menjadi kebijakan umum untuk semua kementerian, karena fungsi penelitian di merger dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Namun penghapusan struktur organisasi level eselon 1, (Ditjen PFM), menyisakan pertanyaan yang perlu dicari jawabannya. Walaupun jawaban sekenanya  tidak  masuk dalam logika dan akal sehat masyarakat,  telah disampaikan Mensos Risma. Kenapa?

Keberadaan Program Penanganan Fakir Miskin  atau Penanggulangan Kemiskinan itu merupakan amanat UU Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial, dalam pasal 5 ayat (2) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial: a. kemiskinan; b. keterlantaran; c. kecacatan; d. keterpencilan; e. ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; f. korban bencana; dan/atau g. korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

Persoalan kemiskinan merupakan urutan pertama yang perlu ditangani. Siapa yang menangani? Lihat Pasal 1 angka 15. Menyebutkan menteri yang dimaksudkan adalah menteri yang membidangi urusan sosial.

Persoalan kemiskinan bukan saja tercantum dalam pasal 5, tetapi lihat pasal berikutnya, bahkan diatur dalam Bab khusus yaitu Bab IV Penanggulangan Kemiskinan,  yang substansinya banyak diuraikan  mulai pasal 19 sampai dengan pasal 21, dan pasal 22 menyebutkan:  Pelaksanaan penanggulangan kemiskinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 menjadi tanggung jawab Menteri ( Menteri Sosial sesuai Pasal 1 angka 15).

Kita lihat pasal 23, berbunyi: Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan kemiskinan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pada saat PP nya hendak disusun, dan sudah hampir final, tertunda karena waktu itu sedang berproses penyusunan RUU Penanganan Fakir Miskin.

Mengingat begitu besarnya persoalan kemiskinan di Indonesia dan sesuai dengan amanat Pasal 34 UUD 1945 ayat (1); Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Dan ayat (4). Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang, maka diperlukan UU yang mengatur tentang Fakir Miskin.

Mengacu pada ayat (1) dan ayat (4)  pasal 34 UU Dasar 1945 dan UU Nomor 11 tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial , disusunlah UU Tentang Penanganan Fakir Miskin, Nomor 13 Tahun 2011.

Pada pasal 1 angka 6 UU PFM juga menegaskan yang dimaksud menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Dalam UU Fakir Miskin sudah lebih rinci apa saja yang harus dilakukan Kementerian Sosial, Kementerian lainnya yang terkait, dan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Termasuk didalamnya pendataan Fakir Miskin yang  terpadu antara pusat dan daerah, dan antar kementerian.

Hierarkhi regulasinya sudah jelas. Ada perintah/amanat dalam UU Dasar 1945 (Pasal 34), dilanjutkan dengan terbitnya UU No.  6 Tahun 1974, Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, yang secara operasional UU itu menugaskan pemerintah untuk diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Dengan acuan UU 6/1974, Penanganan Fakir Miskin dilaksanakan oleh satu unit Direktorat teknis, di bawah naungan Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial.

Karena UU Nomor 6/1974 tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi dan perkembangan lingkungan strategis masyarakat Indonesia, disempurnakan dengan terbitnya UU Nomor 11/2009 Tentang Kesejahteraan Sosial, yang di dalamnya tercantum  norma-norma terkait kemiskinan pada Bab IV, pasal 19 sampai dengan 22.  UU itu menempatkan Penanganan Kemiskinan sebagai salah satu pilar Pembangunan kesejahteraan Sosial, bersama pilar Pemberdayaan Sosial, Rehabilitasi Sosial, Perlindungan dan Jaminan Sosial dan Badan Penelitian/pelatihan Kessos, serta penyuluhan sosial.

Pilar-pilar itu diakomodir Presiden Jokowi pada  kelembagaan kementerian sosial dalam Perpres 46/2015, pasal 4 yang menetapkan  level pejabat yang menangani Fakir Miskin itu pejabat struktural level eselon 1, yaitu Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin (PFM)

Direktorat Jenderal PFM punya tanggung jawab merumuskan kebijakan operasional Penanganan Fakir Miskin, harus berkolaborasi dengan sektor kementerian lainnya yang beririsan tugas, serta berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dalam kerangka otonomi daerah, dihubungkan dengan tugas pembantuan dan dekonsentrasi.

Saat ini, Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Program UEP-KUBE, Rutilahu,  masih menjadi unggulan dan dapat mencegah keparahan kemiskinan atau extreme poverty,  terutama masa  Pandemi Covid-19 yang masih belum berakhir.

Keppres 46/2015 adalah Keppres yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Dalam Keppres itu komitmen Presiden  sangat kuat menghadirkan urusan penanganan fakir miskin di Kemensos pada level Direktorat Jenderal ( eselon 1).

Waktu itu Mensos nya  Khofifah Parawansa, yang sekarang Gubernur Jawa Timur. Khofifah menyadari betul bahwa penanganan fakir miskin yang diamanatkan UU Dasar 1945, menjadi tugas pokok Kemensos yang sudah dilaksanakan puluhan tahun pada level satu unit Direktorat PFM.

Kita lihat sebelumnya, ada Keppres Nomor 24/2010, Tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon 1 Kementerian Negara.

Pada pasal 458 menyebutkan Susunan organisasi eselon I Kementerian Sosial terdiri atas: a. Sekretariat Jenderal; b. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial; c. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial; d. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan; e. Inspektorat Jenderal; f. Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial; g. Staf Ahli Bidang Otonomi Daerah; h. Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga; i. Staf Ahli Bidang Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial; j. Staf Ahli Bidang Dampak Sosial; k. Staf Ahli Bidang Integrasi Sosial.

Pencantuman Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan itu merujuk  pada UU Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial.

Dua tahun kemudian terbit UU Nomor 13 Tentang Penanganan Fakir Miskin (2011), maka dalam Perpres baru Nomor 46/2015, dibentuklah Direktorat Jenderal baru yang khusus menangani fakir miskin. Suatu bentuk kepatuhan konstitusional Presiden terhadap perintah UU.

Enam tahun kemudian masih Presiden yang sama, dengan  Mensos yang berbeda, terbit Perpres 110/2021 yang *mengeliminasi* keberadaan Direktorat Jenderal PFM. Mungkin Mensos Risma meyakinkan Presiden bahwa Ditjen PFM tidak diperlukan lagi karena tidak berprestasi.

Mensos Risma ada menyatakan walaupun dalam konteks yang berbeda: “Nggak (gini) saya adalah pemimpinnya, saya selalu sampaikan bahwa tidak ada salah kopral, yang ada salah jenderal, nah aku jenderalnya di situ, jadi aku lah yang minta maaf,” kata Risma usai rapat di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (19/1/2022).

Apakah ungkapan itu berlaku terkait kalau Ditjen PFM yang tidak berprestasi, yang salah siapa?

Inkonsistensi Regulasi

Keluarnya Perpres 110/2021, tentang Kemensos dengan menghapus Direktorat jenderal PFM, tidak sejalan dengan amanat UU Dasar 1945 dan UU Tentang Kesejahteraan Sosial.

Akibatnya tugas Direktorat jenderal itu, menjadi semakin tidak jelas Unit eselon 1 mana yang menanganinya? Apakah Mensos ingin menanganinya sendiri? Ke Unit Eselon 1 mana  anggaran Penanggulan Kemiskinan (Fakir Miskin) dalam APBN diletakkan?  Atau dihapus dari APBN karena memberatkan Anggaran Negara?

Bagaimana koordinasi, pengendalian dan evaluasi atas pelaksanaan program PFM di daerah dilakukan?

Kalau Mensos menyatakan Ditjen PFM tidak berprestasi,  bukan lembaganya yang salah tetapi penyelenggaranya. Itu sama kalau ada tikus di lumbung padi, untuk mencari tikusnya, apakah lumbungnya dibakar? Itupun kalau benar ada tikusnya. Sepanjang belum dapat dibuktikan adanya tikus, kenapa dikatakan ada tikus dan lumbung padi harus dibakar?

Penghapusan Ditjen PFM merupakan persoalan tertib hukum yang tidak konsisten. Indonesia negara hukum, semua kita harus taat hukum. Jika model penyelesaian regulasi  kelembagaan kementerian ditangani menteri berdasarkan “selera” tanpa landasan rasionalitas yang terukur dan rambu-rambu regulasi, tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib kelembagaan Kementerian Sosial kedepan.

Kesimpulan

Skhema  dibawah ini dapat menggambarkan bagaimana perjalanan regulasi tentang Pembangunan Kesejahteran Sosial itu dilakukan, mulai masa Orde Baru, sampai Orde Reformasi dan sekarang ini sulit menyebutkan Orde apa namanya.

Landasan Konstitusional, UU Dasar 1945 Pasal 34. Diterbitkan UU Nomor 6 tahun 1974, memuat ketentuan umum Kessos, belum menyebut narasi fakir miskin. Periode Presiden Soeharto.

Disempurnakan dengan UU Nomor 11 Tahun 2009. Mencantumkan dalam Bab khusus tentang Penanggulangan Kemiskinan yakni bab IV. Periode Presiden SBY

Ditindak lanjuti dengan terbit Perpres No. 24/2010 Struktur dan Tupoksi Kementerian Sosial  masih periode Presiden SBY. Telah mencantumkan ada Ditjen Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan.

Lahir UU Nomor 13 tahun 2011. Mengatur secara komprehensif Penanganan Fakir Miskin, masih pada periode Presiden  SBY.

Sebagai implementasi dari UU Nomor 13/2011, diterbitkan  Perpres 46/2015 Tentang  Pananganan Fakir Miskin yang dikembangkan  pada Level Struktural Eselon 1  oleh Presiden Jokowi.

Terakhir ini terbit Perpres 110/2021, yang isinya menghapuskan struktur (Eselon 1)  Penanganan Fakir Miskin oleh Presiden yang sama (Presiden Jokowi), dengan Mensos yang berbeda. Bukan lagi Khofifah, tetapi Tri Rismaharini, sama- sama dari Jawa Timur, dan mantan Walikota Surabaya.

Para birokrasi di kementerian janganlah berdiam diri saja. Banyak intelektual, pakar Kesejahteraan sosial, pekerja sosial,  bahkan ada Dosen STKS yang menduduki jabatan strategis dan menulis banyak buku tentang Kesejahteraan Sosial dan menjadi rujukan perguruan tinggi sepertinya sudah kehilangan nyali untuk mengkomunikasikan soal pilar yang roboh itu.

Jika tidak berani sendirian, berhimpunlah memberikan advokasi kepada Mensos bicara dari hati-kehati  demi kepentingan mewujudkan masyarakat sejahtera (Social Welfare) yang diamanatkan UU Dasar 1945.

Jika dialog terbangun, solusi akan ditemukan. Sebab Mensos Risma juga punya hati, punya rasa dan empati. Tidak mungkin ada terlintas dipikiran beliau untuk tidak melindungi fakir miskin.

Cibubur, 24 Januari 2022

 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top