General Issue

Nomenklatur BNPB Kenapa Mau Dihapus?

situmorang

Oleh : Chazali H. Situmorang *)

BNPB ku sayang, BNPB ku malang. Ditengah begitu kegesitan BNPB sebagai Satgas Covid-19 yang diamanatkan Presiden, selama setahun lebih para petugas, relawan, dibawah panji-panji BNPB/Satgas Covid-19, bekerja siang malam, jumpalitan, kaki sudah di kepala dan kepala sudah di kaki, tetapi mereka berpikirnya tidak sungsang.  Sehingga banyak disayang masyarakat karena semangat Satgas Covid-19 yang luar biasa itu, tetapi juga nasibnya “malang” karena dalam RUU Penanggulangan Bencana, nomenklatur BNPB menjadi “hilang”.

Tidak itu saja, beberapa hari lalu, Kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo, diserahterimakan kepada Letjen TNI Ganip Warsito, karena 1 Juni 2021 Letjen TNI Doni Monardo memasuki usia pensiun ( 58 tahun). Masyarakat merasa agak bingung, karena Kepala BNPB pertama Mayjen TNI (Pur) Syamsul Maarif, dan kedua Laksma TNI(Purn) Willem Rampangilei, menjadi Kepala BNPB setelah pensiun sebagai militer aktif, dan cukup lama menjadi Kepala BNPB sampai usia 65 tahun.

Dengan pangkat Letnan Jenderal aktif,harapan Presiden Jokowi  Kepala BNPB itu cukup kuat, berwibawa, dan diharapkan dapat melakukan langkah-langkah koordinasi dengan kelembagaan terkait, khususnya dalam mobilisasi TNI dan Polri jika terjadi bencana alam maupun sosial berskala nasional maupun daerah.

Sebagai catatan BNPB menurut UU 24/2007, tidak termasuk jabatan struktural yang harus TNI aktif. Tetapi juga Perwira Tinggi yang disipilkan ( pengalihan dari militer ke sipil), dan juga pejabat / birokrasi pemerintah (ASN) yang memenuhi sarat kepangkatan dan jenjang karir. Tetapi di ujungnya, tentu sesuai dengan keinginan Presiden.

Posisi Kepala BNPB menurut UU 24/2007 sangat strategis, dalam keadaan normal  sesuai UU 24/2007 secara periodik  harus melapor kepada Presiden, dan jika dalam keadaan darurat bencana Kepala BNPB setiap saat melaporkan perkembangan  kedaruratan bencana langsung kepada Presiden.

Dalam PP tentang kelembagaan BNPB, sudah diatur dalam kegiatan sehari-hari dikoordinasi oleh Menko Kesra/PMK,  tetapi secara eksisting  sejak 5 tahun terakhir ini prakteknya  di koordinasi oleh Menko Polhukam. Irisan tugas antara Kemenko PMK dengan Kemenko Polhukam, terkait koordinasi penanggulangan bencana sangatlah tebal, dan jika di sinergikan akan lebih mempercepat penanganan bencana.

Tetapi saat ini sepertinya bertolak belakang dengan rencana revisi UU Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007, yang menghapuskan nomenklatur BNPB yang katanya, nantinya cukup diatur dalam Keputusan Presiden nomenklatur BNPB itu. Apakah itu penguatan atau men- downgrade  BNPB hanya  Presiden dan Mensos yang lebih paham soal itu. Kenapa Mensos, karena beliau yang ditugaskan Presiden atas nama Pemerintah untuk membahas  revisi UU Penanggulangan Bencana dengan DPR Komisi VIII.

Isu utama dalam revisi UU 24/2007  yang dibahas pemerintah dengan DPR Komisi VIII, terkait dengan penyediaan anggaran dan kelembagaan penanggulangan bencana.  Pemerintah berpendapat bahwa tidak perlu dicantumkan persentase tertentu dari APBN untuk  penanggulangan bencana.  Memang soal anggaran APBN ini pemerintah harus hati-hati. Sebab jika semua sektor pembangunan harus dialokasikan sejumlah tertentu dari APBN, maka itu dapat menyebabkan fleksibilitas APBN akan hilang, dan akibatnya dinamika dan fleksibilitas pembangunan tidak bisa dioptimalkan.

Saya masih ingat, sewaktu membahas RUU Penanganan Fakir Miskin  Nomor 13/2011, dengan DPR Komisi VIII, juga keinginan yang kuat dari DPR Komisi VIII untuk membuat lembaga Penanggulangan Kemiskinan dengan alokasi anggaran  1 – 2% dari APBN.  Dengan berbagai pertimbangan akhirnya disepakati pembentukan lembaga baru (LPNK) dengan alokasi anggaran APBN persentase tertentu tidak dimunculkan dalam UU Penanganan Fakir Miskin.

Yang perlu diperkuat dalam revisi UU 24/2007, terkait sumber dana, adalah diatur dalam norma-norma yang mengatur  mobilisasi dana masyarakat, termasuk asuransi kebencanaan, penyediaan dana cadangan (emergency fund) dari APBN dan sumber lain, yang hanya boleh digunakan untuk kepentingan penanganan kebencanaan.

Penegasan tentang  apa yang dimaksud bencana nasional, bencana daerah, dengan parameter yang langsung terukur secara kuantitatif dan kualitatif harus konkrit dalam norma perubahan UU itu.  Jadi harus tuntas dieksekusi dalam UU, tidak di delegasi dalam Peraturan Pemerintah.

Dengan demikian, Presiden tinggal melaksanakan yang diamanatkan UU secara otomatis, sehingga penanganan bencana menjadi lebih cepat, dan penyediaan dana baik APBN maupun dana masyarakat, punya payung hukum yang kuat.

Hal krusial lainnya, adanya tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana yang tidak atau kurang tuntas diselesaikan. Kita mendengar rencana bantuan perbaikan rumah, perbaikan pemukiman, atau membuat pemukiman baru bagi korban bencana yang dijanjikan Pemerintah dengan sejumlah uang tertentu kepada para korban, berbulan-bulan sesudah bencana bahkan tahunan, bantuan itu tidak turun, atau jika pun turun tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Persoalan itu hanya dapat diselesaikan jika norma dalam UU Penanganan Bencana secara tegas dan final mengatur tentang fase Rehab-Rekon itu.

Penguatan upaya-upaya mobilisasi para relawan bencana ( misalnya TAGANA, yang dibina oleh Kemensos) perlu juga secara tegas diatur dalam norma UU PB yang baru nantinya, tentu dengan dukungan dana yang cukup, sehingga mereka  menjadi terampil, sigap, cekatan melakukan penyelamatan manusia yang menjadi korban bencana. Kesiapsiagaan dan saat terjadi bencana merupakan fase emas (golden periode) yang perlu dijaga betul, agar dapat me minimalis korban manusia.

Memang disadari, setelah UU PB 24/2007 berjalan selama 13 tahun, diperlukan adanya revisi mengingat berbagai pengalaman kejadian  bencana alam yang mungkin puluhan ribu kali dalam skala besar, sedang,  dan kecil, apa itu banjir, gunung meletus, tsunami, gempa bumi, angin kencang,  dirasakan UU itu belum maksimal menjawab dinamika kejadian bencana itu. Apakah pada tahap pra bencana, kejadian bencana, dan pasca bencana. Ada persoalan koordinasi, wewenang komando, dan pelaksanaan rehab/rekon yang harus dilakukan.

Kelemahan yang diawal sudah disadari, adalah sangat minimnya norma yang mengatur tentang bencana sosial, walaupun pengertian / definisinya sudah dicantumkan dalam ketentuan umum.  Bencana sosial,  kerawanan sosial,  kesenjangan sosial, konflik sosial, irisannya sangat banyak dengan berbagai lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat. Diharapkan revisi UU 24/2007 dapat menjawab persoalan tersebut.

Demikian juga  penguatan lembaga BNPB diperlukan dan lebih ditegaskan dalam revisi UU, bukan sebaliknya. Itu sama artinya kita mundur kembali ke belakang zaman lembaga ad hoc yang namanya Bakornas PB.  Lembaga itu sangat kewalahan menangani Bencana Alam Tsunami 2014 di Aceh, dan bencana gempa bumi di Bantul dan Klaten tahun 2005.

Kita dapat memahami dan setuju dengan DPR Komisi VIII, dalam rapat dengan Pemerintah beberapa waktu yang lalu , Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily  membacakan kesimpulan rapat, Komisi VIII DPR sepakat untuk memperkuat posisi kelembagaan BNPB dalam RUU tentang penanggulangan bencana.

Komisi VIII DPR memberikan kesempatan kepada Menteri Sosial sebagai wakil Pemerintah untuk menyampaikan laporan hasil pembahasan Panja dan sekaligus me mohon arahan Presiden mengenai kebijakan kelembagaan BNPB dan pola pengaturan anggaran penanggulangan bencana dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU tentang penanggulangan bencana.

Saat ini ditunggu kemampuan Mensos Bu Risma, meyakinkan Presiden Jokowi soal nomenklatur BNPB yang hilang dalam RUU PB,  dan  pentingnya penguatan kelembagaan itu diatur dalam RUU yang hendak dibahas berikutnya.

Cibubur, 29 Mei 2021

*) Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS

 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top