General Issue

Kaleidoskop BPJS Kesehatan 2021

By : Chazali H. Situmorang *)

Siang sampai sore hari  ini 30 Desember 2021, mulai pukul 13.00 sampai dengan 15.00 wib lebih kurang, pihak BPJS Kesehatan melaksanakan virtual meeting Kaleidoskop BPJS Kesehatan 2021, dengan paparan dari Dirut BPJS Kesehatan Prof. Ali Ghufron, diawali kata pengantar dari Ketua Dewas BPJS Kesehatan dr. Achmad Yurianto.Ada 4 narasumber yang diundang, yaitu Wakil Ketua DPR RI Melkiades Laka Lena, mewakili DJSN Muttaqin, Ketua Harian YLKI Tulus Abadi, dan terakhir saya sebagai mantan Ketua DJSN dan Pemerhati Jaminan Sosial.

Berbagai sisi yang telah dilakukan oleh BPJS Kesehatan, secara komprehensif sudah disampaikan Prof. Ali Ghufron, dengan mengedepankan 6 Program Kerja Prioritas, yakni *Peningkatan Mutu Pelayanan; Perluasan Kepesertaan; Kesinambungan Finansial JKN; Peningkatan Engagement Stakeholder; Peningkatan Kapabilitas Badan; dan Optimalisasi Penugasan Khusus Pemerintah*.

Beranjak dari 6 Program Kerja Prioritas itu, keempat nara sumber menyoroti dari masing-masing sudut pandang yang berbeda.  DPR Komisi IX dari sudut pandang pengawasan program dan upaya perbaikan yang dilakukan. DJSN menyikapi dari aspek harmonisasi penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan yang sudah berlangsung dengan berbagai indikator keberhasilan, dan pemaparan hasil monev yang dilakukan. YLKI kalau saya amati, sangat menghargai atas kinerja selama tahun 2021 BPJS Kesehatan. Suatu respons yang tulus sesuai dengan namanya Tulus Abadi. Tetapi YLKI juga menyoroti dan menyatakan kegelisahannya atas persoalan peserta PBI yang banyak ditemukannya exclusion error (kesalahan karena tidak memasukkan rumah tangga miskin yang seharusnya masuk ke dalam data)  maupun inclusion error (kesalahan karena memasukkan rumah tangga yang tidak miskin ke dalam data).

Secara spesifik, sebagai narasumber terakhir, saya mencoba melihat beberapa poin penting pencapaian 2021, dari berbagai aspek.

Secara umum capaian peningkatan jangkauan  kepesertaan tidaklah  tajam yaitu sebesar  229.514.068 jiwa atau sekitar 83,89% dari total populasi penduduk Indonesia. Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Kita mencermati ada beberapa sebab, antara lain: Pandemi Covid-19, menyebabkan lambatnya peningkatan jumlah peserta, diikuti dengan menurunnya kemampuan ekonomi bagi peserta mandiri (PBPU dan BP).

Disatu sisi  RPJM  2020-2025 memberikan kelonggaran sampai tahun 2024 untuk mencapai 98%.  Seharusnya UHC menurut Roadmap 2012-2019 ditargetkan dapat tercapai pada tahun 2019.. Tetapi angka 98% tidaklah mudah. Untuk negara berpenduduk besar seperti Indonesia apalagi dengan ribuan pulau, merupakan kesulitan tersendiri. Walaupun untuk perkotaan, dan provinsi berpenduduk sedikit, saat ini sudah ada yang mencapai  95%.

Dari sisi penerimaan iuran cukup bagus,  mendekati 125 triliun. Suatu angka yang besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Intensitas kanal-kanal penarikan iuran semakin meluas, dan kenaikan tariff iuran yang cukup signifikan menjadi salah satu factor penting, terutama kontribusi PBI dengan kenaikan iuran yang signifikan ( 2 kali lipat), dengan jumlah peserta lebih dari 40% dari keseluruhan peserta JKN.

Data yang menarik disampaikan Ketua Dewas dr. Achmad Yurianto, bahwa  pembiayaan jaminan kesehatan yang sudah dibayarkan pada tahun ini sekitar 81 triliun, ada selisih lebih cash flow ( arus kas) sekitar  Rp. 45 Triliun. ( Penerimaan tahun yang sama Rp. 125 Triliun). Suatu angka yang belum pernah dicapai sebelumnya. Bahkan sebelum Covid—19, sejak berdirinya BPJS Kesehatan, pembiayaan DJS  mengalami defisit yang cukup besar, bahkan sempat menggunakan dana Badan, dan fasilitas perbankan.

Tahun ini,  BPJS Kesehatan mendapatkan tugas tambahan dari Pemerintah,untuk melakukan verifikasi dan validasi klaim pasien Covid-19 dari RS, sebanyak 2,3 juta kasus dengan biaya sebesar Rp 128 triliun dari 2.100 rumah sakit.

Bandingkan besarnya biaya klaim Covid-19 sebesar Rp. 128 triliun untuk 2,3 juta kasus, dibandingkan dengan pembiayaan JKN, yang 81 Triliun,  untuk RJTP tercatat sebanyak 282.962.550 (kunjungan sakit dan sehat), sementara  RJTL tercatat sebanyak 64.685.078, dan RITL tercatat sebanyak 7.283.792.

Dapat dibayangkan dahsyatnya biaya medis Covid-19 yang dikeluarkan pemerintah ( Rp. 128 Triliun untuk 2,3 juta kasus), bandingkan dengan JKN pasien yang Rawat Inap Tindak Lanjut sebanyak 7, 283.792. kita tidak usah bandingkan dengan rawat jalan tingkat pertama (FKTP) dan Rawat Jalan Tingkat Lanjut (FKTL).

Kita mengetahui bahwa sejak awal 2021, formasi Direksi dan Dewas sudah berganti. Figur – figur Direksi dan Dewas baru, memberikan peluang dan mendorong untuk terwujudnya inovasi baru, dalam  menghadapi tantangan ke depan pasca Pandemi Covid-19.

Hemat kami formasinya sudah ideal. Prof Ghufron sebagai Dirut punya pengalaman panjang dalam menangani Jamkesda, dan menjadi Wakil Menkes pada masa transformasi BPJS yang terlibat banyak dalam penyusunan Roadmap JKN 2012-2019. Sebagai The Dream Team didampingi 6 Direksi, 2 orang merupakan pejabat organik BPJS Kesehatan, 1 orang Direktur periode sebelumnya yang berlanjut, dan 3 orang lainnya para ekspertis yang handal.

Demikian juga Performance Dewas baru juga lebih proaktif. Saya mengikuti dinamika Dewas periode sebelumnya. Salah satu indikator bagaimana para Dewas   mendalami RKAT secara profesional, sesuai dengan amanat UU BPJS yang menempatkan Dewas sebagai gong akhir untuk sahnya RKAT.

Sebagaimana saya jelaskan diatas, menurunnya pelayanan JKN, diikuti dengan menurunnya klaim Faskes, memberikan kesempatan BPJS Kesehatan melakukan inovasi untuk meningkatkan pelayanan kepada peserta. Beberapa upaya yang dilakukan BPJS Kesehatan antara lain:

a). mengoptimalkan implementasi antrian online dan kanal-kanal layanan digital seperti Pelayanan Administrasi melalui Whatsapp (PANDAWA) dan Chat Assistant JKN (CHIKA),

b) mengubah nomor BPJS Kesehatan Care Center dari 1500400 menjadi 165 agar lebih mudah diingat masyarakat,

c) melakukan simplifikasi layanan bagi pasien thalassemia mayor dan hemodialisa yang rutin mendapatkan perawatan di rumah sakit,

d) meluncurkan Jurnal JKN, sebuah portal web untuk berbagi pengetahuan tentang Program JKN-KIS melalui jurnal ilmiah,

e) memaksimalkan layanan jemput bola Mobile Customer Service (MCS) untuk menjangkau masyarakat dan peserta JKN-KIS di daerah perifer,

f) memperkuat sinergi dengan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, fasilitas kesehatan, hingga pihak swasta untuk memperlancar penyelenggaraan JKN-KIS di lapangan.

Kelima poin diatas, tentu dengan mudah kita dapat megecek kebenarannya, terutama bagi penerima manfaat.  Ini sejalan dengan persepsi tingkat kepuasan  peserta yang mencapai 80%,  yang menurut BPJS Kesehatan dilakukan oleh lembaga survey independen.

Namun demikian, BPJS Kesehatan juga tidak terlepas dari bobolnya data pribadi peserta yang mempunyai NIK, sehingga menimbulkan keresahan bagi peserta JKN.

Security system online, masih merupakan titik lemah yang dihadapi BPJS Kesehatan, antara lain perlu ditingkatkan keamanan dan sterilitas mereka yang bekerja di system IT yang jumlahnya cukup banyak di kantor Pusat BPJS Kesehatan.

Di lain pihak, posisi legal standing yang lemah terkait dengan NIK sebagai SIN yang dimiliki oleh Kemendagri (Dukcapil)  karena mengacu pada UU Kependudukan. Pada sisi lain BPJS punya regulasi tersendiri soal SIN yaitu UU SJSN/BPJS,  tapi tidak diterapkan dalam rangka efisiensi. Kekuatan regulasi hanya pada MoU antara kedua lembaga tersebut.

Pengamatan kita pada tahun 2021 ini, persoalan yang masih belum tersentuh proporsionalitas  besaran tarif INA-CBGs, dan kapitasi.  Kita menduga, masih belum  dapat diselesaikannya kenaikan tarif oleh BPJS Kesehatan, karena memerlukan kolaborasi yang intens dengan Kemenkes dan Asosiasi Faskes. Aturan memang mengharuskan Kemenkes merumuskan dan menetapkan pada level nasional berkolaborasi dengan BPJS Kesehatan dan Asosiasi faskes. Pada level wilayah pemerintah daerah berkolaborasi dengan BPJS wilayah setempat, dan Asosiasi faskes wilayah setempat.  Hal ini belum terlaksana.

Tidak efisiennya dana kapitasi di Puskesmas (FKTP)  karena berhadapan dengan kebijakan Pemda Kab/Kota dalam penggunaan kapitasi. Dana itu harus masuk dulu ke Kas Daerah. Perpres mengharuskan dana kapitasi di transfer ke Bendahara Kapitasi di Puskesmas. Sebagian besar Puskesmas Bendahara kapitasi menyetorkan nya kembali ke kas daerah. Hal itu memberikan dampak lemahnya fungsi FKTP sebagai Gate Keeper dengan  pola rujukan masih lebih dari 15%. Akibatnya yang lain penyediaan BMHP khususnya Obat di FKTP, banyak dikeluhkan di bawah standar. Dalam hal ini BPJS Kesehatan tidak bisa berbuat banyak untuk menanganinya.

Persoalan hubungan kelembagaan, khususnya dengan Kemenkes masih berjalan belum fleksibel, karena Perpres 82/2018, terlalu kaku dalam mengatur mekanisme kerja kedua lembaga dengan adanya kewenangan BPJS Kesehatan yang  diberikan, tetapi dikunci dengan narasi harus berkonsultasi atau berkoordinasi dengan Kementerian.

Hal tersebut, menempatkan BPJS Kesehatan  merupakan subordinasi Kementerian. Perpres mengunci seperti itu. Sedangkan UU BPJS jelas menempatkan BPJS sebagai lembaga negara, mitra kementerian, dan mempunyai mandat untuk melaksanakan UU SJSN dan UU BPJS. Bertanggungjawab langsung pada presiden, sama dengan Menteri.

Outlook 2022

Dengan surplusnya DJS (Cash flow), BPJS berkolaborasi dan mengadvokasi Kemenkes untuk melakukan  evaluasi  tariff pelayanan Ina CBGs, dan kapitasi yang proporsional, dan sesuai dengan nilai keekonomian, agar mutu pelayanan di faskes dapat ditingkatkan. Pola kendali biaya dan kendali mutu yang diamanatkan UU SJSN, harus menjamin peserta JKN mendapatkan hak pelayanan kesehatan sesuai dengan KDK ( Kebutuhan Dasar Kesehatan).

BPJS Kesehatan dapat mendorong dan mengajak Kemenkes dan DJSN menuntaskan perumusan manfaat, KDK dan kelas standar untuk rawat inap (amanat Perpres 64/2020). Ketiga isu itu harus selesai tahun 2022, dan diterapkan pada awal tahun 2023.  Relevan dengan program prioritas BPJS Kesehatan yang pertama yakni Peningkatan Mutu Layanan, yang tentu tercakup didalamnya Layanan Kesehatan di faskes.

Arus cash yang liquid, sudah saatnya melaksanakan perintah UU SJSN, yakni melakukan penyisihan DJS untuk dana cadangan ( 5 -10%), untuk terjaminnya keberlanjutan pembayaran faskes.

Dalam upaya keberlanjutan iuran, perlu ditingkatkan advokasi kepada K/L dan Pemda terkait dalam mempertahankan kuota peserta PBI, sehingga kejadian Kemensos di akhir tahun 2021 ini tidak terulang. Karena implikasinya PBI berkurang, jumlah orang miskin masih bertambah, maka akan meningkat peserta tidak aktif, dan yang menghadapi mereka ini dilapangan adalah petugas BPJS.

Perlu ditingkatkan kembali implementasi asas portabilitas SJSN, dimana peserta harus dapat dilayani di seluruh wilayah Indonesia (tidak mesti di faskes domisili). Tidak Perlu ada batas waktu, yang mempersulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Perluasan fasilitas kesehatan yang bekerjasama ( FKTP dan FKTL) masih diperlukan, apalagi dengan peningkatan kepesertaan untuk menuju UHC, sehingga risk pooling dapat berjalan dengan optimal. Dan  hal itu memudahkan akses pelayanan peserta.

Untuk fasilitas kesehatan yang bekerjasama harus terus di monitor  performance mutu layanannya sesuai standarisasi yang berlaku. Dan Kepala Cabang BPJS Kesehatan setempat, harus  berani dan tegas, untuk menggunakan instrument hasil monitoring sebagai bahan  evaluasi dalam perpanjangan kerja sama.

Dari sisi BPJS Kesehatan, perlu ditekankan, bahwa  kondisi kesehatan keuangan DJS yang sangat baik, seharusnya hanya ada zero tolerance terhadap keterlambatan pembayaran klaim kepada fasilitas kesehatan. Kacab bertanggung jawab penuh menanganinya.

Bagaimana dengan asset BPJS? Dioptimalkan sebisa mungkin melalui instrumen SBN 3 bulan, di satu sisi membantu keuangan negara, dan di sisi lain merupakan akuntabilitas penempatan dana pada instrumen investasi yang tidak berisiko (untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta).

Setelah 8 tahun beroperasi, jangan lagi di fokuskan pada edukasi ataupun sosialisasi kepada masyarakat umum, sudah cukup. Sudah waktunya untuk menegakkan pengawasan dan pemeriksaan kepatuhan terutama kepada peserta PBPU yang menunggak, melalui implementasi sanksi pelayanan publik sebagaimana diamanatkan PP 86/2013.

Seiring dengan penguatan kepatuhan pembayaran iuran PBPU, BPJS Kesehatan harus terus memperluas akses pembayaran iuran. Antara lain kalau perlu di setiap Kantor Cabang harus ada minimal ATM 4 Bank Kustodian (BNI, Mandiri, BRI, BTN). BPJS Kesehatan tidak perlu mengeluarkan biaya, karena HIMBARA dapat membiayainya.

Last but not least, dalam implementasi Qanun Layanan Syariah di Provinsi Aceh, tidak perlu membuat entitas BPJS Syariah tersendiri, namun lakukan komunikasi yang baik kepada Pemerintah  Aceh bahwa layanan BPJS Kesehatan di Aceh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di dalam Qanun yang berlaku.

Agar titik-titik sentral pelayanan berjalan baik, perlu dilakukan penguatan terhadap 388 Kantor Kabupaten/Kota sehingga dapat mendukung load pekerjaan di 127 Kantor Cabang dan semakin memperluas akses bagi peserta. Penguatan terhadap  SDM maupun sarprasnya.

Potensi rebound peserta pasca Pandemi Covid-19, harus diantisipasi dengan berbagai perbaikan mutu faskes, besaran iuran, kolektibilitas iuran, penegasan kelas standard dan perluasan cakupan faskes di daerah terpencil, dan berbagai upaya pengendalian, pengawasan yang soft tapi tegas, sehingga terbangunnya trust terhadap BPJS Kesehatan oleh peserta JKN.

Secara internal, perlu dilakukan penataan terhadap manajemen karir bagi Pegawai berdasarkan lelang jabatan dengan sistem merit yang objektif dan transparan.

Cibubur, 30 Desember 2021

*) Ketua DJSN 2011-2015/Pemerhati Jaminan Sosial

 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top