Jurnal

THE NATION’S COMMITMENT IN OLD AGE INSURANCE FOR WORKERS

images-3

Written by: Chazali H. Situmorang[1]

Abstract

The existence of a nation is to fulfill multiple needs and wants, that requires the people to work together in order to fulfill their needs – as they could not fulfill it has individually. Thus, based on each persons’ skill, each of them has their own tasks and work together to fulfill their needs. This unity is called society or nation. In a sovereign nation framework based on the 1945 Constitution, one of them is to provide social security for every citizens. Social security is also stated in the 1948 United Nations’ Declaration of Human Rights, and further emphasised in International Labour Organisation’s Convention No. 102/1952. Aligned with those regulations, the Indonesian Parliament (MPR-RI) in TAP No.  X/MOR/2001 assign the President to create Nasional Social Security System (SJSN) to provide a integrated and comprehensive social security. In June 30th 2015, the Government issued Regulation No. 46/2015 about the Pension Plan – based on the Act No. 40/2004 about the National Social Security System. In the Regulation No. 46/2015, article 1 about the general requirement, section 1 that states “Old Age Insurance (JHT) is a lump-sum cash benefit that paid to the workers when retired, died, or permanently disabled”. Describing a nation’s policy, in the form of regulations, is the necessity to measure the commitment of a nation in developing its people. Indonesia, as a part of the global world, has signed numerous world conventions and must be held accountable in improving the social welfare and protection for its citizens. In the implementation of JHT-SJSN, the findings are: (1) the nation’s commitment has been relatively weak; (2) the regulations have been inconsistent; (3) the regulatons have multiple interpretations; and (4) the advocacy and socialisation have not been maximised. These findings are interconnected with each other. The first, second, and third findings are based on the same subject, which are Regulation No. 46, No. 60, and the Labour Minister Regulation No. 19/2015, that were cascaded from SJSN Act. The fourth finding is subject to the effort of BPJS Ketenagakerjaan. Because of the workers’ resistance against the Regulation No. 46/2015, the Regulation No. 60/2015 and the Labour Minister Regulation No. 19/2015 were issued as a compromy – even though the content tend to diverge from the what is stated in SJSN Act. The policy recommendation for the Indonesian Government is to repeal the Labour Minister Regulation No. 19/2015 about the Procedures and Requirements of JHT Benefit Payment. Regulations No. 60/2015 is also need to be revised, and directly referring to SJSN Act article 35, 36, 37, and 38. In that revision, it is also needed to regulate the mechanism of JHT claim payment under 10 years. BPJS Ketenagakerjaan must intensify the advocacy and socialisation of JHT philosophy and benefit for workers, so that they can age gracefully. BPJS Ketenagakerjaan Management has to create the necessary system and operational procedure.

Keywords:  Society or Nation; 1945 Constitution, Old Age Insurance  (JHT); retired, died, or permanently disabled; the nation’s commitment has been relatively weak; the regulations have been inconsistent; the regulatons have multiple interpretations; the advocacy and socialisation have not been maximized; repeal the Labour Minister Regulation No. 19/2015 ; . Regujss-fotoations No. 60/2015 is also need to be revised.

PENDAHULUAN

Menurut Socrates, tugas Negara adalah menciptakan hukum, yang harus dilakukan oleh para pemimpin, atau para penguasa yang dipilih secara seksama oleh rakyat. Pikiran Socrates ini menggambarkan pentingnya demokratis dalam suatu negara. Pikiran Socrates ini dikembangkan lebih lanjut oleh Plato yang banyak menulis buku tentang Negara dan memposisikan Socrates sebagai gurunya. Plato mengatakan bahwa tujuan Negara yang sebenarnya adalah untuk mengetahui atau mencapai atau mengenal idea yang sesungguhnya.  Negara itu timbul atau ada karena adanya kebutuhan dan keinginan manusia yang bermacam-macam, yang menyebabkan mereka harus bekerja sama, untuk memenuhi kebutuhan mereka.    Karena masing-masing mereka itu secara sendiri-sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Karena itu sesuai dengan kecakapan mereka masing-masing, tiap tiap orang itu mempunyai tugas sendiri-sendiri dan bekerja sama untuk memenuhi kepentingan mereka bersama. Kesatuan mereka inilah yang kemudian disebut masyarakat atau Negara[2]. Maka itulah Negara harus memenuhi 3 syarat untuk keberadaan suatu Negara, yaitu a) ada daerahnya yang tertentu; b) ada rakyatnya; c) ada pemerintahnya yang berdaulat.

Ketiga pilar syarat suatu Negara tersebut, bagi Indonesia sesungguhnya luar biasa dan sangat kokoh dilingkungan negara-negara dunia. Dari sisi wilayah Indonesia sangat strategis, pulau 17.000 lebih, tanah yang luas, laut yang luas dan dalam, iklim tropis, dan rakyatnya sangat banyak (250 juta) , bahkan nomor empat dunia, dan dari sisi pemerintahan  secara konstitusi sangat berdaulat, dengan sistem demokratis yang dikagumi dunia.

Dalam kerangka Negara yang berdaulat dengan konstitusi yang kuat yaitu UUD 1945,salah satu yang kita miliki adalah penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat, yang diamanatkan dalam pasal 28H ayat (3) mengenai hak terhadap jaminan sosial dan lihat juga pasal 34 ayat (2) . Jaminan sosial juga dijamin dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hak Asasi Manusia tahun 1948 dan ditegaskan dalam Konvensi ILO nomor 102 tahun 1952 yang menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja.  Sejalan dengan ketentuan tersebut,  Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu[3].

Diberbagai literatur, pengertian jaminan sosial begitu beragam akan tetapi essensinya memiliki kesamaan. Dilihat dari pendekatan asuransi sosial, maka jaminan sosial dimaknai sebagai teknik atau metoda penanganan resiko yang terkait dengan hubungan kerja yang berbasis pada hukum bilangan besar ( law of large numbers). Dari sisi bantuan sosial, maka jaminan sosial berarti sebagai dukungan pendapatan bagi komunitas kurang beruntung untuk keperluan konsumsi. Karena itu maka jaminan sosial berarti sebagai (1) salah satu faktor ekonomi seperi konsumsi, tabungan dan subsidi/konsesi untuk redistribusi resiko; (2)  instrumen Negara untuk redistribusi resiko sosial ekonomi melalui tes kebutuhan (means test application), yaitu tes apa yang telah dimiliki peserta baik berupa rekening tabungan maupun kekayaan riil; (3) program pengentasan kemiskinan yang ditindaklanjuti dengan pemberdayaan komunitas, dan (4) sistem perlindungan dasar untuk penanggulangan hilangnya sebagian pendapatan pekerja sebagai konsekwensi resiko hubungan kerja.

Pemahaman jaminan sosial secara spesifik sebagai sistem perlindungan dalam bentuk dukungan pendapatan  (income support) bagi setiap orang yang memerlukannya melalui seperangkat uji kebutuhan ( means test) oleh lembaga yang berwenang (Purwoko,2011)[4]. Lembaga-lembaga yang berwenang yang melakukan means test di beberapa Negara seperti institusi pajak di Inggeris dan institusi Central Point di Australia. Aplikasi uji kebutuhan diperlukan untuk keadilan agar penerima manfaat jaminan sosial adalah memang benar-benar orang yang berhak dan membutuhkan dukungan pendapatan.

UU SJSN menjelaskan bahwa pilar jaminan sosial terdiri dari bantuan sosial, tabungan wajib, dan asuransi sosial. Bantuan sosial adalah suatu sistem untuk reduksi kemiskinan yang di danai dari pajak ( yang dimasukan dalam APBN dan dikeluarkan sebagai PBI-Penerima Bantuan Iuran), sedangkan tabungan wajib (provident fund) merupakan skema tabungan untuk dirinya sendiri seperti JHT. Sedangkan asuransi sosial adalah program yang bersifat wajib yang didanai dengan iuran peserta atau pihak lain dan atau oleh pemerintah bagi penduduk miskin. Model asuransi sosial ini dinilai paling baik dan efektif untuk membiayai jaminan sosial.

Landasan utama  SJSN adalah jaminan sosial merupakan program Negara  yang tujuannya memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  Program Negara ini (SJSN), diharapkan setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut atau pensiun[5]

Jaminan sosial merupakan komponen dari Perlindungan Sosial, disamping  komponen lainnya yaitu  bantuan sosial. Di Indonesa sudah ada tata aturan kewajiban pemerintah ( sebagai penyelenggara Negara) untuk melaksanakan program perlindungan sosial. Dengan  tatanan kebijakan yaitu untuk program jaminan sosial  diselenggarakan dengan UU yang khusus mengaturnya yaitu UU SJSN, dan UU BPJS. Untuk program bantuan sosial seperti program raskin, PKH, perumahan rakyat, bantuan langsung tunai, diselenggarakan langsung oleh pemerintah melalui Kementerian terkait.

Jaminan sosial yang diatur dalam 2 UU ( SJSN dan BPJS), Negara membentuk dua badan sebagai penyelenggara jaminan sosial yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. UU Nomor 24 tahun 2011 merupakan  “akte kelahiran” yang isinya telah mencantumkan akan lahir dua orang bayi yang bernama BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dari rahim dua orang ibu yang bernama PT Askes dan PT Jamsostek . Kedua orang ibu ini sudah ditetapkan takdirnya akan mati sahid sesudah melahirkan kedua bayi tersebut pada tanggal 1 Januair 2014[6]

Khusus untuk BPJS Ketenagakerjaan, UU BPJS telah mengatur bahwa per 1 Januari 2014, Program Jaminan Kesehatan diserahkan kepada BPJS Kesehatan, dengan demikian BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan JKK, JKm, dan JHT dengan tetap mengacu  UU 3/1992  tentang Jaminan Sosial Tenagakeja sampai akhir Juni 2015, dan per 1 Juli 2015 menyelenggarakan progam JKK, JKm, JHT dan JP  sesuai dengan UU SJSN dan UU BPJS.  Saat ini aturan pelaksaaan dalam bentuk PP keempat program tersebut sudah diterbitkan satu hari sebelum berlakunya (1 Juli 2015).

berlin1

Program Jaminan Hari Tua

Pada tanggal 30 Juni 2015, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua  sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 37 ayat (5) dan Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang nomor 40 Tahun2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Dalam PP Nomor 46 / 2015, pada Ketentuan Umum Pasal 1, ayat 1 menyatakan “ Jaminan Hari Tua yang selanjutnya disingkat JHT adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia atau mengalami cacat total tetap”. Ketentuan Umum tersebut dalam normanya diuraikan lebih lanjut pada Bab IV Manfaat dan Tata Cara Pembayaran, Bagian kesatu  Manfaat Jaminan Hari Tua Pasal 22 yang secara utuh berbunyi “(1) Manfaat JHT adalah berupa uang tunai yang dibayarkan apabila Peserta berusia 56 tahun , meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap; (2) Besarnya manfaat JHT adalah sebesar nilai akumulasi seluruh iuran yang telah disetor ditambah hasil pengembangannya yang tercatat dalam rekening perorangan Peserta; (3) Manfaat JHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayar secara sekaligus; (4) Dalam rangka mempersiapkan diri memasuki masa pensiun, pembayaran manfaat JHT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu apabila Peserta telah memiliki masa kepesertaan paling singkat 10 tahun; (5)Pengambilan manfaat JHT sampai batas tertentu sebagaimanmana dimaksud pada ayat (4) paling banyak 30% dari jumlah JHT yang peruntukannya untuk kepemilikan rumah atau paling banyak 10% untuk keperluan lain sesuai persiapan memasuki masa pensiun; (6) Pengambilan  manfaat JHT sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat dilakukan untuk satu kali selama menjadi Peserta; (7) BPJS Ketenagakerjaan wajib memberikan informasi kepada Peserta mengenai besarnya saldo JHT beserta hasil pengembangannya satu kali dalam satu tahun.

Berikutnya pada Bagian kedua Tata Pembayaran Jaminan Hari Tua, Pasal 26 berbunyi “(1) Manfaat JHT wajib dibayarkan kepada Peserta apabila: a. peserta mencapai usia pensiun; b. Peserta mengalami cacat total tetap; c. Peserta meninggal dunia atau; c. Peserta meniggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; (2) Manfaat JHT bagi Peserta yang mencapai usia pensiun diberikan kepada Peserta pada saat memasuk usia pensiun; (3) Manfaat JHT bagi peserta yang dikenai pemutusan hubungan kerja atau berhenti bekerja sebelum usia pensiun, dibayarkan pada saat Peserta mencapai usia 56 tahun; (4) Dalam hal Peserta mengalami cacat total tetap, hak atas manfaat JHT diberikan kepada Peserta; (5) Dalam hal Peserta meninggal dunia sebelum mencapai usia pensiun, hak atas manfaat JHT diberikan kepada ahli waris sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2); (6) Dalam hal Peserta tenaga kerja asing atau warga Negara Indonesia meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, manfaat JHT diberikan kepada Peserta yang bersangkutan.

Sampai disini mari kita lihat apa sebenarnya amanat  UU SJSN dalam kaitannya dengan Program JHT. pada Pasal 35, 36, 37, dan 38. Terkait dengan manfaat JHT di PP 46/2015 ( Ketentuan Umum dan Pasal 22  sudah mengacu pada  UU SJSN, kecuali ayat (5) Pasal 22 PP 46/2015, tidak ada diperintahkan/diamantkan dalam UU SJSN.

Dalam perjalanannya PP 46/2015, ditolak oleh para Pekerja melalui berbagai organisasi Buruh, mereka melakukan demo besar-besaran, kantor BPJS Ketenagakerjaan terancam untuk dirusak para Buruh yang merasa hak JHTnya “dipermainkan” pemerintah. Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik  dalam media online Detikcom ( 6 Juli 2015),berkomentar “Publik, buruh dan perusahaan swasta bingung ketika terjadi perubahan kebijakan berkait dengan pencairan JHT secara tiba-tiba karena selama ini tidak pernah ada penjelasan, baik dari pengelola JHT (BPJS Ketenagakerjaan) maupun Kementerian Tenaga Kerja. Akibatnya terjadi penolakan publik dan yang menjadi sasaran adalah Presiden, sebagai penanda tangan PP”.

Karena gelombang demo semakin besar dan sudah mengganggu Istana, sekitar 42 hari kemudian, Presiden Jokowi melakukan perubahan atas PP 46/2015, dengan keluarnya PP 60/2015, Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua, pada tanggal 12 Agustus 2015.

Fokus perubahan pada PP 60/ 2015, adalah pada Pasal 26, dengan mengalami perubahan dan berbunyi “(1) Manfaat JHT wajib dibayarkan kepada Peserta apabila: a. peserta mencapai usia pensiun; b. Peserta mengalami cacat total tetap; c. Peserta meninggal dunia atau; c. Peserta meniggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; (2) Manfaat JHT bagi Peserta yang mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Peserta; (3) Manfaat JHT bagi peserta yang mengalami cacat total tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada Peserta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (4) Manfaat JHT bagi Peserta yang meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) c sebelum mencapai usia pension diberikan kepada ahli waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2); (5) Ketentuan lebih lanjut mengeai tata cara dan persyaratan pembayaran manfaat JHT sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pada PP Nomor 60/2015  tersebut, ayat (3) dan ayat (6) Pasal 26 PP 46/2015 dihilangkan.

Dalam jangka waktu tidak terlalu lama ( 7 hari), terbitlah Peraturan Menteri Tenaga Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua , tanggal 19 Agustus 2015. Dasar menimbangnya mengacu pada PP 60 Tahun 2015, khususnya pada Pasal 26 ayat (5), Permenaker ini ditenggarai dapat menenangkan para Pekerja, karena pasal-pasalnya dibuat multitafsir, dan mengaburkan hakekat usia pensiun, sebagai masa berakhirnya seseorang bekerja karena usia pensiun.  Rancunya  pemahaman tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yang merupakan domain dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan di campuradukan dengn UU SJSN. Dalam UU 13 / 2003, jelas PHK berkaitan dengan hak mendapatkan pesangon Peserta, sedangkan UU SJSN dan UU BPJS mensyaratkan  JHT untuk  usia pensiun, cacat total tetap selama bekerja, dan meninggl dunia selama bekerja.

Memang lahirnya PP 60/2015 dan Permenaker Nomor 19/2015, dapat meredakan amarah Pekerja, dan berbondong-bondong Pekerja yang mengalami PHK mengambil JHT, walaupun masa kerjanya dibawah 10 tahun bahkan kebanyakan dibawah 5 tahun, dan dana |JHT di rekening BPJS Ketenakerjaan di berbagai cabang dengan cepat berpindah ke kantong Peserta. Direktur Perluasan Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan Ellyas Lubis dalam Dialog Nasional bersama  Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di Jakarta 31 Maret 016 menyatakan “ Meningkatnya pencairan dana JHT itu terjadi setelah terbitnya Permanaker No. 19/2015 dan meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja”. TEMPO.CO, menyebutkan BPJS Ketenagakerjaan mencairkan dana Jaminan Hari Tua rata-rata Rp. 50 miliar hingga Rp. 55 miliar setiap hari pada periode Januari – Maret 2016 sebagai akibat  berubahnya filosofi  dari bekal di hari tua menjadi jaring pengaman sosial saat ini.

METHODOLOGI

Dalam kajian yang dilakukan terkait dengan Komitmen Negara Dalam Memberikan Jaminan |Hari Tua bagi Pekerja,  dilakukan dengan pendekatan Deskriptif, dengan memotret kebijakan-kebijakan Negara dalam bentuk Hukum Negara yang dilaksanakan oleh pemerintah sebagai Penyelenggara Negara. Pisau analisis yang digunakan adalah mencermati secara kritis semua produk hukum yang  terkait dengan  penyelenggaraan jaminan sosial dengan fokus pada Program Jaminan Hari Tua bagi para Pekerja.

.Dalam Kerangka Fikir Regulasi Tersistem, menitik beratkan pada bagaimana kebijakan Negara sebagai Komitmen Negara terhadap masyarakatnya dilakukan dan berlangsung secara berkesinambungan. Kebijakan Negara adalah suatu kebijakan publik yang menurut sebahagian besar ahli memberikan pengertian kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerintah (sebagai penyelenggara Negara) untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi kehidupan warga negara[7]. Menurut Bridgman  and Davis[8], kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian mengenai “whatever government choose to do or not to do “ , kebijakan publik adalah apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.

Mendeskripsikan kebijakan Negara dalam bentuk perundang-undangan sebagai suatu produk hukum beserta aturan turunannya menjadi suatu keniscayaan untuk mengetahui sejauh mana komitmen Negara dalam membangun masyarakatnya.  Sebagaimana yang dikatakan Bridgman dan Davis diatas,  bahwa pemerintah sebagai penyelenggara Negara adalah apa yang dilakukan dan apa yang tidak dilakukan.

Dari Skema Kerangka Fikir Tersistem dimaksud, maka deskripsi ditujukan pada produk UU , Peraturan Pemerintah , Peraturan Menteri yang terkait dengan penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua.

HASIL ANALISIS

Dari berbagai fakta regulasi yang telah dikeluarkan pemerintah sebagai penyelenggara Negara yang berkaitan dengan penyelenggaraan Program JHT diperoleh gambaran sebagai berikut:

  1. Lemahnya komitmen Negara; Penyelenggara Negara adalah pemerintah, dan UU SJSN sudah mengamanatkan segera membuat Undang-Undang BPJS, Peraturan Pemerintah  dan Peraturan Presiden sebagai aturan pelaksanaannya. Dalam perjalanannya memerlukan waktu 7 tahun Undang-Undang BPJS baru dapat dibentuk ( 2011)[9]. PP dan Perpres terkait BPJS Kesehatan diselesaikan 2 hari menjelang diluncurkankannya BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan 1 Januari 2014.  Dan PP terkait Program JKK, JKm, JHT an JP diselesaikan 30Juni 2015, satu hari menjelang dimulainya keempat program tersebut yang sesuai dengan UU BPJS.

Secara faktual rentang waktu yang panjang untuk menyusun regulasi yang diamanatkan UU SJSN  yaitu antara 9 – 10 tahun merupakan indikasi kuat untuk menyatakan bahwa komitmen Negara yang dimanifestasikan oleh pemerintah sebagai penyelenggara Negara masih lemah ( late and injury  time).

  1. Inkonsistensi Regulasi: PP 46/2015, substansinya melampui amanat UU SJSN, pada Pasal 22 ayat (5), dana JHT dapat diambil setelah 10 tahun sebanyak 30% untuk pemilikan perumahan. Padahal tidak ada norma dalam pasal-pasal terkait JHT di UU SJSN yang menyebutkan dana JHT untuk kepemilikan perumahan. Sebab terkait dengan perumahan untuk rakyat sudah diatur  tersendiri dalam Undang-Undang Tentang Perumahan. Kewajiban BPJS Ketenagakerjaan memberikan uang JHT secara tunai. Namun lebih tidak konsisten lagi dengan keluarnya PP 60/2015, diikuti dengan keluarnya Permenaker nomor 19/2015 sebagai turunan dari PP 60/2015. Inkonsistensi dengan UU SJSN mencakup antara lain tidak ada norma dalam UU SJSN yang menyebutkan atau mendelegasikan wewenang kepada Menteri Teaga Kerja  untuk menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja yang mengatur Tata Cara dan persyaratan pembayaran manfaat JHT. Isi Permenaker Nomor 19/2015, menjungkirbalikan hirarkhi regulasi, dan melampui wewenangnya. Permenaker tersebut meniadakan syarat usia pensiun untuk dapat JHT, dan syarat 10 tahun mengiur baru dapat mengambil pinjaman JHT, dan menjadikan ‘PHK’ dan ‘diberhentikan oleh pemberi kerja’ tanpa memperhatian syarat masa kerja 10 tahun, bahkan juga dibawah 5 tahun boleh ambil JHT. Fungsi JHT sudah berubah dari |Jaminan Hari Tua menjadi jaringan pengaman sosial. Inkonsistensi regulasi Program JHT ini sudah dapat dikatagorikan Menaker “melampui wewenangnya” atas substansi Permenaker yang diterbitkannya.
  2. Multitafsir Regulasi: peraturan yang dibuat seharusnya tidak menimbulkan multitafsir, supaya para penyelenggara tidak kebingungan dalam melaksanakan peraturan dimaksud. Permenaker 19/2015, pasal-pasalnya multitafsir. Substansinya mencampuradukan (nano-nano), UU SJSN dengan UU 13/2003 tentanag Ketenagakerjaan. UU SJSN tidak diperuntukan untuk mengatur tentang Pemutusan Hubunan Kerja, tetapi memberikan jaminan untuk mendapatkan jaminan sosial bagi Pekerja. Pasal 156 UU 13/2003, ayat (1) berbunyi” Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja , pengusaha diwajibkan mmbayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak seharusnya diterima”. Upaya mengalihkan tanggung jawab PHK dikaitkan dengan JHT sangat merugikan Pekerja, karena pengusaha mengganggap dengan meloloskan JHT bagi yang di PHK ke BPJS Ketenagakerjaan, maka Pekerja tidak mendapatkan hak pesangon. Ditambah lagi urusan administrasi pesangon lebih rumit, tidak selancar mendapatkan JHT dari BPJS Ketenagakerjaan.
  3. Advokasi dan sosialisasi belum maksimal: BPJS Ketenagakerjaan, semasa transisi program dari UU 3/92, ke UU SJSN, periode Januari 2014 sampai Juni 2015, belum melakukan advokasi dan sosialisasi secara maksimal kepada stakeholder (pengusaha dan pekerja), terkait dengan perubahan fundamental program JHT yang diatur dalam UU 3/92, dengan yang diatur dalam UU SJSN. Khususnya terkait jangka waktu pengambilan JHT dari 5 tahun menjadi 10 tahun dan hanya dapat diambil pada saat usia pensiun. Kewajiban sosialisasi oleh BPJS Ketenagakerjaan sudah diatur dalam Penjelasan Pasal 61 (UU BPJS huruf b berbunyi: “Penyiapan operasional BPJS Ketenagakerjaan untuk program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian mencakup antara lain: a. menyusun sistem dan prosedur operasional yang diperlukan untuk beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan, dan melakukan sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian”.

PEMBAHASAN

Realitas sosial baru ( new social reality) memerlukan perspektif baru. Dalam masyarakat maju yang saat ini sedang dialami masyarakat Indonesia, kapasitas individu untuk menolak meningkat tajam, khususnya apa saja yang berasal dari pusat kekuasaan. Pada saat yang sama, kemampuan pranata sosial yang besar secara signifikan telah membentuk sifat abad keduapuluh untuk memahami situasi,  ternyata melemah dalam beberapa dasawarsa terakhir. Atau, mengambil pemikiran cerdas Adolp Lowe (1971: 563),kita sedang menyaksikan perubahan dari realitas-realitas sosial tempat ‘situasi’  ‘terjadi’ begitu saja, paling tidak dari sudut pandang kebanyakan individu, kedunia sosial tempat semakin lama semakin banyak situasi yang ‘dibuat’ agar terjadi. Realitas sosial baru ini memunculkan masyarakat maju sebagai masyarakat pegetahuan[10]. Dalam perkembangan selajutnya Indonesia sebagai bagian dari  Negara yang menuju kenegara maju, telah membuka diri dalam berbagai perkembangan politik, ekonomi dan budaya dunia. Amandemen UUDasar 1945, yang memasukkan program jaminan sosial sebagai hak dasar bagi masyarakat Indonesia merupakan salah satu contoh penyesuaian dengan perubahan dunia tersebut. Kewajiban Negara untuk menyelenggarakan program jaminan sosial telah menjadi keputusan politik Negara. Dan masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang maju dan masyarakat yang berpengatahuan. Mareka sadar akan hak-haknya, walaupun masih perlu dilakukan advokasi dan sosialisasi atas kewajibannya sebagai warga masyarakat/warga Negara..

Indonesia sebagai bagian dunia, dan telah banyak menadatangani konvensi-konvensi dunia,  tidak boleh mundur untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan sosial bagi rakyatnya.  Sebagai masyarakat pengetahuan, maka keterbukaan, kejujuran, komitmen, integritas dan etos kerja harus menjadi tolok ukur bersama, sehingga kerja-kerja besar kita menjadi lebih ringan dan lebih cepat mencapai sasaran program yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan.

Peresmian BPJS merupakan tinggak sejarah baru bagi bangsa dan Negara Indonesia dalam memenuhi hak-hak konstitusional warga Negara Indonesia dan akan mengubah wajah dan tingkat kesejahteraan rakyat[11] Kondisi ideal yang diinginkan Negara ini sudah tertuang dalam UU SJSN dan UU BPJS, walaupun diakui masih diketemukan kelemahan di beberapa substansi, yang masih meninggalkan sisa masaalah antar lain posisi PT.Taspen dan PT.Asabri yang harus menyerahkan program yang diselenggarakannya kepada |BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2029. Untuk itu kedua BUMN tersebut diperintahkan oleh UU BPJS untuk memuat “Roadmap” penyerahan program dimaksud. Banyak kalangan berpendapat  tidak mudah bagi kedua BUMN tsb untuk membuat Roadmap yang akan menjadi “liang kubur” Taspen dan Asabri.

Pemerintah sebagai penyelenggara Negara sudah membuat aturan pelaksanaan berupa PP maupun Perpres terkait implementasi BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Dalam program JHT sudah diterbitkan tiga produk hukum yaitu PP 46/2015, yang kemudian diubah dengan |PP 60/2015, dan Permenaker 19/2015. Perlu diketahui tidak ada satu pasalpun dalam UU SJSN dan UU BPJS yang “memerintahkan” Program JHT diatur dengan Permenaker.

Pada Hasil Analisis yang diuraikan diatas, ada 4 masalah besar dalam implementasi program JHT SJSN, yaitu pertama, Lemahnya komitmen Negara; kedua, Inkonsistensi Regulasi; ketiga, Multitafsir regulasi; dan keempat, advokasi dan sosialisasi belum maksimal.  Keempat kelemahan ini saling berkaitan satu sama lain. Kelemahan pertama, kedua dan ketiga bersumber dari subjek yang sama yaitu PP 46, PP 60, dan Permenaker 19/2015, dengan merujuk pada  UU SJSN. Masalah keempat belum maksimalnya sosialisasi dan advokasi oleh BPJS Ketenagakerjaaa ditenggarai sebagai pemicu marahnya Pekerja  pada saat diluncurkan PP 46/2015. Padahal PP 46/2015 sudah mengacu UU SJSN, tetapi karena pemerintah lebih mengutamakan kepentingan politik kekuasaan dari pada politik konstitusi, dibuat perubahan dan terbitlah  PP 60/2015 dan Permenaker 19/2015, yang jauh menyimpang dari yang diamanatkan UU SJSN.

Presiden sebagai Kepala Negara maupun sebagai Kepala Pemerintahan disamping diberi atribusi kewenangan juga diberi delegasi kewenangan untuk membuat peraturan pelaksanaan Undang-Undang. Kewenangan tersebut harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, Prsiden ditopang oleh kelembagaan  pemerintahan dan birokrasi dengan berbagai fasilitas pendukungnya. Tidak ada alasan untuk tidak memenuhi kewajiban yang diembannya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.[12]

Sistem Jaminan Sosial lahir karena ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk menjamin terpenuhinya hak asasi setiap orang atas jaminan sosial dan terpenuhinya tugas Negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat.  Tanpa peraturan perundang-undangan yang adekuat dan operasional sistem jaminan sosial nasional sulit terselenggara secara efektif. Presiden telah bersumpah untuk menjalankan segala undang-undang dengan selurus-lurusnya. Sumpah Presiden adalah janji bagi dirinya sendiri dan bagi seluruh rakyat. Janji harus  dipenuhi.[13]

Dalam kaitan program JHT seusai dengan SJSN, yang implementasinya diatur dalam Permenaker 19/2015 , khususnya terkait Tata Cara dan Syarat Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, kerancuan regulasi tersebut sudah sangat rumit dan membingungkan. Lihat pasal 3, ayat (2) dan (3), bagaimana dengan ‘halusnya’ mengaitkan usia pensiun dengan pengundran diri Peserta, dan Peserta terkena pemtusan hubungan kerja.   Jelas ayat (2) dan (3) tersebut tidak ada dalam pasal-pasal JHT di UU SJSN. Demikian juga lihat Pasal 5 dan Pasal 6  syarat usia pensiun menjadi kabur, dan batas 10 tahun sudah tidak ada bahkan kurang dari 5 tahun, dapat  ditafsirkan JHT dapat ambil. Kondisi  multitafsir tsb tentu akan menimbulkan kebingungan bagi penyelenggara BPJS Ketenagakerjaan dilapanagn. Permenaker ini menurut berbagai kalangan patut diduga sebagai usaha pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja untuk menenangkan Pekerja, dipihak lain memberi kelonggaran pengusaha untuk tidak membayar pesangon, karena sudah mendapat JHT, dengan alasan JHT tersebut, yang besar Iurannya 5,7%, sebesar 3,7% dari kantong pengusaha.

Dalam situasi seperti ini BPJS Ketenagakerjaan tidak boleh berdiam diri, atau pasrah dengan kebijakan Menaker tersebut. BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan wewenang dan tanggungjawabnya yang diperintahkan oleh Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS, perlu melakukan komunikasi intens dengan Menaker bahwa kebijakan Menteri tersebut tidak ada pihak yang diuntungkan kecuali pengusaha / pemberi kerja. Karena dapat menghindar untuk membayar pesangon yang memang diwajibkan sesuai dengan UU 13/2003 pasal 156. Disamping itu, Menteri perlu juga diyakini bahwa dana JHT dan akumulasinya yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan cukup besar sekitar lebih dari Rp. 180 Triliun akan cepat berkurang kalau diambil oleh Pekerja yang belum memenuhi syarat ( menurut UU), disisi lain saat ini pemerintah membutuhkan dana untuk menggerakan pembangunan. Bandingkan  dengan target Tax Amnesty yang didapat  sebesar Rp. 165 Triliun.

Dari sisi   Pekerja yang masa kerja pendek tentu uang yang didapat tidak seberapa dan pasti lebih besar uang pesangon. Bagi Pekerja perlu di advokasi oleh BPJS Ketenagakerjaan bahwa uang JHT itu disimpan dan dikembangkan dan dijamin oleh Negara untuk nanti diberikan pada saat Pekerja sudah masuk  usia pensiun. Karena di  usia pensiun secara fisik sudah tidak kuat untuk bekerja sedangkan kebutuhan hidup tidak pernah berhenti, maka uang JHT yang didapat akan bermakna untuk modal usaha di usia pensiun tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan hidup karena di PHK sesuai Undang-Undang menjadi tanggung jawab pengusaha dengan mendapat pesangon dan /atau uang penghargaan masa kerja  dan uang penggantian hak seharusnya  diterima.

KESIMPULAN

Dengan berbagai hasil snalisis dan pembahasan yang telah diuraikan diatas,  maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah :

  1. Pemerintah dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja disarankan mencabut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 tahun 2015 Tentang Tata Cara Dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya.
  2. PP 60 Tahun 2015 juga perlu direvisi, dan langsung saja merujuk pada Pasal 35,36,37 dan 38 UU SJSN. Dalam revisi tersebut juga perlu diatur mekanisme masa transisi untuk pembayaran klaim JHT yang masa iurnya dibawah 10 tahun.
  3. BPJS Ketenagakerjaan harus melakukan advokasi dan sosialisasi secara massif tentang filosofi dan manfaat JHT bagi Pekerja, agar hari tua mereka menjadi lebih terjamin kehidupannya.
  4. Manajemen BPJS Ketenagakerjaan menyusun sistem dan prosedur operasional yang diperlukan untuk beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan.

PENUTUP

Kapal besar bernama BPJS Ketenagakerjaan telah berlayar mengarungi samudera Indonesia nan luas menuju dermaga bernama Jaminan Sosial Nasional  Paripurna. Meski topan, badai dan gelombang besar menghadang, surut kita berpantang. Kita tidak perlu meminta Tuhan menghentikan topan, badai dan gelombang besar, kita hanya meminta kekuatan dan kecerdasan agar selamat melintasinya    menuju dermaga Jaminan Sosial Nasional Paripurna.

Daftar Pustaka

Asih Eka Putri & A.A. Oka Mahendra (2013), Transformasi Setengah Hati Persero, Pustaka MARTABAT, Jakarta

Bridgman Peter & Davis Glyn (2004), the Australian Policy Handbook. Allen and Uwin Nes  NSW

George Ritzer & Barry Smart (2001), Handbook TEORI SOSIAL, Nusamedia Bandung.

Purwoko, Bambang, (2011), Sistem Proteksi Sosial Dalam Dimensi Ekonomi. Oxford Graventa Indonesia, Jakarta

Situmorang, Chazali,H (2013), Mutu Pekerja Sosial di Era Otonomi Daerah. CINTA Indonesia, Depok

Situmorang, Chazali H,(2013), Reformasi Jaminan Sosial di Indonesia Transformasi  BPJS:”Indahnya Harapan Pahitnya Kegagalan” CINTA Indonesia, Depok

Situmorang, Chazali H, (2016), Dinamika Penyelenggaraan Jaminan Sosial di Era SJSN, Socia  Security Development Institute (SSDI), Dep

Soehino,(1998),  Ilmu Negara, Liberty Yogyakarta

Peraturan Perundang-undanga

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jamsostek

Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Har Tua

Peraturan Pemerintah Nomor  60 Tahun 2015, Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua,

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua

[1] Chazali H. Situmorang; Doktor bidang Manajemen Pendidikan, Magister Science in Public Health, Pharmacist dan

Apoteker.  Direktur Social Security Development Institute, Dosen Tetap FISIP UNAS. Ketua DJSN 2011-2015.

[2] Soehino, Ilmu Negara, Liberty Yogyakarta, 1998, hal 14,15.17

[3] UU SJSN; Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesaia Nomor 40 tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, alinea 2

[4] Purwoko, Bambang, Sistem Proteksi Sosial Dalam Dimensi Ekonomi. Oxford Graventa Indonesia, Jakarta, hal 39-45.

[5] Ibid…………………..alinea 3

[6] Situmorang, Chazali H.; Reformasi Jaminan Sosial di Indonesia.Transformasi BPJS: “Indahnya Harapan Pahitnya Kegagalan”. CINTA INDONESIA, Depok, 2013, hal. 40

[7] Situmorang, Chazali H; Mutu Pekerja Sosial di Era Otonomi Daerah, CINTA Indonesia, Depok, 2013, hal. 32

[8] Peter Bridgman & Glyn Davis, the Australian policy handbook, CrowsNest: Allen and Unwin 2004, hal 4.

[9] Situmorang, Chazali H.; Reformasi Jaminan Sosial di Indonesia.Transformasi BPJS: “Indahnya Harapan Pahitnya Kegagalan”. CINTA INDONESIA, Depok, 2013, hal. 85

[10] George Ritzer & Barry Smart; Handbook TEORI SOSIAL, Nusamedia, Jakarta, 2012, hal. Hal 986

[11] Situmorang, Chazali H; Dinamika Penyelenggaraan Jaminan Sosial di Era SJSN, Social Security Development Institute (SSDI) , Depok, 2015, hal.VII.

[12] Asih Eka Putri & A.A. OkaMahendra; Transformasi setengah hati Persero, Pustaka MARTABAT, 2013, hal. Hal 2

[13] Ibid……………………………..hal 3

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top